Paruh waktu Liga Inggris musim 2019/2020, Liverpool yang memuncaki klasemen sementara menjaga peluang juara musim ini. Sementara Manchester United masih harus berjuang keras finis di peringkat keempat.
Oleh
YOHANES MEGA HENDARTO
·3 menit baca
Tiap musimnya, Liga Inggris selalu menyajikan persaingan sengit antarklub sepak bola yang bersaing sebagai juara. Di musim 2019/2020 ini, dua tim merah, Liverpool dan Manchester United, bersaing ketat di puncak klasemen. Liverpool yang memuncaki klasemen sementara menjaga peluang juara musim ini. Sementara Manchester United masih harus jungkir balik finis di peringkat keempat.
Separuh jalan Liga Inggris, di bawah asuhan Jurgen Klopp, musim ini Liverpool mencapai performa terbaiknya di Liga Inggris. Hingga matchweek ke-21, Liverpool masih menempati posisi pertama di klasemen sementara Liga Inggris. Dengan catatan 18 kali menang dan 1 kali seri, ”The Reds” berhasil meraih 55 poin dan menyisakan selisih 10 poin dari Leicester City yang berada di posisi kedua.
Jika dilihat dari rasio kemenangannya di 19 pertandingan, Liverpool menorehkan rasio yang tinggi, yakni 94,7 persen. Rasio kemenangan Liverpool ini menyisakan jarak yang lebar dengan para pesaingnya. Leicester City yang berada di posisi kedua memiliki rasio kemenangan 66,7 persen. Sementara Manchester City yang berada di posisi ketiga mencapai 66,7 persen rasio kemenangan.
Keunggulan sementara Liverpool di Liga Inggris musim ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Terakhir, Liverpool menjuarai liga pada musim 1989/1990 atau sudah 30 tahun puasa gelar juara liga. Musim 2018/2019 kemarin, Liverpool nyaris menjuarai liga namun harus mengakui keunggulan 1 poin Manchester City yang turut tampil konsisten di paruh musim kedua.
Padahal, pada paruh musim lalu (matchweek ke-19) Liverpool sempat menduduki peringkat pertama di klasemen liga. Kala itu, masalah inkonsistensi menyerang skuad Anfield ini sejak matchweek ke-7 dan membuat Liverpool naik turun antara posisi kedua dan pertama. Perbedaannya dari musim ini, penampilan Liverpool sangat konsisten dari awal hingga paruh musim ini sehingga kokoh di puncak klasemen.
Pertaruhan bagi Liverpool di paruh musim ini sudah jelas. Hingga matchweek ke-21 musim ini, Liverpool masih belum terkalahkan. Maka, trofi liga musim ini sudah di depan mata Liverpool. Menariknya, pada pertandingan terakhir paruh musim ini, Liverpool akan menjalani laga tandang melawan salah satu pesaing terdekatnya, Leicester City.
Efek Klopp
Capaian Liverpool sejauh ini tidak terlepas dari racikan strategi dan sentuhan Jurgen Klopp. Didatangkan dari Borussia Dortmund, pelatih asal Jerman ini resmi bergabung sejak musim 8 Oktober 2015. Kedatangan Klopp menggeser pelatih sebelumnya, Brendan Rodger, yang tidak mampu membawa tim ini meraih gelar apa pun selama tiga tahun.
Bagaikan seorang koki andal, Klopp membuat tungku Liverpool kembali membara. Klopp mendatangkan pemain-pemain muda yang memperkuat masing-masing lini permainan. Sebut saja, penjaga gawang Alisson Becker (19 Juli 2018), pemain bertahan Virgil van Dijk (1 Januari 2018), pemain tengah Fabinho Tavarez (1 Juli 2018), dan duet penyerang tajam Roberto Firmino (6 Juli 2015) dan Mohamed Salah (22 Juli 2017).
Jika dilihat dari rasio kemenangannya di 19 pertandingan, Liverpool menorehkan rasio yang tinggi, yakni 94,7 persen.
Deretan pemain muda ini ditempa dan berhasil menjalankan filosofi bermain ala Klopp. Cara bermain gegenpressing yang digagas Klopp membuat para pemain Liverpool terlihat agresif di atas lapangan.
Alasannya, model gegenpressing berarti para pemain langsung memburu bola seakan tidak ada hari esok saat bola dikuasai lawan. Tentu saja, model ini beberapa kali mengalami kesulitan saat diterapkan ketika melawan tim-tim yang bermain bertahan penuh.
