Menanti Kesepakatan Kursi Wagub Jakarta
Kursi Wakil Gubernur DKI Jakarta belum juga bertuan hingga 2020. Partai pengusung Gerindra-PKS belum juga bersepakat mengajukan. Mekanisme penentuan di ruang legislatif yang kompleks turut memperalot alih jabatan itu.
Hingga memasuki tahun 2020, kursi Wakil Gubernur DKI Jakarta belum juga bertuan. Partai pengusung Gerindra dan PKS pun belum juga bersepakat untuk mengajukan nama calon pengganti. Tak hanya itu, mekanisme penentuan di ruang legislatif yang kompleks turut memperalot masa alih jabatan tersebut.
Per Januari 2020 ini, total sudah 17 bulan lamanya Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melaksanakan tugas tanpa didampingi wakil gubernur. Sandiaga Uno mengundurkan diri dari kursi Wakil Gubernur (Wagub) ketika memilih maju sebagai calon wakil presiden mendampingi calon presiden Prabowo Subianto di Pemilu 2019 lalu.
Meskipun sudah lebih satu tahun berlalu, proses pergantian jabatan ini belum juga menemukan kesepakatan soal siapa calon wagub pengganti yang akan dipilih. Dua partai pengusung, Gerindra dan PKS, sama-sama sedang memainkan strategi dalam proses politik yang dilakukan untuk penentuan wagub pengganti tersebut.
Sebetulnya proses ini tidak akan berjalan alot jika komunikasi dan kesepakatan antar dua partai koalisi pengusung itu benar-benar jelas. Polemik ini sebetulnya memang murni milik internal koalisi kedua partai. Namun hal tersebut telah berdampak luas pada kepentingan luas publik dan jalannya roda pemerintahan Jakarta.
Bagi Gerindra maupun PKS, posisi Wagub Ibu Kota Jakarta sangatlah penting bagi eksistensi partai politik yang telah mengusung kepala daerah dalam Pilkada. Terlebih, Gubernur Anies Baswedan bukanlah seorang kader dari partai politik manapun.
Ganjalan penentuan kursi Wagub yang terjadi saat ini memang tidak hanya bisa dilihat dalam konteks dinamika politik di wilayah Jakarta saja. Dinamika yang terjadi di Jakarta tidak bisa dilepaskan begitu saja dari konstelasi politik nasional.
Aturan
Mengacu pada aturan terbaru yaitu UU No. 10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah, mekanisme penentuan kekosongan jabatan kepala daerah seperti wagub akan ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik pengusung. Regulasi ini juga mengatur partai politik pengusung harus mengusulkan dua nama calon wagub pengganti untuk selanjutnya ditetapkan melalui sidang paripurna DPRD.
Aturan ini menggantikan UU No. 8/2015 yang berlaku sebelumnya. Secara garis besar tidak ada perbedaan mekanisme penggantian kekosongan jabatan kepala daerah di dua aturan ini. Namun, proses penentuan untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah seperti wagub memang sangat berbeda dengan yang diamanatkan UU No. 1/2015.
Jika dahulu ketika masa acuan pada UU No.1/2015, bahkan tidak ada pelibatan legislatif dalam pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah. Wewenang untuk mengusulkan nama calon wagub pengganti yang telah memenuhi persyaratan dilakukan oleh gubernur aktif kepada presiden melalui menteri untuk kemudian dilantik sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Mekanisme penentuan wagub pengganti oleh partai pengusung membuat proses politik menjadi kian panjang dan berlapis. Selain dalam internal koalisi partai pengusung, prosedur yang harus di ruang legislatif pun akan memakan banyak waktu.
Tarik ulur juga rawan terjadi saat lobi politik antar fraksi di DPRD. Namun proses ini tetap harus dilakukan guna mendapatkan dukungan pada pelaksanaan pemilihan Wagub pengganti pada rapat paripurna.
Syarat pemenuhan kourum peserta rapat paripurna penentuan Wagub yaitu sebanyak 50 persen + 1. Jika hal ini tidak terpenuhi maka sidang tidak dapat dilaksanakan. Di periode kerja 2019-2024 kursi DPRD DKI Jakarta total berjumlah 106 kursi dari 10 fraksi partai politik. Gerindra menduduki 19 kursi, sementara PKS 16 kursi.
Tarik Ulur
Tahapan penggantian wakil gubernur sebetulnya sudah dilakukan tidak lama sejak Sandiaga mundur dari jabatannya pada Agustus 2018. Tiga bulan setelahnya, Partai Gerindra dan PKS sepakat untuk mengadakan fit and proper test pada calon yang akan duduk menggantikan jabatan Wagub.
Pada Januari 2019, kedua partai koalisi penyokong Pilkada Ibu Kota ini pun menyepakati PKS untuk mengajukan nama Cagub untuk kemudian dilakukan tahap penyaringan. PKS merekomendasikan tiga kadernya yaitu Ketua Fraksi PKS DPRD DKI Jakarta Abdurrahman Suhaimi, Ketua DPW PKS Jawa Barat Ahmad Syaikhu, dan Sekretaris Umum DPW PKS DKI Jakarta. Agung Yulianto. Hasil penyaringan mengerucut pada dua nama calon, Syaikhu dan Agung.
