Ketika Banjir Mengepung Batavia
Mendung menggantung di langit Batavia selama tiga pekan. Sejumlah wilayah seperti Kwitang, Angke, hingga Cikini terendam banjir. Akses transportasi, seperti trem dan kereta kuda lumpuh, sementara sebagian penduduk harus mengungsi. Inilah sekelumit kisah banjir yang melanda Batavia pada awal 1918 atau sekitar satu abad silam.
Banjir yang terjadi pada Februari 1918 adalah salah satu banjir yang cukup parah sepanjang era pemerintahan Hindia Belanda. Curah hujan yang tinggi sepanjang Januari hingga Februari turut memaksa penduduk pada beberapa wilayah di sekitar Batavia untuk mengungsi. (Gunawan, 2006)
Banjir pada 1918 adalah bagian dari rangkaian banjir yang terjadi di sekitar daerah yang kini disebut Jakarta. Jika menilik lebih jauh, catatan banjir di sekitar Jakarta dapat ditemukan sejak abad ke-5 Masehi pada Prasasti Tugu dari Kerajaan Tarumanegara.
Prasasti yang ditemukan pada sekitar Kelurahan Tugu Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara ini mengisahkan tentang penggalian sungai Candrabhaga oleh Rajadirajaguru dan Sungai Gomati sepanjang 6.112 tombak atau sekitar 12 km oleh Raja Purnawarman.
Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk mengatasi persoalan banjir. Diperkirakan, banjir kala itu kerap menerjang wilayah Kerajaan Tarumanegara yang meliputi kawasan sekitar Jakarta saat ini.
Banjir terus terjadi hingga masa VOC dan Hindia Belanda seperti pada tahun 1621, 1654, 1872, 1876, dan 1893.
Banjir di Batavia bukanlah sekadar banjir biasa. Setiap kali daerah ini mengalami banjir, perekonomian wilayah sekitar nyaris lumpuh.
Pada banjir tahun 1872, misalnya, derasnya arus air di Ciliwung menyebabkan sluisburg atau pintu air yang terletak di sekitar Pasar Baru jebol. Dampaknya, air meluap dan merendam sejumlah pertokoan dan tempat penginapan di sekitar wilayah Gadjah Mada hingga Hayam Wuruk.
Banjir ini juga memutus sejumlah ruas jalan seperti Harmoni, Noordwijk (Jalan Juanda), dan Riswijk (Jalan Veteran). Akibatnya, kegiatan perekonomian terganggu. Padahal, kawasan ini adalah salah satu wilayah penting seiring bergesernya pembangunan ke arah selatan Batavia. (Shahab, 2009)
Banjir yang cukup parah juga terjadi pada awal tahun 1893. Jalanan di sekitar Batavia yang belum beraspal berubah menjadi kubangan saat banjir melanda sejumlah wilayah. Pohon asam yang tumbuh di sekitar kawasan Kwitang juga bertumbangan setelah dilanda banjir.
Sejumlah daerah seperti Sawah Besar, Kebon Jeruk, hingga Tanah Sereal mengalami banjir setinggi satu meter. Banjir juga merendam sejumlah daerah lainnya seperti Kemayoran hingga kawasan Pasar Ikan.
Banjir pada tahun 1893 memberikan efek yang cukup besar bagi kehidupan masyarakat di kawasan Batavia. Bersamaan dengan banjir yang terjadi, sejumlah warga mengalami penyakit perut yang turut menyebabkan kematian. (Ghozally, 2004)
Memasuki abad ke-20, banjir masih menghantui Batavia. Pada tanggal 9-10 Januari 1932, hujan deras turun selama dua hari dengan curah hujan 150 mm. Banjir salah satunya melanda kawasan di Jalan Sabang. Saat itu, banyak penduduk yang harus rela mengungsi ke atap rumah sembari menanti air surut.
Banjir pada tahun 1893 memberikan efek yang cukup besar bagi kehidupan masyarakat di kawasan Batavia.
Dataran rendah
Rangkaian banjir yang terjadi tidak terlepas dari posisi Batavia yang terletak di dataran rendah. Daerah ini diperkirakan terbentuk melalui endapan yang berasal dari aktivitas Gunung Gede, Pangrango, dan Salak sejak 5.000 tahun yang lalu. Puing atau sisa aktivitas gunung berapi ini kemudian membentuk saluran air yang berpencar menuju sisi hilir ke bagian utara.
