Menghirup Budaya di Kota Yogyakarta
Yogyakarta adalah jiwa Pulau Jawa. Ungkapan ini sering kali ditujukan untuk kota ini secara keseluruhan sebagai Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Yogyakarta adalah jiwa Pulau Jawa. Ungkapan ini sering kali ditujukan untuk kota ini secara keseluruhan sebagai Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hingga kini, budaya dan tradisi kental bernuansa kerajaan masih terjaga. Inilah yang membuatnya layak menjadi representasi keselarasan hidup modern dan kultur klasik suku Jawa di Indonesia. Kota Yogyakarta pun hadir sebagai ikonnya.
Kota Yogyakarta, atau sering disingkat Yogya, menjadi etalase indah bagi empat kabupaten lain yang ada di provinsi istimewa ini. Dengan keterbatasan potensi alamnya, kota ini serius menggarap secara kreatif pariwisata berbasis budaya. Kesungguhan ini menghasilkan capaian yang baik dalam penilaian Daya Saing Pariwisata (DSP) 2019.
Mengacu pada DSP 2019 yang dilakukan Litbang Kompas, Kota Yogyakarta menjadi yang terbaik di antara 508 kabupaten/kota yang dinilai khusus untuk aspek tata kelola. Fokus aspek tata kelola pada prioritas pembangunan wisata, daya saing harga, akses internasional, serta lingkungan berkelanjutan. Dalam aspek tata kelola ini, Yogya meraih skor 4,08, mengungguli Kota Surakarta, Kota Semarang, Kabupaten Banyuwangi, bahkan Kota Denpasar.
Tata kelola merupakan satu dari empat aspek yang menjadi perhitungan DSP kali ini. Tiga lainnya adalah aspek sarana pendukung, infrastruktur, serta sumber daya alam dan budaya. Dalam penilaian DSP secara umum, Yogya berada di peringkat ketiga dalam penilaian keseluruhan dengan skor 3,59 di bawah Kota Denpasar dan Kota Surabaya.
Tata kelola kota dan potensi pariwisata yang tetap menonjolkan budaya lokal menjadi tantangan di tengah heterogenitas penduduk yang terus terbentuk karena banyaknya pendatang. Tidak kurang 38 dari total 100 lembaga perguruan tinggi di Provinsi DIY ada di ”Kota Gudeg” ini (BPS, 2019). Mahasiswa yang datang dari berbagai latar belakang daerah beserta budayanya membuat Yogya menjadi semacam melting pot atau wadah peleburan kultur dari beragam suku di Indonesia.
Standardisasi
Budaya Jawa yang masih kuat di tengah kemajemukan penduduknya membuat kota ini tumbuh menjadi makin menarik bagi pengunjung. Peluang pariwisata makin terbuka bagi wisatawan untuk menikmati aset seni budaya, kuliner, belanja, ataupun kegiatan wisata. Empat hal itulah yang terus-menerus dikembangkan, dievaluasi, serta diperbaiki Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta.
Untuk mendukung pengembangan keempat hal tersebut, tata kelola menjadi salah satu yang penting diperhatikan. Menurut Yetti Martanti, Kepala Bidang Pengembangan dan Pemasaran Pariwisata Kota Yogyakarta, fokus tata kelola adalah pada potensi dan keunggulan wisata serta sumber daya manusia (SDM). ”Potensi dan keunggulan wisata harus memenuhi standar. Demikian juga SDM-nya harus kompeten,” ujar Yetti.
Untuk itu, Pemkot Yogya melalui Dinas Pariwisata saat ini gencar mendorong para pelaku wisata agar menjalani proses sertifikasi sehingga standar kualitas yang diinginkan terpenuhi. Tujuannya tak lain adalah optimalisasi pariwisata demi kenyamanan wisatawan. Agen perjalanan, termasuk pemandu wisata, yang merupakan gerbang depan promosi wisata Yogya, didorong untuk bersertifikasi dan memiliki kompetensi standar.
Selain imbauan, Pemkot Yogya juga membantu memfasilitasi program ini. ”Tujuan akhir pastinya agar wisatawan merasa betah saat datang ke Yogya dan pada akhirnya masa tinggal atau length of stay-nya bisa diperpanjang,” ujar Yetti.
Demi mewujudkan kenyamanan wisatawan tersebut, Pemkot Yogya pun mengusahakan beragam cara agar kota ini menjadi tujuan wisata yang spesial bagi turis domestik ataupun asing. Salah satunya mengadopsi branding ”Jogja Istimewa” yang sejak Maret 2015 ditetapkan oleh Pemerintah DIY. Slogan ini kemudian menjadi panduan mengkreasikan hal-hal yang mencirikan keistimewaan Kota Yogya.
Selasa Wage
Narasi ”Jogja Istimewa” salah satunya lahir karena keprihatinan sejumlah pihak terhadap perkembangan wilayah yang dianggap melenceng sehingga melunturkan identitas budaya dan tradisi yang ada. Kota Yogya, misalnya, dirasa semakin sumpek dengan pembangunan pusat perbelanjaan, hotel, dan apartemen yang masif. Kota ini tidak lagi terasa istimewa dan nyaman didatangi. Pembangunan ekonomi tanpa mempertimbangkan kearifan lokal dan daya dukung kawasan membuat Yogya seperti kehilangan jati diri.
Keresahan ini membawa kesadaran masyarakat dan Pemkot Yogya untuk tidak lagi berorientasi pada pembangunan kota yang semena-mena. Salah satu langkahnya berupa moratorium pembangunan hotel sejak tahun 2014. Meski pada akhir Desember 2018 moratorium ini dicabut, izin hanya diberikan untuk pembangunan hotel bintang 4 ke atas serta penginapan jenis guest house dan homestay.
