Kebiasaan menghias pohon Natal telah berkembang sejak Abad Pertengahan. Sebagaimana makna natal sebagai awal kehidupan, hiasan pohon natal seharusnya juga menandakan kehidupan dan kelestarian lingkungan.
Oleh
YOESEP BUDIANTO
·5 menit baca
Hari Natal menjadi perayaan besar bagi umat Kristiani di seluruh dunia. Setiap negara memiliki tradisi unik dengan begitu banyak sejarah panjang, termasuk menghias pohon natal di rumah.
Kebiasaan menghias pohon Natal telah berkembang sejak Abad Pertengahan, sekitar tahun 1400. Asal usul tradisi pohon Natal memiliki banyak catatan, mulai dari gereja di pedesaan Inggris abad ke-15 hingga pemaknaan kebaikan Tuhan oleh Martin Luther. Dilansir dari laman TIME, istilah pohon Natal berawal dari semangat menghijaukan lingkungan saat perayaan Natal.
Dari sekian banyak kisah tentang pohon Natal, setidaknya ada dua kisah yang menarik dan memiliki nilai tentang kasih serta harapan. Pertama, seorang tokoh terkenal dalam perjalanan Reformasi Protestan, Martin Luther, memaknai pohon Natal sebagai bentuk kebaikan Tuhan.
Kedua, terkait asal mula pohon Natal berakar di Jerman mulai abad pertengahan. Pada tahun 1914, sebuah kelompok masyarakat di Freiburg memasang pohon yang dihiasi apel, wafer, dan aneka roti untuk merayakan hari Adam dan Hawa yang jatuh pada malam Natal.
Dari sekitar 95 juta rumah tangga di Amerika yang memiliki pohon Natal pada tahun 2018, sebanyak 82 persen adalah pohon hasil kreasi dan plastik.
Pohon Natal yang digantungi buah apel mewakili pohon surga yang berada di Taman Eden. Sementara keberadaan wafer, yang kemudian bisa diganti dengan aneka kue, melambangkan tanda penebusan umat Kristiani.
Dilansir dari laman Britannica, penggunaan pohon Natal makin tersebar luas setelah diperkenalkan ke Inggris pada awal abad ke-19 oleh Pangeran Albert, suami Ratu Victoria. Popularitas pohon Natal memang tak lepas dari orang Jerman yang membawanya ke berbagai negara, termasuk daratan Amerika.
Sementara di Cina dan Jepang, pohon Natal diperkenalkan oleh para misionaris barat pada abad ke-19 dan ke-20 dengan ragam desain unik dan rumit dari kertas. Oleh sebab itu, pada abad ke-19, pohon Natal menjadi puncak mode dalam perayaan Natal.
Perubahan
Popularitas pohon Natal memang tidak pernah surut, namun tren Natal berubah ke pohon imitasi yang digunakan sebagai pohon Natal. Tren ini mulai muncul pada Desember 1964 dengan pangsa pasarnya mencapai sektiar 35 persen atau senilai 155 juta dollar AS.
Lima puluh tahun kemudian, pohon buatan masih mendominasi industri pohon Natal. Dilansir dari laman TIME, dari sekitar 95 juta rumah tangga di Amerika yang memiliki pohon Natal pada tahun 2018, sebanyak 82 persen adalah pohon hasil kreasi dan plastik, sementara 18 persen adalah pohon asli.
Namun, bila dihitung jumlah pohon asli yang digunakan, maka jumlah pohon yang ditebang mencapai 17,1 juta pohon. Jumlah tersebut jauh lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya.
Data dari Departemen Pertanian AS (USDA) yang dirilis di The Wall Street Journal, permintaan pohon Natal di Amerika Serikat tahun 2017 mencapai lebih dari 15 juta pohon.
