Disabilitas Terpinggirkan Dalam Pekerjaan
Tidak banyak yang seberuntung Angkie Yudistia, salah satu penyandang disabilitas yang menjadi salah satu staf khusus Presiden. Namun terpilihnya Angkie meneguhkan para penyandang disabilitas bahwa semua orang setara.
”Saya pertama melamar, diterima di sebuah perusahaan besar. Saya lolos tes. Waktu diwawancara, ternyata baru tahu saya tunarungu. Saya sudah gugup. Katanya, kamu kerja apa nanti?” kata Aries Prawoto (49), sarjana lulusan sebuah universitas swasta. Penyandang tunarungu ini berkali-kali ditolak saat melamar pekerjaan.
”Ditolak sudah sepuluh kali, alasannya sama. Walaupun sudah pakai alat (bantu dengar), mereka tetap menolak saya,” ujar Aries. Keluhan Aries ini muncul dalam diskusi kelompok terarah (focus group discussion/FGD) yang diadakan Litbang Kompas pada 7 Desember 2019.
Pemetaan penyandang disabilitas di pasar tenaga kerja Indonesia yang disusun Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) bekerja sama dengan Organisasi Buruh Internasional (ILO) tahun 2017 juga mewakili pengalaman Aries.
Dari keseluruhan lapangan pekerjaan, hanya 0,26 persen pekerja formal yang merupakan penyandang disabilitas. Pekerja formal di Indonesia masih didominasi oleh nonpenyandang disabilitas. Lebih dari separuh nonpenyandang disabilitas (50,73 persen) bekerja di sektor formal, sisanya bekerja di sektor informal.
Diskriminasi pun tidak hanya dirasakan penyandang disabilitas yang tidak diterima di lapangan pekerjaan. Mereka yang diterima bekerja juga kembali merasakan pembedaan dalam hal penerimaan upah. Hasil penelitian LPEM UI dan ILO juga menunjukkan bahwa perbedaan upah yang diterima penyandang disabilitas dan nonpenyandang disabilitas sekitar 16 persen hingga hampir 50 persen.
Upah rata-rata yang diperoleh nonpenyandang disabilitas Rp 1,8 juta, sedangkan penyandang disabilitas ringan hanya menerima Rp 1,61 juta. Lebih sedikit lagi, upah yang diterima penyandang disabilitas berat hanya Rp 1,28 juta.
Hampir seperempat dari seluruh pekerja nonpenyandang disabilitas mendapat upah lebih dari Rp 2,5 juta, sedangkan hanya 17 persen penyandang disabilitas ringan dan 8,7 persen penyandang disabilitas berat yang mendapat upah tersebut. Sisanya, mendapat upah di bawah Rp 2,5 juta. Bahkan, hampir separuh dari pekerja penyandang disabilitas berat mendapat upah jauh dari UMR (di bawah Rp 750.000).
”Kebanyakan teman-teman tunarungu kerja di bawah UMR. Sementara yang normal 3 juta, teman saya 1,5, ada yang 2 juta. Kerjanya sama, sama- sama berat, pulang sampai malam”, kata Aries dalam diskusi FGD.
Perbedaan upah
Masih minimnya penyerapan tenaga kerja penyandang disabilitas di sektor formal sering dikaitkan dengan rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya fasilitas yang ramah disabilitas menuju tempat kerja.
Padahal, tidak sedikit penyandang disabilitas yang menuntaskan pendidikannya hingga ke tingkat perguruan tinggi. Mereka sebenarnya memenuhi standar yang diperlukan perusahaan, tetapi perbedaan fisik membuat perusahaan urung mempekerjakan mereka.
Tingginya pendidikan para disabilitas menjadi tak banyak bermakna. Padahal, kaum nondisabilitas menikmati upah yang semakin baik seiring tingkat pendidikan yang semakin tinggi.
Pekerja nonpenyandang disabilitas dengan gelar doktor bisa menerima upah bulanan hampir Rp 10 juta. Sementara pekerja penyandang disabilitas bergelar doktor, pada kategori disabilitas ringan saja, hanya memperoleh upah rata-rata Rp 5 juta hingga Rp 6 juta.
Kebutuhan yang tinggi tetapi tidak diimbangi dengan pendapatan yang mencukupi berdampak pada kekurangan yang acap kali berujung pada kemiskinan. Publikasi WHO menyatakan bahwa 82 persen dari penyandang disabilitas hidup di negara-negara berkembang dan berada di bawah garis kemiskinan.
