Data Disabilitas yang Membingungkan
Saat ini, setidaknya Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, dan Badan Pusat Statistik (BPS) mendata disabilitas di Indonesia. Perbedaan data berpotensi menyulitkan pemerintah mengambil kebijakan.
Data tentang jumlah penyandang disabilitas di Indonesia masih sangat beragam. Belum ada kesamaan hasil pendataan yang dilakukan oleh beberapa lembaga pemerintah, seperti Kemensos, Kemenkes, dan BPS.
Misalnya, terkait disabilitas, Kemensos melihat disabilitas bisa jadi sebagai temuan keadaan yang harus segera dibantu agar penyandang keterbatasan ini mampu lebih mandiri dan diterima masyarakat. Untuk Kemenkes bisa jadi memiliki sudut pandang yang berbeda, seperti bertujuan menciptakan kesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat agar generasi mendatang kian sehat dan minim disabilitas.
Berbeda lagi dengan BPS yang tujuan utama lembaga ini adalah mencerdaskan bangsa dengan temuan datanya. Dengan tenaga ahli statistik yang mumpuni, BPS berusaha menyajikan data yang realistis mendekati kondisi sesungguhnya di masyarakat, apa pun topik masalahnya.
Perbedaan karakter tersebut menyebabkan ketiga lembaga itu memiliki parameter yang berbeda-beda dalam proses pengumpulan data. Terlihat dari data yang tersaji di publik yang dapat diakses lewat internet terdapat perbedaan angka yang cukup signifikan antarlembaga.
Data disabilitas yang disajikan pun relatif belum berkala atau series secara baik. Jarak antar-pendataan, baik lewat survei maupun pencacahan, melompat-lompat waktunya sehingga belum ada keteraturan. Bahkan, sebagian sumber data yang tersaji tergolong usang atau data lama yang perlu segera di-update. Ironisnya, telatnya pemutakhiran data ini berada pada institusi yang boleh dikatakan paling bertanggung jawab atas program disabilitas itu, yakni Kemensos.
Data Kemensos terkait disabilitas yang dapat diakses secara bebas adalah pendataan pada tahun 2012 dan tahun 2007-2009. Dengan akses terbatas lewat website resmi Kemensos, data terkini belum berhasil ditemukan. Bukan tidak mungkin data termutakhir itu sudah ada, hanya saja untuk sementara ini hanya terbatas untuk kalangan tertentu ataupun internal Kemensos saja.
Oleh karena itu, parameter umum untuk melihat disabilitas hanya sebatas pada kurun waktu 2012 ke bawah. Pada 2007-2009 jumlah penyandang disabilitas 1,64 juta dan pada 2012 jumlahnya melonjak tajam menjadi 3,34 juta jiwa. Sajian data tahun 2012 ini hanya sebatas pada penyandang disabilitas berat. Artinya, masih ada kemungkinan penyandang lain dengan tingkatan disabilitas lebih rendah tidak masuk dalam pendataan.
Data Kemensos tersebut relatif membingungkan jika disandingkan dengan data dari Oorganisasi Buruh Internasional (ILO), yang menyatakan jika jumlah penyandang disabilitas di Indonesia pada 2010 mencapai 11,58 juta jiwa. Uniknya, data yang dikutip ILO ini berasal dari pusat data dan info Kemensos sehingga menimbulkan kerancuan karena ada ketidakkonsistenan data.
Bisa jadi semua data tersebut benar, hanya saja penyajian kepada publiknya kurang tepat sehingga terpotong-potong, tidak utuh. Ketidaksempurnaan data ini akan kian meragukan jika masyarakat berusaha membandingkan dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang memprediksi 10 persen penduduk Indonesia atau sekitar 20 juta jiwa mengalami disabilitas.
Prediksi ini sangat timpang dengan laporan ILO yang hanya sekitar 11 juta jiwa. Pada tahun yang sama, yakni 2010 ada banyak data terkait disabilitas di Indonesia yang angkanya bervariatif. Bahkan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga menyebutkan jumlah penyandang disabilitas pada tahun yang sama, yakni 7,12 juta jiwa. Benar-benar membingungkan bukan?
Komparasi Data
Komparasi data antarlembaga tersebut adalah hal lumrah untuk mendapatkan data yang sahih dan meyakinkan. Temuan data dari Kemensos yang relatif sudah usang itu coba dikomparasikan dengan data dari Kemenkes yang ternyata tersaji lebih mutakhir.
Pada 2018, Kemenkes merilis riset kesehatan dasar atau Riskesdas hasil temuan survei skala nasional. Salah satu topiknya terkait disabilitas yang tersebar di seluruh Indonesia.
Lewat hasil survei Riskesdas itu diperkirakan jumlah penyandang keterbatasan fisik sekitar 920.000 jiwa. Jumlah ini merupakan perkiraan akumulasi dari seluruh penyandang disabilitas di 34 provinsi di Indonesia mulai dari usia 5 tahun hingga lebih dari 60 tahun.
Angka estimasi itu tentu saja merupakan temuan yang relatif valid seperti halnya temuan data dari Kemensos. Validasi data tentu dilakukan oleh lembaga pemerintah yang resmi serta menerapkan pendekatan metodologi yang diyakini sudah sesuai kaidah-kaidah statistika yang berlaku. Hanya saja, masyarakat secara umum, seperti LSM, peneliti, akademisi, ataupun media massa akan relatif bimbang dengan sajian data tersebut.
