Mobilitas Disabilitas Terbentur Infrastruktur
Indonesia masih harus menempuh jalan panjang dalam hak infrastruktur penyandang disabilitas. Implementasi Berbagai undang-undang dan peraturan hingga rencana pembangunan sampai tahun 2024 masih jauh dari kondisi ideal.
Indonesia masih harus menempuh jalan panjang dalam hak infrastruktur penyandang disabilitas. Berbagai undang-undang dan peraturan hingga perencanaan menuju tahun 2024 untuk penyandang disabilitas sudah tersedia. Hanya saja, implementasinya masih jauh dari kondisi ideal.
Jepang adalah salah satu contoh negara yang mempunyai kepedulian ”ekstrem” bagi warganya yang berstatus penyandang disabilitas. Sebuah kepedulian yang bermakna tanggung jawab penuh.
Video dokumenter di kanal Youtube bertajuk ”Living in Japan with a Physical Disability” (2016), yang mengisahkan keseharian Yuriko Oda, Josh Grisdale, dan Tsuchiya Minekazu, bisa menjadi contoh wujud tanggung jawab tersebut.
Yuriko Oda (39), ibu rumah tangga dengan satu anak, sejak usia 26 tahun berkursi roda akibat penyakit distal myopathy, tetapi masih bisa menggerakkan sebagian tangannya.
Video itu juga menggambarkan Josh Grisdale adalah tunadaksa karena cerebral palsy yang dideritanya sejak bayi, dan semua tangan dan kakinya lumpuh total. Ada juga Tsuchiya Minekazu, tunadaksa karena kecelakaan sepeda motor sekitar 30 tahun lalu. Kakinya lumpuh total, sedangkan sebagian tangannya masih bisa berfungsi dengan alat tambahan untuk bekerja di komputer.
Segala aktivitas mereka dijamin pemerintah setempat, salah satunya melalui potongan penghasilan sebesar 10 persen per bulan. Potongan ini fleksibel, artinya menyesuaikan tingkat penghasilan penyandang disabilitas bersangkutan. Mereka yang penghasilannya lebih rendah, persentasenya pun lebih kecil.
Kondisi disabilitas ketiganya memerlukan tenaga pendamping (helper) yang disediakan sejumlah perusahaan. Konsep kerja helper disesuaikan dengan kondisi penyandang disabilitas, dan biasanya terbagi dua, untuk keperluan ke fasilitas kesehatan (rumah sakit atau dokter) dan membantu di tempat tinggal (rumah atau apartemen).
Khusus di tempat tinggal, job desc mereka (helper) adalah membantu keperluan fisik (mandi, memakaikan baju, dan lainnya), nonfisik (belanja, memasak, membersihkan tempat tinggal, dan lainnya), dan sosial (pertemuan, travelling, dan lainnya).
Keberadaan helper juga membuat para penyandang disabilitas membuat sendiri daftar keperluan harian hingga mingguan sehingga mereka bisa leluasa beraktivitas ke mana dan apa pun.
Kota-kota di Jepang bisa dibilang luar biasa padat dengan bangunan, lalu lintas, dan penduduknya. Toh kondisi ini tetap bisa membuat warga penyandang disabilitas nyaman. Walaupun tidak seluruh bangunan sudah ramah disabilitas, setidaknya sudah ada kesadaran untuk membantu kelancaran aksesibilitas.
Misalnya ramp (jalan dengan kemiringan tertentu bagi yang tak bisa menaiki tangga) untuk masuk-keluar supermarket, kereta api, juga ruang-ruang yang cukup lega untuk mobilitas kursi roda, ketinggian meja atau rak makanan yang didesain khusus penyandang disabilitas, hingga lift khusus dengan fasilitas suara, tampilan layar, dan tombol sentuh.
Begitu besarnya perhatian pemerintah setempat diungkapkan Josh Grisdale yang sudah sekitar 12 tahun tinggal di negara ini. Awalnya ia masih berstatus warga negara Kanada, tetapi tetap mendapat hak dan fasilitas yang sama seperti penyandang disabilitas Jepang lainnya. Ia baru menjadi warga Negara Jepang pada 2016.
Menurut dia, biaya-biaya yang diperlukan untuk mobilitas di Kanada masih jauh lebih mahal dibanding di tempat tinggalnya sekarang. Tak berlebihan jika semua ini memperlihatkan bagaimana Jepang menempatkan kaum disabilitas sebagai tanggung jawab penuh negara.
Infrastruktur di Indonesia
Bagaimana dengan di Indonesia ? Bicara ramah disabilitas, ada peristiwa penting yang mestinya menjadi pengalaman berharga, terutama Jakarta, yaitu Asian Para Games pada 6-13 Oktober 2018. Dengan segala gegap gempitanya, momen ini menyisakan sejumlah kekecewaan, yaitu sejumlah penyandang disabilitas yang kesulitan menikmati pesta olahraga tersebut. Misalnya, masih simpang-siurnya papan informasi dan petugas terkait, ubin pemandu tunanetra yang tertutup tenda-tenda panitia, hingga penyeberangan jalan yang ramai lalu lintas tanpa ada tombol maupun petugas khusus yang membantu.
Secara konsep, Indonesia sebetulnya sudah siap. Ini bisa dilihat dari UU Nomor 8 Tahun 2016 (Penyandang Disabilitas), UU Nomor 28 Tahun 2002 (Bangunan Gedung), UU Nomor 26 Tahun 2007 (Tata Ruang Wilayah Wilayah Nasional), UU Nomor 22 Tahun 2009 (Lalu Lintas dan Angkutan Jalan), UU Nomor 19 Tahun 2011 (Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang disabilitas), dan Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan Umum Nomor 30 Tahun 2006 (Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan).
