Transformasi Film Natal
Film natal sudah ada sejak delapan dekade lalu, dan berkembang dalam ragam genre dan teknologi.
Sejak awal kemunculannya, film natal telah menemani waktu liburan natal dan akhir tahun. Selama lebih dari delapan dekade, jejak film natal merekam nuansa perkembangan teknologi sinematografi, tema film, potensi bisnisnya, serta nilai humanis yang mengisi kedamaian natal.
Selain sebagai hiburan yang menemani liburan natal dan tahun baru, film natal juga berlaku sebagai pemantik memori masa lalu. Tiap generasi punya film natalnya masing-masing. Generasi 1990-an akrab dengan film Home Alone (1990) dan Baby’s Day Out (1994).
Generasi 2000-an memiliki romansa dengan film How the Grinch Stole Christmas (2000), Elf (2003), The Polar Express (2004), atau A Christmas Carol (2009). Generasi sekarang lebih familiar dengan Daddy’s Home 2 (2017) atau How the Grinch Stole Christmas (2018).
Menarik mundur ke belakang, film natal yang identik dengan generasi 1930-an adalah Scrooge (1935) dan A Christmas Carol (1938). Keberadaan film natal pada periode tersebut juga menjadi titik awal munculnya film natal.
Dekade berikutnya ada It’s a Wonderful Life (1947) film arahan sutradara kawakan Hollywood, Frank Capra. Film dengan penjualan tiket senilai 10,8 juta dollar AS ini dianggap sebagai film natal klasik karena berulang kali tayang pada momen natal.
Uniknya, film It’s a Wonderful Life bukan sengaja dibuat sebagai film natal. Awalnya film yang hak ciptanya sudah kadaluarsa pada 1974, kemudian disiarkan oleh stasiun televisi untuk mengisi jam tayang saat natal. Jadilah film ini identik dengan natal.
Sebagaimana awal kemunculan It’s a Wonderful Life, kategori film natal tidak selalu identik dengan film yang rilis pada bulan Desember atau menjelang natal. Pelabelannya disematkan berdasar kesepakatan publik terhadap film tertentu. Dalam hal ini, film yang secara konsisten tayang di masa liburan natal kemudian banyak diamini sebagai film natal.
Salah satu contoh film natal yang rilis di luar momentum natal adalah Miracle on 34th Street. Tayangan perdana film yang dibintangi Maureen O\'Hara dan John Payne diluncurkan pada 2 Mei 1947.
Animasi
Perkembangan teknologi film turut mempengaruhi kualitas dan variasi film natal. Hingga era 1920-an teknologi film masih belum mampu menampilkan karakter suara. Keberadaan film saat itu disebut sebagai silent movie.
Selain belum bersuara, warna film kala itu masih didominasi hitam putih dan tone silver. Tayangan film di bioskop dikenal dengan layar perak atau silver screen karena mengacu pada warna perak yang diproyeksikan ke layar.
Film-film natal di era perdana seperti It’s a Wonderful Life (1947), Holiday Inn (1941), dan Miracle on 34th Street (1947) merupakan bagian dari generasi layar perak dengan suara. Seiring perkembangan teknologi warna dalam sinema, film natal juga mulai bersentuhan dengan warna.
Sinema natal yang sudah berwarna diinisiasi melalui penampilan film White Christmas (1954). Film produksi Paramount Pictures ini menggunakan metode technicolor untuk memberi warna pada film.
Pada perkembangan berikutnya, teknologi animasi mulai muncul dan menjadi daya tarik bagi pembuat film natal menggunakannya pada 1960-an. How the Grinch Stole Christmas! (1966) merupakan film natal animasi yang awal muncul.
Film ini ditampilkan melalui siaran televisi lokal di Amerika Serikat. Sedangkan film natal animasi dengan format layar lebar diawali oleh film Nestor, the Long-Eared Christmas Donkey (1977).
Salah satu film natal dengan balutan animasi yang banyak mendapat apresiasi publik adalah The Polar Express (2004). Film tersebut masuk sepuluh besar film natal dengan pendapatan terbanyak, menghasilkan 311 juta dollar AS.
Formula film
Mencermati keberadaannya sejak 1935, narasi film natal membentuk pola-pola atau ciri tersendiri. Formulasi film-film perdana natal banyak diangkat dari cerita novel karangan Charles Dickens, seperti A Christmas Carol (1843). Karenanya film natal klasik juga dikenal dengan sebutan model Dickens.
Selain model Dickens, beragam kreasi rumusan film bermunculan. Beberapa narasi yang muncul adalah perdamaian, niat baik dan kehangatan keluarga. Representasi realita kontemporer juga dimunculkan antara lain perceraian, penyesalan dalam hidup, dan ambisi untuk berburu barang diskon akhir tahun.