Pembangunan ekonomi tanpa mempertimbangkan kearifan lokal dan daya dukung kawasan membuat Yogya seperti kehilangan jati diri.
Melalui langkah ini, Pemkot Yogya tetap ingin memberikan iklim usaha yang baik sekaligus mangakomodasi kebutuhan wisata MICE (meeting, incentive, convention, exhibition). Sejauh ini, Kota Yogya dirasa belum memiliki ruang konvensi yang representatif untuk kegiatan internasional. Meski demikian, syarat luas lahan yang dibangun juga dibuat mengingat keterbatasan lahan dan untuk menjaga agar pembangunan tidak melanggar tata kota.
Terobosan lain yang dilakukan demi memberi napas baru Kota Yogya adalah penerapan hari istirahat bagi kawasan Malioboro. Kebijakan ”Selasa Wage” (dibaca ”seloso”) yang diberlakukan sejak setahun terakhir ini melarang aktivitas pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Malioboro satu hari setiap bulan pada hari Selasa Wage. Pada hari itu, seluruh pedagang, masyarakat, dan aparat bersinergi membersihkan kawasan wisata paling favorit ini.
Malioboro seolah-olah diberi waktu untuk beristirahat dan mengisi energi kembali setelah sehari-hari dibebani keruwetan dari keramaian orang yang datang. ”Dari filosofi Jawa, selasa itu bisa diartikan sebagai selo-selo menungso alias waktu istirahatnya manusia,” kata Edi Sugiharto, Kepala Bidang Atraksi Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kota Yogyakarta.
Jika awalnya bertujuan untuk memberi Malioboro waktu rehat, kini Selasa Wage juga menjadi obyek wisata baru bagi mereka yang ingin menikmati kawasan ini lebih nyaman tanpa kehadiran PKL di jalur pedestrian.
Wisata segmentasi
Baik aturan pembatasan pembangunan hotel maupun kebijakan Selasa Wage, keduanya tak lepas dari upaya untuk menjaga pariwisata Yogya agar tetap berkelanjutan. Dengan luas wilayah terbatas , Kota Yogya tidak ingin wilayahnya dibanjiri pengunjung yang sekadar datang tanpa paham maksud dan tujuan kedatangan mereka.
”Kami tidak menyasar mass tourism atau jumlah pengunjung yang berlebihan. Yang kami inginkan adalah pariwisata yang segmented,” papar Yetti. Menurut dia, jika hanya mengejar jumlah wisatawan tanpa peduli dan fokus pada potensi wisata yang dimiliki, pariwisata kota ini akan kehilangan keunikannya dan sama seperti tempat-tempat wisata lain.
Turis yang datang diharapkan adalah mereka yang benar-benar ingin menikmati aura dan tradisi budaya Yogya. Hal itu dipilih demi menjaga Yogya dari eksploitasi pariwisata yang sembarangan. Efeknya, kenyamanan berwisata akan terjaga. Segmentasi yang jelas kemudian dipilih Kota Yogya sebagai pusat budaya dan tradisi Jawa, sekaligus pengetahuan sejarah Indonesia.
Simbol kerajaan Nusantara yang langgeng berupa kompleks Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, keberadaan gedung-gedung tua bernuansa kolonial yang menawarkan pengetahuan sejarah masa lampau di kawasan Kotabaru, terjaganya Kotagede sebagai pusat kerajaan Mataram Islam kuno, serta adanya 17 kampung wisata tematis yang menyuguhkan keunikan tradisi masing-masing merupakan beberapa potensi wisata unggulan yang dimiliki. Selain itu, untuk meneguhkan ciri khasnya sebagai kota pelajar, Yogya juga memiliki Taman Pintar yang merupakan sarana rekreasi edukasi anak usia dini.
Pembenahan kawasan
Sebagai wilayah yang kaya akan warisan budaya, penataan ruang kota yang mendukung kenyamanan pengunjung tentu saja tak bisa sembarangan. Penataan lima kawasan cagar budaya, yakni Keraton, Pakualaman, Kotagede, Kotabaru, dan Malioboro, tetap mengacu pada ketentuan untuk menjaga keaslian dan identitas aslinya. Penataan lebih bertujuan untuk memberikan pengalaman menyenangkan bagi wisatawan yang berkunjung.
Setidaknya dalam dua tahun terakhir hasil dari penataan PKL di kawasan Malioboro dan jalur pedestrian di sejumlah ruas jalan sudah terasa. Jika dulu PKL di kawasan Malioboro sangat semrawut dan tidak beraturan, saat ini hal tersebut tidak lagi ditemui. Jumlah PKL dibatasi, kursi-kursi tersedia di sepanjang jalur pedestrian, dan keberadaan petugas keamanan yang menjaga kawasan menjadikan Malioboro kini lebih ramah wisatawan.
Perbaikan ini juga dirasakan dan diapresiasi warga Yogya. ”Sekarang kawasan Malioboro sudah bagus dan tidak semrawut PKL-nya seperti dulu. Di sepanjang jalannya juga tidak boleh ada kendaraan yang parkir karena sudah disediakan tempat parkir khusus. Lebih enak kalau sekarang jalan-jalan di Malioboro,” tutur Devry, pengemudi transportasi daring di Yogya.
Bukan hanya Malioboro, kawasan lain juga ikut dibenahi. Seperti revitalisasi jalur pedestrian dan boulevard di kawasan Kotabaru, yakni Jalan Suroto dan Jalan Sudirman yang nyaman dan ramah kepada pejalan kaki, termasuk kaum difabel. Seluruh pembenahan tersebut ditujukan demi menjaga Yogya tetap berbudaya. (PALUPI P ASTUTI/LITBANG KOMPAS)