Rata-rata pohon yang ditanam berjumlah sekitar 1.200 pohon tiap hektar dengan tinggi 2 meter. Jika jumlah pohon yang ditebang 15 juta pohon, maka lahan yang gundul mencapai sedikitnya 12.500 hektar atau 156 kali luas Monumen Nasional di Jakarta.
Bila semua pohon yang ditebang tahun 2017 tersebut ditumpuk secara vertikal, maka ketinggiannya mencapai Geosynchronous Orbit, tempat tertinggi satelit mengorbit bumi. Jika dijumlah selama satu dekade terakhir, ketinggiannya bisa mencapai Bulan.
Estimasi tersebut tak berlebihan, sebab data dari USDA tahun 2002 menyebutkan bahwa permintaan pohon Natal mencapai angka 20,8 juta pohon. Banyak cara telah dilakukan untuk menekan angka permintaan pohon Natal, salah satunya memanfaatkan barang bekas atau ranting kering yang disusun layaknya pohon.
Penebangan pohon memiliki dampak buruk terhadap keseimbangan lingkungan. Tak hanya sebagai penyerap karbon, pohon turut menjadi pendukung kehidupan fauna, seperti burung, serangga, hingga reptil.
Asosiasi pohon natal
Belum semua negara memiliki asosiasi yang bekerja khusus untuk penyediaan pohon Natal. Beberapa asosiasi yang telah terbentuk adalah British Christmas Tree Growers Association di Inggris, National Christmas Tree Association di Amerika Serikat, dan New Zealand Christmas Tree Farms di Selandia Baru.
Oleh sebab itu, ancaman kerusakan lingkungan karena penebangan pohon berlebih atau penggunaan plastik untuk pohon masih tinggi di banyak negara. Menurut National Christmas Tree Association di Amerika Serikat, sedikitnya ada 11 jenis pohon yang biasanya digunakan sebagai pohon Natal.
Pohon-pohon tersebut adalah White Pine, White Spruce, Fraser Fir, Colorado Blue Spruce, Concolor Fir, Douglas-Fir, Bal Sam Fir, Scotch Pine, Noble Fir, Leyland Cypress, dan Virginia Pine. Semuanya termasuk jenis pinus dan cemara.
Pohon Natal asli dipilih karena memiliki warna biru-hijau gelap dengan aroma yang menyegarkan. Bentuk daun yang menyerupai jarum dengan susunannya yang rapat/lebat, menjadi daya tarik pohon Natal.
Jenis pohon pinus tidak membutuhkan persyaratan tempat tumbuh khusus dan menyebar alami di berbagai belahan Bumi. Ciri lainnya adalah memiliki ukuran besar, batang lurus, dan silindris. Secara alami, pohon ini mampu mencapai ketinggian 30 meter dengan diameter batang hingga 80 centimeter.
Hampir sama dengan pinus, jenis pohon cemara tidak membutuhkan banyak air untuk bertahan hidup dengan tajuk dedaunan yang melebar dan lebat. Bila ditanam alami, pohon ini dapat mencapai ketinggian 35 meter dengan diameter hingga 65 cm.
Salah satu cara yang dapat dilakukan agar rumah atau gereja tidak perlu memesan pohon tiap kali perayaan Natal adalah melakukan perawatan pohon secara mandiri. Pohon Natal yang dipakai tidak dipotong, melainkan dibawa utuh dalam pot besar.
Setelah perayaan Natal usai, pohon kembali ditanam di tanah lapang dan dirawat hingga kemudian dipakai kembali. Hal tersebut dilakukan agar proses pemotongan jutaan pohon untuk Natal tidak dilakukan dalam jumlah yang besar.
Makna perayaan natal menjadi momentum merayakan kembali hidup baru. Suka cita natal seharusnya membawa berkah bagi lingkungan, termasuk menjaga kelestarian pepohonan. Hal tersebut sebagai langkah nyata keseimbangan perayaan natal yang sesungguhnya, sebagai sumber kehidupan umat manusia. (Litbang Kompas)