Laris Manis Video on Demand
Kualitas berpadu dengan kesesuaian memenuhi kebutuhan konsumen digital, membuat popularitas layanan hiburan Video On Demand (VoD) di Indonesia terus meningkat.
Sejak diperkenalkan pada 2016, tren pengguna layanan hiburan Video On Demand (VoD) di Indonesia terus meningkat. Kebebasan untuk menentukan informasi apa yang ingin dilihat menjadi daya tarik masyarakat untuk berlangganan konten layanan ini.
Layanan Video On Demand atau VoD merupakan sebuah sistem penyedia konten video daring dengan mekanisme pembayaran berlangganan atau berdasarkan ada yang ingin ditonton. Salah satu daya tariknya, pengguna memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang ingin dilihat.
Keberadaan VoD mulai marak digunakan sejak 2016. Di tahun itu pula layanan VoD mulai masuk ke Indonesia. Dalam bisnisnya, VoD membagi menjadi tiga jenis, yaitu layanan streaming video (SVoD), berbayar tiap sesi (TVoD), dan unduhan video (EST).
Beberapa layanan VoD berbayar yang telah masuk di Indonesia adalah NETFLIX, HOOQ, viu, iflix, iTunes, dan viki. Sementara layanan VoD gratis adalah Vidio, MIVO, Vimeo, dan terakhir adalah layanan yang paling lama dan populer, yaitu YouTube.
Berdasarkan data Statista Global Consumer Survey 2019 di Indonesia, total pendapatan seluruh bisnis VoD mencapai 259,5 juta dollar AS. Jumlah ini naik 22,4 persen dibandingkan tahun 2017. Dalam lima tahun ke depan, pendapatan ini diprediksi naik terus hingga lebih dari 300 juta dollar AS pada 2023.
Dari tiga jenis layanan VoD, pilihan streaming video (SVoD) mendominasi lebih dari 60 persen total pendapatan. Salah satu layanan paling populer untuk SVoD adalah NETFLIX dengan tawaran berupa TV Show dan film yang memiliki beragam genre, seperti action, drama, horor, hingga komedi.
Kenaikan pendapatan layanan VoD seiring dengan meningkatnya jumlah penggunanya dalam tiga tahun terakhir. Jika pada 2017, jumlah penggunanya sebanyak 61,63 juta jiwa, jumlahnya bertambah hingga mencapai 70,6 juta jiwa tahun 2019.
Dari seluruh pengguna di Indonesia, kelompok usia muda (25-34 tahun) mendominasi layanan ini pada 2019. Sebanyak 45,1 persen pengguna layanan VoD berusia 25-34 tahun. Sedangkan dari sisi gender, kaum laki-laki lebih banyak menggunakan layanan VoD dibandingkan dengan perempuan.
Berlangganan
Dari sisi akses layanan, kebanyakan penyedia layanan VoD menjalankan bisnis berlangganan bagi pengguna. Berdasarkan hasil survei DailySocial tahun 2017, ada tiga layanan VoD paling banyak pengguna, yaitu HOOQ (48,30 persen), NETFLIX (24,93 persen), dan viu (25,02 persen).
Layanan HOOQ memiliki harga langganan sekitar Rp 49.500/bulan, sementara untuk film yang baru rilis pengguna dapat memilih layanan sewa dengan harga Rp 29.000/film. Pelopor layanan VoD di Indonesia, yaitu NETFLIX, memiliki empat jenis sistem berlanggaranan, yaitu mobile, basic, standard, dan premium.
Layanan Video on Demand lebih murah dibandingkan tv kabel atau satelit.
Harga layanan NETFLIX paling murah adalah mobile, yaitu sebesar Rp 49.000/bulan. Namun, pengguna hanya dapat menikmati tayangan pada satu layar ponsel dengan kualitas rendah. Sementara untuk layanan yang lebih premium, pelanggan harus membayar Rp 169.000/bulan.
Sajian berbeda diberikan oleh layanan viu yang fokus pada serial film Korea dan Asia lainnya. Harga berlangganan tiap bulannya sebesar Rp 30.000/bulan.
Selain VoD berbayar, ada jenis layanan video daring yang memberikan akses gratis, yaitu YouTube, Vidio, Tube.id, MIVO, dan vimeo. Layanan gratis YouTube memiliki popularitas paling tinggi, di mana 92 persen responden survei DailySocial menjawab pernah mengakses layanan tersebut.