Semua undang-undang dan permen itu mensyaratkan kota ramah disabilitas (KRD). Ada tiga prinsip dalam penataan KRD, yaitu kesetaraan, peluang, dan partisipasi penuh. Ketiganya menjadi penting dalam terwujudnya aksesibilitas dalam fasilitas umum, ruang publik, (kesempatan) pendidikan, lapangan pekerjaan, hak mengembangkan diri, kesejahteraan, hingga rasa aman.
Menurut pengamat perkotaan, Nirwono Joga, pelaksanaan pemenuhan hak penyandang disabilitas harus dikawal ketat karena sudah ada alokasi untuk aturan hukum dan anggaran. Mengacu pada Permen PU Nomor 30 Tahun 2006 itu, aksesibilitas adalah kondisi suatu tapak, bangunan, fasilitas, atau bagian darinya yang memenuhi persyaratan teknis aksesibilitas. Tujuannya, agar disabilitas mempunyai kesempatan sama pada seluruh aspek kehidupan di kota.
Infrastruktur adalah satu aspek penting bagi aksesibilitas penyandang disabilitas. Mengacu pada Permen PU Nomor 30 Tahun 2006, setiap bangunan gedung, fasilitas, dan lingkungan wajib memenuhi empat asas dan aksesibilitas, yaitu keselamatan, kemudahan, kegunaan, dan kemandirian.
Keempat azas itu juga terwakili dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas. Dalam hal ini penyandang disabilitas menjadi prioritas, yang implementasinya bukan dengan pendekatan berbasis amal (charity based).
Perencanaan ini menegaskan, mereka (penyandang disabilitas) mempunyai peluang yang sama besar dan berperan aktif membangun negara. Mereka berhak berkontribusi dalam gagasan dan tindakan dalam rangka kemajuan negara. Penyandang disabilitas juga berhak mendapat hak-hak dasar sebagaimana warga negara lain untuk memperoleh pendidikan, kesehatan, pekerjaan, kebebasan berpendapat, dan hak-hak lainnya.
Petugas khusus
Konsep dan implementasi ternyata belum tentu sejalan. Hasil penelitian Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) 2018 tentang RPJMN 2020-2024 memperlihatkan sejumlah kendala terkait infrastruktur.
Kendala pertama adalah kesulitan mengurus dokumen kependudukan. Jelas, (dokumen) ini adalah syarat penting untuk mendapat pelayanan publik dalam berbagai hal seperti pendataan, pendidikan, kesehatan, termasuk bantuan sosial pemerintah. Bentuk kesulitannya adalah akses menuju tempat pengurusan yang belum ramah disabilitas, termasuk tersedianya petugas yang paham bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan tunarungu.
Kendala kedua adalah hambatan dalam fasilitas kesehatan. Kerap terjadi perubahan tingkat permukaan yang mendadak seperti tangga, atau parit, juga tidak adanya pertautan landai antara jalan dan trotoar, tidak cukupnya ruang untuk berbelok, hingga lubang pintu dan koridor yang sempit. Begitu juga penyandang disabilitas yang semi-ambulant (sulit berjalan tetapi tanpa kursi roda), yang harus menghadapi kondisi lantai terlalu licin, dan pintu lift yang menutup cepat.
Mereka yang terbatas penglihatannya (low vision) sering kali pula terhambat dengan tidak adanya petunjuk arah atau ciri-ciri yang bisa didengar atau dilihat dengan penglihatan terbatas, atau cahaya yang terlalu menyilaukan maupun redup bagi kaum tunanetra. Keadaan ini semakin parah jika penyandang disabilitas tinggal di daerah pelosok atau terpencil sehingga tidak bisa datang ke fasilitas layanan kesehatan.
Padahal, dalam UU Nomor 8/2016 tadi disebutkan bahwa pemerintah maupun pemda wajib menyediakan pelayanan publik yang dapat diakses penyandang disabilitas, termasuk menyebarluaskan dan menyosialisasikan pelayanan publik, serta menyediakan panduan pelayanan yang mudah diakses.
Meski demikian, Pattiro juga mengungkapkan ada beberapa fasilitas layanan kesehatan yang sudah ramah disabilitas. Contohnya, Puskesmas Lingsar dan Labuapi di Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat dan pelayanan khusus penderita orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Puskesmas Lendah, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.
Ada juga pelayanan kesehatan disabilitas anak berkebutuhan khusus (ABK) di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Pelayanan kesehatan ini merupakan kolaborasi pemerintah desa, puskesmas, kader posyandu dengan dinas kesehatan setempat.
Kompas juga mencatat, sejumlah kendala dalam mengakses fasilitas publik di Jakarta banyak terkait dengan fasilitas transportasi. Beberapa di antaranya, halte bus TransJakarta yang masih menggunakan tangga dan akses stasiun kereta api yang terlalu curam. Tidak semua trotoar di Ibu Kota landai sehingga belum ramah juga bagi pengguna kursi roda.
Fasilitas suara bagi tunanetra atau running text untuk penyandang tunarungu juga tak banyak tersedia. Hal detil lain, parkir khusus sepeda motor roda tiga, atau petugas yang membantu penyandang disabilitas di lobi gedung maupun parkir masih jauh dari memadai. Melihat kenyataan demikian, mobilitas disabilitas di Indonesia masih banyak terbentur kelemahan infrastruktur. (Litbang Kompas)