Tengok saja diskriminasi oleh perempuan disabilitas seperti Echi (20). Ditemui dalam diskusi kelompok terarah (focus group discussion/FGD) mengenai penyandang disabilitas di Kompas (7/12/2019), Echi bercerita, ada yang melihat disabilitas sebagai aib. ”Lihat disabilitas, yang hamil langsung elus-elus perut—amit-amit jabang bayi katanya,” ujar Echi.
Selain dianggap aib dan dihina, diskriminasi juga dialami perempuan disabilitas terkait status jendernya. Diskriminasi jender menyulitkan perempuan mendapatkan kesempatan kerja yang sama, pengakuan, penghargaan atas pencapaian kinerja, ataupun prinsip yang adil. Perempuan juga kerap mengalami gangguan psikologis karena sering dikucilkan, diintimidasi, dihina, dilecehkan, dan diperlakukan secara tidak sopan.
Inilah yang disebut diskriminasi berlapis pada penyandang disabilitas perempuan. Diskriminasi berlapis, menurut UU Penyandang Disabilitas tahun 2016, tak lain perlakuan tidak adil kepada perempuan, karena jenis kelamin mereka yang perempuan, dan sebagai penyandang disabilitas. Akibatnya, mereka tidak mendapatkan kesempatan yang sama dalam keluarga, masyarakat, dan negara.
Lebih banyak
Kerentanan berawal dari jumlah penyandang disabilitas perempuan yang lebih tinggi ketimbang laki-laki. Sesuai Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, proporsi disabilitas perempuan dewasa (18-59 tahun) lebih tinggi (25,2 persen) daripada laki-laki (18,8 persen).
Data yang sama juga ditunjukkan oleh Survei Penduduk Antarsensus (Supas, 2015). Disabilitas pada perempuan dengan usia 10 tahun ke atas lebih tinggi dibandingkan laki-laki dari berbagai jenis disabilitas.
Pada jumlah disabilitas, persentase perempuan mencapai 7,04 persen, lebih tinggi daripada laki-laki (5,69 persen). Kemudian untuk disabilitas mendengar, persentase perempuan juga lebih tinggi 3,87 persen dibandingkan laki-laki (2,82 persen).
Persentase perempuan dengan kesulitan berjalan atau naik tangga juga lebih besar (4,37 persen) dibandingkan laki-laki (3,09 persen). Di hampir semua kategori umur, persentase perempuan yang kesulitan menggerakkan tangan juga lebih tinggi perempuan ketimbang laki-laki.
Pendidikan dan pekerjaan
Diskriminasi pada perempuan disabilitas yang umum ditemui adalah pada akses lapangan pekerjaan. Sesuai catatan Kementerian Sosial (2012), persentase perempuan disabilitas yang tidak bekerja (83,9 persen) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (67,6 persen). Bagi disabilitas perempuan yang bekerja, 9,38 persen bekerja di sektor formal, seperti sebagai PNS/TNI/Polri, pegawai swasta ataupun BUMN/ BUMD. Adapun yang bekerja di sektor informal, seperti petani, jasa, dan wiraswasta, berkisar 6,76 persen.
Rendahnya akses pada pekerjaan juga terkait dengan minimnya akses pada pendidikan. Data Kementerian Sosial (2012) mencatat, perempuan disabilitas yang tidak menempuh pendidikan dasar lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Meski data Kemensos menunjukkan lebih banyak perempuan disabilitas yang bekerja pada sektor formal, kenyataannya berbeda. Banyak kisah perempuan disabilitas yang ditolak bekerja formal karena dianggap tidak mampu.
Irdanelly (49), salah satu peserta FGD Kompas, bercerita bahwa dulu setelah lulus kuliah dari Universitas Gunadarma, dia pernah melamar kerja di bagian keuangan. Saat dipanggil untuk wawancara, Irdanelly yang biasa dipanggil Nelly berterus terang bahwa dirinya tunarungu. Setelah itu, proses penerimaan karyawan dihentikan. ”Langsung saya disuruh nanti saja, besok, besok, besok, kapan... saya enggak tahu,” ceritanya dengan suara lirih.