Survei DailySocial juga memberikan gambaran tingkat kemauan membayar masyarakat Indonesia. Hasilnya, sebanyak 54,32 persen memilih harga Rp 0-25.000 tiap bulan dan 28,90 persen mau dikisaran harga Rp 25.000-50.000 tiap bulan.
Kemudahan dan kebebasan yang ditawarkan layanan VoD mampu memenuhi ekspektasi dan kebutuhan kelompok usia muda. Penelitian yang dilakukan The Nielsen Global Video on Demand Survey 2016 juga menemukan fenomena yang serupa. Sebanyak 40 persen kelompok usia 15-20 tahun bersedia berlangganan konten VoD.
Pada kelompok usia muda lainnya keinginan berlangganan masih ada walaupun sedikit di bawah kelompok usia 15-20 tahun. Pada kategori usia 21-34 tahun keinginan berlangganan mencapai 38 persen, sedangkan pada usia 35-49 tahun, sebanyak 30 persen mengungkapkan bersedia berlangganan.
Layanan VoD cukup populer di kalangan usia muda. Ini ditunjukkan dengan tingginya aktivitas menonton VoD. Setidaknya 45 persen penduduk usia 15-49 tahun menikmati layanan VoD setiap hari, sisanya menonton beberapa kali dalam seminggu.
Bebas memilih
Video on Demand atau video sesuai permintaan mampu mengganti cara menonton masyarakat yang konvensional. Sebelumnya, masyarakat tidak dapat memilih tontonan apa yang ingin dinikmati. Mereka terbatas menyaksikan acara apa yang disediakan oleh stasiun televisi.
VoD menangkap peluang mengisi kebutuhan konten yang lebih personal. Pengguna memiliki kebebasan penuh untuk memilih apa yang ingin dilihat. Semuanya berjalan secara interaktif dan menggunakan perintah yang sederhana, seperti pause, rewind, fast forward, atau mengunduh film.
The Nielsen Global Video on Demand Survey 2016 menunjukkan tingkat kepuasan pengguna dan harapan ke depan bagi industri layana VoD. Apresiasi pertama ditunjukkan oleh 79,2 persen responden yang menyatakan bahwa VoD memberikan layanan waktu menonton fleksibel atau bebas sesuai keinginan pengguna.
Kedua, sebanyak 65,4 persen responden puas dengan VoD sebab setiap orang di rumah atau kantor dapat menonton video yang berbeda-beda pada saat bersamaan. Sementara 68,4 persen sangat terbantu dengan VoD sebab dapat menonton film atau serial drama yang tertinggal atau belum sempat ditonton.
Terakhir, 59,6 persen esponden mengakui bahwa layanan VoD lebih murah dibandingkan tv kabel atau satelit. Bila dibandingkan dengan harga salah satu layanan tv berlangganan dengan harga Rp 250.000 per bulan, maka langganan HOOQ, NETFLIX, IFLIX, atau viu, tentu jauh lebih murah.
Satu hal menarik dari temuan The Nielsen Global Video on Demand Survey tersebut adalah keinginan masyarakat akan konten lokal di VoD. Sebanyak 70,4 persen responden meminta lebih banyak acara-acara televisi lokal.
Ini menggambarkan keberadaan konten-konten berkualitas dengan muatan lokal tetap dinanti publik. Tidak dimungkiri, kehasan konten lokal memiliki kedekatan psikologis dengan pelanggan.
Laris manis perkembangan bisnis hiburan film/video memberi inspirasi tidak banyak perubahan terjadi di sisi konten. Transformasi pada platform layanan yang diberikan dan mencermati perilaku masyarakat menjadi titik tolak inovasi.
Tren kepemilikan smartphone yang makin canggih dilirik penyedia kontan untuk menjemput pelanggan dari kebiasaan menggunakan perangkat teknologi yang digunakan. Berawal dari layanan konvensional dengan keterbatasan pilihan oleh pengguna, perkembangan akses informasi bergeser ke layanan bebas dan fleksibel, seperti streaming musik dan Video on Demand.
Penekannya lebih pada konsistensi penyedia konten untuk membuat konten-konten berkualitas dan kreatifitas membuat kemasan konten yang sesuai kebiasaan digital. Tentu saja, seraya memberikan pilihan bagi pengguna untuk memilih konten mana yang mereka sukai. (Litbang Kompas)