Semula semua proses tersebut nampak berjalan lancar tanpa gelombang polemik yang besar. Hasil kesepakatan penjaringan calon wagub oleh dua partai ini pun telah diserahkan kepada DPRD DKI Jakarta. Pada Mei 2019, DPRD membentuk Panitia Khusus (Pansus) Pemilihan Wagub DKI Jakarta. Pansus tersebut diketuai Ongen Supanji dari fraksi Hanura dan Wakil Ketua Bestari Barus dari fraksi Nasdem.
Tak lama setelah itu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyatakan ada dugaan money politic dalam proses pemilihan wagub pada Juli 2019 lalu. Namun tuduhan ini pada akhirnya juga menguap. Rian Ernest, kader PSI yang mengungkapkan hal tersebut juga sempat dilaporkan atas tuduhan menyiarkan berita bohong dan tindak pidana ujaran kebencian (hate speech).
Meskipun banyak bantahan terkait hal itu, namun PKS sepertinya juga menunjukkan reaksi. Tanpa alasan yang jelas, pada pertengahan Agustus 2019, partai ini ternyata tampak berniat menganulir dua nama calon wagub yang sebelumnya sudah diajukan kepada legislatif melalui surat yang dikirimkan kepada Gerindra.
Dalam surat tersebut, muncul dua nama baru, yaitu Adiyaksha Daud dan Nurmasjah Lubis yang direkomendasikan PKS. Namun, seminggu kemudian surat yang ditetapkan oleh Dewan Pimpinan Tingkat Pusat (DPTP) tersebut dicabut lagi oleh PKS sendiri.
Setelah itu, tahapan penggantian wagub terhenti sampai masa kerja anggota legislatif DKI Jakarta berakhir. Hingga akhir masa bertugas, upaya Pansus pemilihan wagub belum berbuah hasil. Proses mencari pengganti wagub pun diwariskan pada anggota DPRD terpilih untuk periode 2019-2024.
Namun, bergantinya masa kerja anggota dewan ini justru tak lantas semakin membuat proses penggantian wagub bergulir mulus. Gerindra menganggap sikap yang dilakukan PKS menunjukkan inkonsistensi dan membuat proses semakin alot. Selain itu, upaya politik yang dilakukan oleh PKS untuk melobi fraksi-fraksi di DPRD dinilai belum optimal.
Menanti Kesepakatan
Mandeknya pembahasan penggantian Wagub kembali harus ditunda setelah riuh politik di awal masa kerja legislatif sibuk dengan polemik APBD DKI Jakarta. Bukannya kian benderang, duo partai pengusung PKS dan Gerindra justru menunjukkan sikap yang terus tidak sejalan.
Buntut dari sikap PKS yang dianggap tidak konsisten dan gagal dalam membangun komunikasi politik, Gerindra pun justru menyodorkan nama baru sebagai alternatif untuk diusung sebagai wagub pengganti.
Tak tanggung, Gerindra mengajukan empat nama baru sebagai calon wagub. Gerindra meminta PKS untuk memilih salah satunya. Keempatnya yaitu Dewan Penasihat DPP Gerindra Arnes Lukman, Wakil Ketua Umum Gerindra Ferry J. Yuliantoro, Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria, hingga Sekda DKI Jakarta Saefullah.
Gerindra beralasan menyodorkan nama-nama tersebut untuk mempercepat proses penentuan wagub pengganti. Pasalnya, pengajuan dua nama calon wagub pengganti oleh PKS terus menemukan kebuntuan.
Namun, keputusan Gerindra tersebut justru semakin mengaburkan titik temu. Hingga tahun 2019 berakhir, kursi wagub ibu kota belum juga bertuan. PKS justru menangkap langkah Gerindra itu sebagai bentuk politisasi untuk menyandung PKS bisa menduduki kursi wagub.
Di minggu awal Januari 2020 lalu, PKS kembali bersikap. Namun bukannya memilih satu diantara empat nama yang diajukan Gerindra, partai ini justru secara resmi menganulir Ahmad Syaikhu sebagai salah satu calon wagub yang diajukan.
Pernyataan itu disampaikan langsung oleh Presiden PKS Sohibul Iman. PKS mantap menghapus Syaikhu dari bursa calon Wagub karena yang bersangkutan telah mendapat amanah sebagai anggota DPR RI.
Secara tegas PKS juga menolak empat nama yang diajukan oleh Gerindra. Penghapusan satu nama calon ini juga sebagai upaya PKS mengerucutkan rekomendasi nama yang diajukan. PKS berharap bisa menemukan kesepakatan dengan Gerindra untuk satu nama lagi yang dapat dicalonkan agar proses penentuan wagub dapat berjalan.
Ada kepentingan publik dan jalannya roda pemerintahan DKI Jakarta yang harus menjadi agenda prioritas . Kini, semua pihak berharap PKS dan Gerindra sebagai partai pengusung dapat bersepakat. Kita tunggu saja. (Eren Marsyukrilla / Litbang Kompas)