Jalan Panjang Pengakuan dan Suara Lantang Para Disabilitas
Kesetaraan hak penyandang disabilitas tak bisa terwujud hanya dengan mengesahkan peraturan. Pengalaman beberapa dari mereka yang hadir dalam Focus Group Discussion Litbang ”Kompas”, 7 Desember 2019 mengungkapkan hal itu.
Regulasi terkait penyandang disabilitas sudah muncul sejak 22 tahun lalu, tetapi mereka masih berhadapan dengan ketidaksetaraan hak sampai sekarang.
Lebih dari dua dekade Indonesia telah memiliki Undang-Undang No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Kerangka pemikiran undang-undang itu melihat penyandang disabilitas sebagai obyek di dalam masyarakat, yang memerlukan uluran tangan atas dasar belas kasihan.
Sembilan tahun kemudian, Konvensi tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas (KHPD) menjadi lompatan besar keterbukaan dunia dalam menerima penyandang disabilitas. Kesepakatan tersebut merupakan salah satu instrumen internasional HAM yang memuat aturan penghormatan, pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan hak penyandang disabilitas secara komprehensif dan integratif.
Perjanjian tersebut ditetapkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 13 Desember 2006 di New York lewat Resolusi Nomor A/61/106 mengenai Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD). Pengesahan konvensi itu dilakukan setelah Ad Hoc Commitee of General Assembly berhasil melakukan negosiasi rancangan konvensi dari tahun 2002 sampai dengan 2006.
Dalam amanatnya, negara anggota perjanjian tersebut wajib melindungi, mempromosikan, dan menjamin pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Negara juga wajib memberikan kepastian kesetaraan penyandang disabilitas di depan hukum.
Perubahan yang lambat
Awalnya terdapat 82 negara yang menandatangani KHPD yang berlangsung pada 30 Maret 2007, termasuk Indonesia yang berada pada urutan ke-9 saat itu. Hingga 2017 terdapat 175 negara anggota PBB yang menjadi Negara Pihak dari konvensi tersebut.
Indonesia menjadi negara ke-107 yang meratifikasi KHPD. Namun, ratifikasi resmi baru dilakukan pemerintah lima tahun sesudah konvensi tersebut melalui UU No 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Right Of Persons With Disabilities (Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas). Sampai di sini, regulasi menuju penguatan keberpihakan pada penyandang disabilitas belum selesai.
Sesudah lima tahun kemudian, pemerintah kembali mengesahkan UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang tersebut menggantikan UU No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat karena ada perubahan cara pandang terhadap kaum disabilitas. Penyandang disabilitas yang semula dipandang sebagai obyek dan perlu dikasihani, kemudian dipandang setara dan memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya.
Aturan baru tersebut secara tegas menyatakan, kesetaraan hak disabilitas dengan tujuan penghormatan, perlindungan, pemenuhan hak, dan mewujudkan taraf hidup yang lebih berkualitas dan mandiri. Penyebutan penyandang cacat yang sebelumnya tercantum pada UU No 4 Tahun 1997 pun diubah menjadi penyandang disabilitas melalui UU No 8 Tahun 2016.
Namun, produk hukum berupa UU belum merupakan turunan penerapan aturan secara kongkret. Setelah berjalan tiga tahun, barulah pemerintah mengeluarkan turunan penerapan aturan yang lebih nyata lewat dua peraturan pemerintah.
Pertama, PP No 52 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Disabilitas. Kedua, PP No 70 Tahun 2019 tentang Perencanaan Penyelenggaraan, dan Evaluasi terhadap Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
Baca juga: Kesetaraan Disabilitas Untuk SDM Berkualitas
Terus berharap
Jumlah penyandang disabilitas tidak bisa dipandang sebelah mata. Angka penyandang disabilitas, menurut data terbaru Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2018, mencapai hampir satu juta orang. Sekitar seperlima dari penyandang disabilitas itu adalah generasi mendatang yang masih berusia 5-17 tahun. Lebih dari separuhnya, kini berada pada usia produktif yakni 18-64 tahun. Hanya sebagian kecil saja penyandang disabilitas berusia lansia (≥65 tahun), yakni kurang dari 100.000 orang.