Meskipun berada di dataran rendah dan muara sungai, Batavia yang terletak di jalur perdagangan saat itu menyebabkan wilayah ini dipilih sebagai pusat kegiatan perdagangan, baik pada era Kerajaan Sunda abad ke-12, hingga masuknya VOC pada tahun 1619. Dampaknya, daerah ini semakin ramai oleh para pendatang.
Saat Batavia masih bernama Jayakarta di pertengahan abad ke-16, wilayah ini hanya memiliki luas area sekitar 15 hektar. Saat itu, seluruh kegiatan dipusatkan pada sisi utara yang berdekatan dengan muara Kali Ciliwung. Berdasarkan rekonstruksi peta yang dibuat oleh Insinyur Belanda, J.W. Ijerzman pada tahun 1917, Jayakarta terletak di antara dua anak sungai, yakni sebuah anak sungai di bagian barat dan Kali Ciliwung di sisi timur.
Daerah ini mengalami perubahan yang cukup drastis saat dikuasai oleh VOC pada tahun 1619. Di bawah Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, Batavia mulai dibangun dengan konsep kota modern dengan semangat yang digaungkan “ende despereert niet” atau pantang mundur jangan putus asa. (Surjomihardjo, 1999).
Banyaknya para pendatang ke Batavia juga bersisian dengan semakin meluasnya area pembangunan di Batavia. Pada tahun 1635, wacana pembangunan melebar ke bagian barat Ciliwung. Padahal, daerah tersebut sebelumnya adalah kawasan rawa-rawa.
Pada tahun 1672, pembangunan kota juga semakin gencar dilakukan dan mulai mengarah ke sisi timur. Sisi utara Jakarta atau yang menjadi hilir Kali Ciliwung tampak kian padat oleh pembangunan.
Perkembangan Kota Batavia pada tahun 1635 (kiri), 1650 (tengah), dan 1672 (kanan). Tampak daerah sekitar Batavia semakin berkembang ke arah barat, timur, hingga selatan.
Perubahan wajah kota
Pembangunan Batavia hingga ke luar tembok kota terus dilakukan hingga akhir abad ke-18 atau saat bangkrutnya VOC. Merujuk pada peta yang dibuat atas perintah Gubernur Jenderal Petrus Albertus Van der Parra, tampak pada tahun 1770 sudah terdapat beberapa blok pembangunan yang dilakukan pada sisi barat, timur, dan selatan dari Batavia. Artinya, bagian hilir Kali Ciliwung semakin bertambah padat oleh bangunan.
Wajah kota Batavia sempat mengalami perubahan pada era pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Daendels (1808-1811). Pada era ini, Daendels mengubah posisi pusat kota ke arah selatan Batavia, yakni Weltevreden atau yang kini berada di sekitar kawasan Monas dan Lapangan Banteng.
Saat itulah wajah kota mulai mengalami perubahan. Sejumlah pembangunan mulai gencar dilakukan seperti istana yang kini berada di lingkungan kantor Kementerian Koordinator bidang Perekonomian dan Kementerian Keuangan. Tembok kota Batavia juga diruntuhkan pada era Daendels.
Namun, hingga pertengahan abad ke-19, masih banyak daerah resapan di sekitar kawasan yang dibangun. Batavia saat itu masih dikelilingi oleh rawa, hutan, dan area persawahan. Hal ini terlihat dari peta Rencana Kota Batavia tahun 1858. Pada sisi timur, utara, dan selatan Batavia masih jamak ditemui kawasan terbuka hijau.
Meski masih memiliki banyak daerah serapan, banjir selalu mengikuti pola pembangunan yang dilakukan pada masa VOC maupun pemerintahan Hindia Belanda. Ini terlihat ketika kawasan Weltevreden yang dibuka pada abad ke-19 untuk sejumlah pembangunan yang tak luput dari terjangan banjir.
Di tengah gencarnya pembangunan yang dilakukan, otoritas kota telah sejak lama memiliki kesadaran terhadap posisi Batavia yang rawan banjir karena terletak di dataran rendah dan bagian hilir sungai. Sejumlah program pun ditelurkan untuk mengantisipasi banjir. Kebijakan seperti apa yang dikeluarkan oleh pemerintahan Hindia Belanda untuk menangkal banjir di Batavia? (Dedy Afrianto/Litbang Kompas)