KPU dan Jerat Korupsi
Komisi Pemilihan Umum tengah menjadi sorotan publik. Salah satu komisionernya, Wahyu Setiawan, ditetapkan menjadi tersangka kasus suap terkait proses pergantian antarwaktu anggota DPR dari Fraksi PDI-P.
Komisi Pemilihan Umum tengah menjadi sorotan publik. Salah satu komisionernya, Wahyu Setiawan, ditetapkan menjadi tersangka kasus suap terkait proses pergantian antarwaktu anggota DPR dari Fraksi PDI-P. Di tengah persiapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak tahun ini, kasus hukum ini mau tidak mau menjadi beban buat penyelenggara pemilu ini.
Kasus Wahyu menjadi puncak dari problem regulasi terkait proses pergantian antarwaktu (PAW). Hal ini bermula dari penetapan pengganti caleg terpilih dari PDI-P, Nazaruddin Kiemas, yang meninggal pada Maret 2019.
Jika mengacu UU Pemilu, pengganti Kiemas adalah caleg dengan perolehan suara terbanyak setelah Kiemas. Di daftar perolehan suara, caleg dengan suara terbanyak kedua adalah Riezky Aprilia.
Namun, pada Juli 2019, salah seorang pengurus DPP PDI-P memerintahkan kuasa hukum partai untuk menguji materi peraturan KPU terkait penetapan calon terpilih ke Mahkamah Agung. MA mengabulkan sebagian gugatan yang memberikan diskresi kepada partai politik untuk menetapkan caleg yang terbaik sebagai pengganti.
Atas dasar penetapan MA ini, PDI-P berkirim surat kepada KPU untuk menetapkan Harun sebagai pengganti. Namun, pada 31 Agustus 2019, KPU menggelar rapat pleno dan menetapkan Riezky sebagai pengganti.
Tidak berhenti di situ. PDI-P kembali mengajukan permohonan fatwa MA dan mengirimkan surat berisi penetapan caleg. Saeful dan Agustiani melakukan lobi agar Harun bisa menjadi pengganti antarwaktu (PAW). Kemudian, dokumen dan fatwa MA yang diperoleh Saeful diberikan kepada Wahyu untuk membantu proses penetapan Harun.
KPU sendiri melalui ketuanya, Arief Budiman, menyatakan, proses PAW dilakukan sesuai perintah undang-undang dengan mengacu pada perolehan suara terbanyak.
Wahyu sebagai salah satu komisioner pun menjadi aktor yang dalam kasus ini diharapkan menjadi jalan tengah untuk membuka peluang dilantiknya caleg yang menjadi pilihan partai, bukan caleg yang sesuai aturan UU.
Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi terlebih dahulu mengendus praktik ini yang pada akhirnya berhasil menangkap tangan Wahyu beserta empat orang lainnya dalam kasus suap. KPK menetapkan empat orang sebagai tersangka, yakni Wahyu dan Agustiani Tio Fridelina yang diduga sebagai penerima suap serta Harun Masiku dan Saeful yang diduga berperan sebagai pemberi suap.
Agustiani merupakan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) 2008-2012 yang disebut orang kepercayaan Wahyu. Harun adalah bekas calon anggota legislatif (caleg) DPR pada Pemilu 2019 dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), sedangkan Saeful merupakan anggota staf Sekretariat DPP PDI-P.
Korupsi KPU
Jika merujuk pengalaman kasus korupsi di KPU, kasus yang menjerat Wahyu ini bukanlah yang pertama. Kasus korupsi juga pernah melanda KPU di era awal lembaga ini dikembalikan kepada sosok-sosok netral dan independen di mana sebelumnya pada Pemilu 1999 penyelenggara sekaligus dirangkap oleh kontestan atau orang-orang partai politik. KPU baru yang berisi orang-orang nonpartisan ini dipersiapkan untuk Pemilu 2004.
Namun, di tengah harapan publik kepada sosok-sosok yang netral dan nonpartisan ini justru kasus hukum terjadi yang umumnya terkait suap dan korupsi pengadaan barang dan jasa.
Setidaknya dari tujuh komisioner KPU periode 2001-2005, empat di antaranya terjerat kasus hukum. Mereka adalah Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin yang terjerat korupsi dana taktis KPU.
Sjamsuddin divonis 7 tahun penjara pada 14 Desember 2005, lebih rendah daripada tuntutan jaksa 8,5 tahun penjara. Pada Maret 2008, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia ini bebas bersyarat setelah menjalani 2/3 hukumannya. Selain Nazaruddin Sjamsuddin, tiga wakil ketua atau komisioner KPU lainnya juga terjerat hal yang sama.