Disabilitas memang erat kaitannya dengan kemiskinan dan kerentanan yang tinggi. Analisis yang pernah dilakukan Department for International Development, departemen Pemerintah Inggris yang bertanggung jawab untuk mendorong pembangunan dan pengurangan kemiskinan, menyebutkan bahwa penyandang disabilitas berpeluang besar terperangkap dalam lingkaran setan kemiskinan. Disabilitas membatasi akses ke pendidikan dan pekerjaan yang akhirnya mengarah pada diskriminasi ekonomi dan sosial.
Begitu pula dengan Indonesia, ada keterkaitan yang kuat antara disabilitas dan kemiskinan. Data yang dihimpun menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara disabilitas dan kemiskinan sebesar 94,93 persen. Artinya, semakin tinggi jumlah disabilitas, semakin tinggi pula kemiskinan. Hal ini terbukti pada tiga provinsi dengan jumlah penyandang disabilitas terbanyak, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
Hampir separuh dari total 920.923 penyandang disabilitas Indonesia, mengacu pada Laporan Nasional Riskesdas 2018, tersebar di tiga provinsi tersebut. Kalau dikaitkan dengan kemiskinan, jumlah penduduk miskin di ketiga provinsi tersebut juga menempati 3 peringkat teratas dari 34 provinsi di seluruh Indonesia.
Hubungan serupa dengan angka tak sama terjadi pada Kalimantan Utara. Berdasarkan data Riskesdas 2018, jumlah penyandang disabilitas di Kalimantan Utara yang paling sedikit, yaitu 2.417 jiwa. Pada kondisi tersebut, jumlah penduduk miskin di provinsi ini juga yang paling rendah, 49.590 jiwa, dari 34 provinsi di Indonesia.
Siasat informal
Pada sisi lain, penyandang disabilitas yang masih kerap kali terpinggirkan dalam pasar tenaga kerja justru menjadi peluang untuk melahirkan lapangan pekerjaan. Terbukti dengan banyaknya penyandang disabilitas yang menjadi wiraswasta, bahkan lebih banyak daripada nonpenyandang disabilitas (Laporan akhir LPEM UI).
Kisah menarik datang dari komunitas penyandang tuli di Yogyakarta yang membuat usaha bernama ”Difa Bike” (difacitytour.com). Sebuah usaha ojek daring yang dilatarbelakangi penolakan saat melamar bekerja menjadi tukang ojek online yang sedang marak saat ini. Usaha ini dikelola para penyandang disabilitas dan sudah berkembang, bukan hanya menjadi ojek daring, melainkan juga menyediakan jasa untuk pengangkutan barang-barang saat pindah kos, pijat tunanetra, serta jasa tur keliling Yogyakarta.
Usaha lain yang mengikutsertakan para penyandang disabilitas adalah Rumah Batik Palbatu di Jakarta Selatan. Rumah batik ini menjadi wadah bagi para penyandang disabilitas yang ingin berkarya. Melalui batik, para penyandang bisu tuli dapat menceritakan perasaannya dan apa yang mereka lihat dalam sebuah karya. Tentu dari penjualan batik dapat menambah penghasilan mereka.
Semangat para penyandang disabilitas juga tampak dari para atlet disabilitas. Penolakan dari dunia kerja formal membuat mereka semangat berprestasi melalui bidang olahraga. Sebuah organisasi bernama Perhimpunan Olahraga Tuna Rungu Indonesia (Porturin) adalah salah satu contohnya. Organisasi ini mewadahi para penyandang disabilitas yang ingin berprestasi dan mengharumkan nama bangsa. Berbagai kejuaraan tingkat dunia pernah diraih para penyandang disabilitas di Porturin.
Ada salah satu kisah dari penyandang disabilitas di Porturin yang menjadi juara dalam sebuah pertandingan dan berhasil mendapatkan medali emas. Sebagian dari hasil kejuaraannya digunakan untuk membeli sepeda motor untuk ayahnya. Sepeda motor tersebut digunakan sang ayah untuk menjadi tukang ojek, akhirnya pendapatan keluarga tersebut bertambah.
Kisah-kisah sebagian warga disabilitas ini mungkin menginspirasi. Namun, masih banyak juga penyandang disabilitas lain yang belum bisa menemukan sandaran ekonomi. Mereka masih terus berusaha sembari menanti tindak lanjut nyata pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang Disabilitas, terutama dalam bidang pekerjaan. (Litbang Kompas)