Akhirnya perempuan disabilitas seperti Nelly memilih berwiraswasta ataupun bekerja paruh waktu. Nelly sendiri akhirnya memilih aktif berorganisasi di Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) sebagai bendahara. Tidak hanya Nelly, Mala (40), Ika (52), dan Sadiah (45), peserta FDG yang lain, langsung memilih berwiraswasta, tanpa pernah melamar pada pekerjaan formal.
Kekerasan terhadap perempuan
Diskriminasi dan stigma juga melekat saat penyandang disabilitas perempuan mendapatkan perlakuan kekerasan. Tak hanya kekerasan seksual, tetapi juga kekerasan fisik, psikologis, dan kekerasan ekonomi.
Komnas Perempuan selama 2014- 2018 menerima 89 kasus kekerasan pada perempuan disabilitas. Provinsi DI Yogyakarta menjadi wilayah dengan kasus kekerasan terbanyak dengan 47 kasus. Dalam mayoritas kasus, tepatnya 64 persen, perempuan disabilitas mengalami kekerasan seksual, 20 persen lainnya kekerasan psikis, sisanya kekerasan ekonomi dan fisik.
Menurut catatan Komnas Perempuan, kekerasan seksual yang terjadi berupa pemerkosaan, pelecehan, dan pencabulan. Pelakunya rata-rata orang dekat, seperti ayah, adik/kakak, tetangga, paman, dan guru. Korbannya bervariasi mulai dari tunarungu, tunawicara, tunagrahita, hingga tunanetra.
Salah satu Lembaga Advokasi yang peduli pada kasus kekerasan perempuan disabilitas adalah Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI). Nelly yang juga pengurus HWDI menjelaskan, rata-rata korban adalah disabilitas rungu dan intelektual. Salah satu kasus yang pernah ditangani Nelly adalah perempuan tuna rungu yang mengalami kekerasan seksual oleh pacarnya, hingga hamil, dan melahirkan.
Penelitian ”Peran Lembaga HWDI bagi Perempuan Disabilitas Sensorik Korban Pelecehan Seksual” (2018) menyebutkan, perempuan dengan disabilitas sensorik, seperti tunanetra, rungu/wicara, merupakan populasi yang rentan mengalami kekerasan seksual.
Hal ini karena para pelaku menganggap korban tidak akan mampu menceritakan pelecehan seksual yang dialaminya kepada orang lain dan pihak berwajib. Korban dengan disabilitas sensorik ini sering kali tidak dapat menghindar karena diancam, dipaksa, disekap, dan atau bahkan diculik.
Pembangunan inklusif
Undang-Undang Penyandang Disabilitas sebenarnya telah mengatur hak khusus bagi perempuan disabilitas. Selain 22 hak yang diberikan negara, ada tambahan empat hak khusus bagi perempuan. Di antaranya hak kesehatan reproduksi, menerima atau menolak penggunaan alat kontrasepsi, serta mendapatkan perlindungan lebih dari perlakuan diskriminasi berlapis dan tindak kekerasan.
Adanya aturan tersebut sebagai langkah awal untuk melibatkan perempuan disabilitas dalam pembangunan inklusi. Artinya, ada kesempatan bagi perempuan disabilitas terlibat dalam seluruh kelompok, dalam proses pembangunan.
Langkah awal adalah menerapkan prinsip kesetaraan bahwa perempuan disabilitas agar mempunyai hak yang sama dengan penyandang disabilitas laki-laki dan perempuan normal lainnya. Selanjutnya, memberikan akses kesetaraan pada pekerjaan, pendidikan informasi, ekonomi, dan layanan kesehatan pada perempuan disabilitas. Selama ini akses tersebut belum sepenuhnya terbuka pada semua penyandang disabilitas.
Terakhir adalah partisipatif, yakni memberikan kesempatan kepada perempuan disabilitas berpartisipasi dalam pembangunan. Langkah Presiden Joko Widodo mengangkat Angkie Yudistia, penyandang tunarungu, sebagai staf khusus milenial adalah langkah pembuka untuk perempuan disabilitas berkarya. Seperti yang disebut Echi, ”Kita juga bisa kok melakukan hal yang sama dilakukan orang normal”. (Litbang Kompas)