Paling fenomenal dan mengentak publik adalah kasus suap yang menjerat Mulyana W Kusuma. Mulyana tertangkap tangan setelah berupaya menyuap auditor BPK sebesar Rp 300 juta pada 8 April 2005. Pengadilan menuntutnya 3 tahun penjara pada 15 Agustus 2005, tetapi vonis yang diberikan hakim kepada Mulyana lebih ringan, yakni 2 tahun 7 bulan penjara pada 12 September 2005.
Mulyana, yang sebelum menjadi anggota KPU dikenal sebagai kriminolog dan aktivis Komisi Independen Pemantau Pemilu (KIPP), bebas bersyarat pada 18 Agustus 2007. Pada 1 Desember 2013, Mulyana meninggal setelah sebelumnya aktif kembali sebagai pengamat kriminal.
Dua anggota KPU periode 2002-2005 lainnya adalah Rusadi Kantaprawira dan Daan Dimara. Rusadi terjerat kasus penyelewengan proyek pengadaan tinta pemilu senilai Rp 8 miliar. Pada 17 Februari 2006 Rusadi divonis 4 tahun penjara, lebih ringan tiga bulan dari tuntutan jaksa.
Sementara itu, Daan Dimara dijerat dengan kasus korupsi pengadaan segel sampul surat suara di KPU senilai Rp 2,7 miliar. Senasib dengan Rusadi, Daan divonis 4 tahun penjara pada 15 September 2006, lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menjeratnya 6,5 tahun penjara.
Setelah kasus korupsi yang terjadi di KPU periode 2001-2005 ini, lembaga penyelenggara pemilu ini relatif jauh dari kasus-kasus pelanggaran anggaran negara ini. Setidaknya selama dua periode berikutnya tidak ada isu atau kasus korupsi yang menghiasi pelaksanaan pemilu. Kasus terjeratnya Wahyu Setiawan ini membuka luka lama publik yang selama ini relatif percaya kepada lembaga penyelenggara pemilu.
Kepercayaan publik
Setidaknya kepercayaan publik ini pernah terekam dari hasil jajak pendapat Kompas. Hasil jajak pendapat yang digelar pada Januari 2019 sebagai penanda memasuki tahun pemilu ini menghasilkan potret tingginya kepercayaan publik kepada KPU sebagai penyelenggara pemilu.
Secara umum saat itu hasil jajak pendapat merekam, publik tidak mudah terpancing oleh isu-isu yang menyorot KPU. Setidaknya ada lima kasus menyebar secara masif melalui informasi yang beredar di media sosial terkait pemilu dan kemudian melahirkan sorotan negatif kepada KPU.
Kelima kasus itu adalah polemik 31 juta penduduk sebagai data siluman yang dicurigai berpotensi menggelembungkan daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2019. Tuduhan ini kemudian diklarifikasi KPU dengan penjelasan angka 31 juta tersebut belum sinkron dengan daftar pemilih tetap hasil perbaikan (DPTHP), kemudian isu soal orang dengan gangguan jiwa yang boleh memilih.
Isu ini muncul disertai viralnya foto yang menampilkan simulasi orang gila menggunakan hak pilihnya. KPU menjelaskan foto tersebut hoaks. Soal isu ini, KPU sebenarnya mengakomodasi hak pilih bagi penyandang disabilitas mental atau gangguan jiwa yang notabene untuk mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi.
Lain lagi dengan isu kotak suara dari kardus yang relatif membuat opini publik terbelah. Separuh lebih responden percaya kardus tidak aman dan cenderung rentan terjadinya penyelewengan surat suara. Sementara 45,2 persen responden lainnya malah tidak percaya KPU secara sengaja memilih kotak suara yang rentan dan memicu pelanggaran.
Kasus yang menjerat Wahyu Setiawan akan menjadi pekerjaan rumah bagi KPU untuk memulihkan kembali kepercayaan publik.
KPU sendiri menjelaskan soal daya tahan kotak suara berbahan karton kedap air itu yang bisa diduduki, diinjak, bahkan digunakan untuk mengangkat seseorang untuk menangkis tuduhan yang berkembang soal kotak suara tersebut. Namun, upaya ini tidak mampu mengubah persepsi negatif soal kotak suara ini.
Isu paling heboh yang kemudian membuat KPU mengambil langkah hukum dengan melaporkan pelaku penyebar hoaks adalah informasi soal tujuh kontainer berisi jutaan surat suara yang sudah dicoblos. KPU memastikan informasi tersebut bohong karena surat suara ketika isu ini diembuskan belum dicetak. Terakhir adalah isu bocoran soal atau kisi-kisi debat yang juga viral di media sosial yang lagi-lagi membuat KPU disorot negatif.
Secara umum, isu-isu ini tidak mudah dipercaya oleh publik. Profesionalisme dan integritas KPU masih diyakini publik mampu terjaga saat itu. Tentu kasus yang menjerat Wahyu Setiawan akan menjadi pekerjaan rumah bagi KPU memulihkan kembali kepercayaan publik tersebut. (Yohan Wahyu/Litbang Kompas)