Suara beberapa dari mereka mengemuka dalam diskusi kelompok terarah (focus group discussion/FGD) yang diadakan oleh Litbang Kompas pada 7 Desember ini. Diskusi itu melibatkan sembilan penyandang disabilitas dengan beragam kategori, mulai dari bisu, tuli, tunanetra, hingga tunadaksa.
Para narasumber penyandang bisu dan tuli sekalipun antusias mengemukakan pengalaman dan harapan mereka kendati mereka harus bekomunikasi dengan bantuan dua penerjemah bahasa isyarat. Mereka sedemikian terbuka berbagi pengalaman, bercerita seputar kehidupan keseharian hingga harapan yang tak luput pula disematkan.
Pada dasarnya, mereka hanya ingin diterima selayaknya kebanyakan orang biasa. Tidak ada pembedaan. Mereka tidak minta untuk dikasihani, tidak pula untuk diistimewakan secara berlebih.
Hidup keseharian penyandang disabilitas sebetulnya tak berbeda jauh dengan kehidupan pada umumnya. Mereka bekerja, kuliah, naik angkutan umum, bersepeda motor, dan aktivitas harian lainnya, sama seperti orang nondisabilitas. Semua kegiatan itu bisa dilakukan mandiri, tanpa harus dibantu orang lain.
Umumnya, para penyandang disabilitas sudah terlatih. Jiwa besar dan kepercayaan diri yang kuat mengalahkan rasa minder karena keterbatasan mereka. Tidak ada penyandang disabilitas yang justru merasa dirinya berbeda.
Meski demikian, mesti diakui, labelisasi dari lingkungan sosial yang memberikan stigma kepada penyandang disabilitas masih jamak ditemui. Mereka acap kali menerima beragam bentuk perlakuan diskriminatif dalam tatanan interaksi sosial.
Selain ruang sosial, kerabat terdekat yang menganggap kehadiran penyandang disabilitas sebagai beban masih lumrah ditemukan. Ada keluarga yang merasa malu sehingga menyembunyikan anggota keluarganya yang menyandang disabilitas. Namun, mereka membuktikan juga bahwa stigma itu tidak benar.
Tidak sedikit pula penyandang disabilitas yang pernah mendapatkan perlakuan diskriminasi berupa olokan hingga pelecehan di tempat umum. Ada pula yang menganggap para penyandang disabilitas bukanlah orang yang bisa mandiri dan berkarya. Kemampuan mereka acap kali dianggap remeh, di bawah rata-rata orang normal.
Padahal, penyandang disabilitas sesungguhnya memiliki kemampuan dan potensi diri yang tak kalah dengan manusia lain. Hanya saja, mereka membutuhkan ruang untuk menunjukkan sekaligus mengekspresikan kemampuannya tersebut.
Tak cukup sampai di situ. Belum memadainya infrastruktur khusus di ruang-ruang publik juga menyulitkan akses penyandang disabilitas. Padahal, amanat untuk menyediakan akses infrastruktur yang ramah disabilitas telah diatur dalam regulasi.
Sarana transportasi publik misalnya, belum semua halte bus atau stasiun kereta dilengkapi dengan akses lantai khusus kursi roda, guiding blok tunatera, hingga parkir kendaraan khusus disabilitas. Hal serupa juga akan banyak ditemui pada fasilitas umum lainnya, mulai dari pusat perbelanjaan, gedung perkantoran, hingga sekolah atau kampus.
Berbagai pengalaman buruk itulah yang justru menempa mental dan semangat penyandang disabilitas. Tekad mereka menjadi tebal untuk membuktikan bahwa mereka layak diterima untuk hidup menjadi manusia seutuhnya. Penyandang disabilitas melawan stigma dengan kemandirian dan karya nyata, terlibat aktif dalam pembangunan Indonesia. (Litbang Kompas)