Pembuat film mulai memberi variasi narasi yang dekat dengan keseharian, bukan hanya mereproduksi cerita “klasik” yang terkesan klise. Confessions of a Shopaholic (2009) yang dirilis pada 13 Februari 2009 merupakan perwujudan formula kontemporer film natal.
Momen perilisan film tersebut tidak bertepatan dengan periode natal, namun latar dan narasi yang ditawarkan masih dalam konteks natal. Pada film hasil adaptasi novel Shopaholic karya Sophie Kinsella menguraikan konflik internal seseorang yang ingin melepaskan diri dari kecanduan belanja.
Variasi lainnya datang dari genre film laga. Film laga yang dikenal sarat kekerasan dapat masuk sebagai kategori film natal. Die Hard (1988) yang dibintangi Bruce Willis diapresiasi oleh publik sebagai salah satu film natal. Mengapa demikian? Sekalipun penuh adegan laga, film ini menyampaikan pesan upaya menjaga kesatuan keluarga yang dilakukan detektif John McClane (Bruce Willis).
Latar waktu dan tempat film Die Hard pada perayaan natal di sebuah gedung perkantoran. Terjadi aksi tembak menembak antara tokoh protagonist dengan antagonis. Film diwarnai ledakan, hamburan pecahan kaca, serta kucuran darah. Pada akhir film ditutup dengan scene kertas berhamburan yang merupakan konotasi dari turunnya salju saat natal.
Ada pula genre tragedi yang turut mewarnai variasi narasi film natal. Schindler\'s List (1993) film arahan sutradara Steven Spielberg menyabet tujuh penghargaan Oscar pada tahun 1994. Film ini bercerita tentang peristiwa holokaus saat Perang Dunia II di Eropa.
Tiga babak
Film Schindler\'s List juga menandai linimasa transformasi film natal. Jejak perjalanan film natal setidaknya dapat dikelompokkan dalam tiga periode waktu, di era sebelum Perang Dunia II, saat masa perang, dan era pascakonflik global. Latar belakang dan lanskap sosial dan politik dunia saat periode tersebut turut menjadi penentu bentuk film natal.
Film natal dalam masa Perang Dunia II menawarkan sajian roman, pasangan yang perpisahan akibat perang, dan berkumpul kembali. Narasi tersebut memiliki kesesuaian dengan konteks sosial di masa peperangan. Salah satu film natal yang tenar pada era ini adalah Holiday Inn (1941) dengan lagu White Christmas ciptaan Irving Berlin.
Salah satu film natal dengan balutan animasi adalah The Polar Express (2004).
Masa perang menjadi titik kerinduan masyarakat akan kehangatan keluarga. Perang dan konflik membuat keluarga harus terpisah karena mengungsi atau kehilangan anggota keluarga.
Tidak heran, film natal pada masa ini lebih banyak memberikan gambaran natal yang ideal, yaitu saat berkumpul di rumah bersama dengan keluarga. Natal juga diwarnai kebahagiaan dan dongeng-dongeng bertema natal.
Namun, ada pula film natal yang diproduksi dengan mengangkat latar belakang kondisi perang pada saat itu. Film-film natal ini antara lain diproduksi seniman-seniman film Inggris, seperti Christmas Under Fire (1940) dan In Which We Serve (1942).
Nilai moral
Saat ini film-film natal lebih mengangkat nilai moral yang digambarkan dari peran para tokoh dalam film. Pascaperang dunia sinema natal lebih banyak mengambil sisi penokohan karakter untuk menyebarkan pesan humanisme dan perdamaian.
Ragam karakter tokoh ditampilkan, dari ambisius, egois, tamak, depresi, trauma, dan kerapuhan. Momen natal beserta seperangkat nilai kebaikan menjadi solusi bagi konflik tokoh dalam film.
Nilai humanisme menjadi penangkal paham negatif yakni materialisme dan egoisme. Paham negatif menjadi penyebab perpecahan relasi sosial. Film natal kerap menggunakan konklusi berupa persatuan keluarga atau pasangan yang terpisah akibat konflik. (Mark Glancy dalam Mark Connelly, 2001).
Ini antara lain terlihat dari narasi film Home Alone (1990) yang diangkat dari kisah sebuah keluarga yang mengalami krisis dan nyaris bercerai. Pada akhirnya, konflik karena ego keluarga berhasil didamaikan melalui tumbuhnya kembali kehangatan keluarga itu sendiri.
Sejarah film natal terbentang sejak 1935 hingga merekam perubahan kondisi sosial, politik, budaya dan kemajuan teknologi peradaban dunia. Kehangatan film-film natal yang tercermin dari nilai humanisme bukan hanya merekatkan kedamaian natal bagi keluarga, namun juga menjadi perekat segala bangsa. (Litbang Kompas)