Di tangan Klopp pula, tim ini memiliki keseimbangan antara bertahan dan menyerang. Di musim lalu, Liverpool hanya kebobolan 22 gol dan berhasil memasukkan 89 gol ke gawang lawan. Konsistensi ini berlanjut hingga pertandingan ke-15 musim ini, dengan memasukkan 37 gol dan hanya kebobolan 14 gol.
Jika melihat rasio kemenangan Klopp di antara para pelatih Liverpool sebelumnya, hasilnya sangat memuaskan. Dengan jumlah 232 pertandingan di seluruh kompetisi, Klopp mencatat 59,05 persen rasio kemenangan. Jumlah ini hampir mendekati rekor Kenny Dalgish di periode pertama melatih Liverpool (Liverpool 1985-1991) dengan rasio kemenangan 60,91 persen.
Klopp juga sudah mematahkan kutukan legendaris seorang mantan pelatih ternama, Bela Guttman. Kutukan terkenal ini menyatakan bahwa tahun ketiga melatih ialah yang paling mematikan bagi pelatih karena akan muncul kejenuhan model permainan baik bagi pelatih, para pemain, maupun para penggemar. Bahkan, pelatih setingkat Pep Guardiola dan Jose Mourinho belum terlepas dari kutukan ini.
Di samping kehebatan dan kejeniusan Klopp menakhodai timnya, ada catatan penting yang harus diperhatikan para penggemar Liverpool. Selama di Liverpool, Klopp belum pernah membawa tim ini menjuarai lebih dari satu kompetisi di saat bersamaan. Musim lalu Liverpool mampu menjuarai Liga Champion Eropa, namun nyaris menjuarai Liga Inggris.
Maka, mampukah musim ini Liverpool mampu mengawinkan dua trofi Liga Inggris dan Liga Champion? Ataukah Liverpool di bawah Klopp memang hanya berbakat untuk mengincar satu trofi di satu musim?
Bagaimanapun juga, Liga Inggris dan Liga Champion bukanlah kompetisi yang ringan dan mudah ditebak. Kendati Liverpool memiliki peluang sangat besar menjuarai liga, kubu lawan senantiasa menunggu kesempatan saat Liverpool tergelincir dan tampil inkonsisten.
Manchester United
Nasib berbeda justru dialami tim merah lainnya, Manchester United (MU). Selepas kepergian Sir Alex Ferguson pada Juli 2013, MU masih dalam proses pencarian pelatih yang ideal bagi mereka. Dalam kurun lima tahun, MU sudah mengalami pergantian lima pelatih.
Di antara pelatih MU tersebut, mungkin yang paling sukses sejauh ini ialah Jose Mourinho. Di bawah Mou, MU berhasil finis di posisi kedua Liga Inggris musim 2017/2018 dan meraih trofi Community Shield, League Cup, dan UEFA Europa League. Meski berprestasi, MU memberhentikan Mourinho pada Desember 2018 lalu.
Kini di bawah asuhan Ole Gunnar Solskjaer, MU masih berada di peringkat kelima dengan 31 poin dari 21 pertandingan. MU hanya sanggup menorehkan catatan 8 kali menang, 6 kali kalah, dan 7 kali seri. Capaian ini tentu belum dapat memenuhi kepuasan klub dan para penggemarnya.
Musim ini akan berat bagi MU untuk mengincar gelar Liga Inggris. Tim-tim Inggris yang saat ini berada di klasemen atas bukanlah tim kemarin sore yang mudah dikalahkan atau menurunkan performa secara drastis. Sementara itu, peluang MU di Liga UEFA Eropa masih terbuka karena sejauh ini tidak ada klub yang menonjol di kompetisi tersebut.
Peluang MU untuk beranjak naik ke klasemen atas memang masih terbuka, tetapi dibutuhkan usaha keras. Pasalnya, Solskjaer belum dapat menemukan strategi dan filosofi permainan yang tepat bagi MU. Strategi yang diterapkan Solskjaer cenderung mudah ditebak dengan model serangan balik atau model umpan-umpan jauh.
Tumpulnya strategi ini dapat dilihat dari statistik MU di Liga Inggris. Dari total 21 pertandingan, MU hanya mampu memasukkan 32 gol ke gawang lawan. Hasil itu berbanding cukup jauh dengan Liverpool yang mencetak 47 gol atau Manchester City yang mencatat 56 gol.
Bisa jadi, skuad MU di tangan pelatih yang silih berganti ini membutuhkan waktu lebih untuk menemukan kembali strategi dan filosofi permainan MU. Manchester United harus menemukan kembali nostalgia kejayaan zaman Sir Alex Ferguson dan filosofi ”Fergie Time” untuk bersaing masuk ke klasemen atas Liga Inggris. (Litbang Kompas)