Hasil Riskesdas 2018, estimasi penyandang disabilitas secara nasional di bawah 1 juta orang. Bahkan, jika dipilah-pilah lagi, jumlah disabilitas dalam kategori kesulitan berat dari Hasil Riskesdas 2018 hanya kurang dari 10.000 orang di seluruh Indonesia.
Angka prediksi tersebut terpaut sangat jauh dengan temuan data sebelumnya dari lembaga lain. Dari data lama, yakni kisaran tahun 2010, jumlah disabilitas yang dilaporkan oleh Kemensos, WHO, ILO, dan Kemenakertras memiliki angka hingga lebih dari tujuh kalinya hasil Riskesdas 2018.
Apabila pendekatan Riskesdas ini benar, tentu saja merupakan berita yang menggembirakan karena jumlah penyandang disabilitas di Indonesia berkurang sangat drastis. Selain itu, mengindikasikan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia secara umum meningkat sehingga kendala keterbatasan fisik dapat diminimalkan oleh setiap keluarga.
Namun, relatif kecilnya hasil riset terkini Kemenkes tersebut berpotensi menimbulkan keraguan pada pihak pengguna data. Angka yang relatif kecil dan memiliki gap perbedaan yang sangat fantastis dengan lembaga lainnya tentu saja akan menimbulkan pertanyaan yang baru terkait validitas data.
Oleh sebab itu, komparasi data dengan lembaga lain yang juga kredibel sangat mutlak diperlukan. BPS sebagai salah satu institusi yang senantiasa menyediakan data resmi untuk pemerintah perlu untuk menjadi bahan rujukan selanjutnya.
Berdasarkan Survei Penduduk Antar Sensus (Supas) 2015 terdapat data terkait keterbatasan fisik penduduk Indonesia. Dalam survei ini menemukan sejumlah penduduk berusia 10 tahun ke atas mengalami sejumlah kesulitan atau kendala fisik. Misalnya, kesulitan melihat, mendengar, berjalan atau naik tangga, menggunakan atau menggerakkan tangan atau jari, serta kesulitan berbicara atau berkomunikasi.
Tingkat kesulitannya dibedakan menjadi beberapa kriteria mulai dari yang paling berat, yakni sama sekali tidak bisa, kemudian kesulitan banyak, kesulitan sedikit, dan sama sekali tidak mengalami kesulitan. Dari sejumlah kriteria ini, kategori ”sama sekali tidak bisa” dapat dipastikan sebagai disabilitas karena mengalami hambatan fisik yang berat.
Hasil Supas 2015 menunjukan sekitar 1,52 juta penduduk Indonesia mengalami hambatan fisik itu. Angka tersebut belum termasuk data kendala lainnya, seperti kesulitan berkonsentrasi, gangguan perilaku atau emosi, dan kesulitan mengurus diri sendiri.
Apabila semua diikutsertakan, jumlah total disabilitas (kategori berat) yang diolah dari hasil Supas 2015 mencapai 2,71 juta jiwa. Salah satu alasan perlu ditambahkannya kesulitan bersifat intelektual, kejiwaan, dan kemandirian ini karena dalam laporan Riskesdas sejumlah keterbatasan fisik dan mental-emosional itu juga diikutsertakan.
Jika disandingkan, data Riskesdas 2018 dan Supas 2015 memiliki perbedaan angka perkiraan disabilitas yang relatif jauh, tetapi tidak sejauh dengan lembaga lain, seperti halnya Kemensos. Jumlah total disabilitas pada Riskesdas 2018 sekitar 920.000 jiwa, sedangkan pada Supas 2015 sekitar 2,71 juta orang mengalami disabilitas kategori berat.
Perbedaan data dan angka tersebut patut dimaklumi karena lembaga yang mengeluarkan data memiliki teknik pendataan dan tujuan yang beragam. Satu hal yang terpenting adalah pendataan yang dilakukan tersebut sebaiknya dapat bermanfaat untuk meningkatkan kualitas kehidupan para penyandang disabilitas.
Anggaran disabilitas
Salah satu bentuk riil dari kebijakan pemerintah terkait disabilitas adalah rencana program dan alokasi anggaran. Namun, dalam merencanakan target kebijakan ini agaknya pemerintah tidak menjumpai kebingungan dalam merunut data mana yang tepat.
Hal ini mengindikasikan jika pemerintah memiliki sumber patokan data yang jelas dalam mengukur kebijakan ini. Bisa dari data Kemensos, Kemenkes, BPS, atau sumber lain yang kredibel.
Dalam laporan nota keuangan Kementerian Keuangan tahun 2015-2020 terlihat jika rata-rata setiap tahun pemerintah menganggarkan pengentasan rakyat miskin dan meningkatkan pelayanan dasar bagi kaum disabilitas lebih dari 40.000 orang. Program ini ditujukan bagi penyandang disabilitas fisik, mental, sensorik, dan intelektual.
Alokasi anggarannya terkumpul dalam pos belanja rehabilitasi sosial yang rata-rata per tahun mencapai sekitar Rp 1,13 triliun. Anggaran sebesar ini tidak semuanya dipakai untuk program khusus disabilitas. Namun, harus berbagi dengan program rehabilitasi sosial lainnya, seperti rehabilitasi penyalahgunaan narkotika dan zat-zat terlarang serta rehabilitasi untuk tunasosial dan korban perdagangan manusia.
Selain penyediaan anggaran melalui pos belanja rehabilitasi sosial, ada kalanya program disabilitas juga dialokasikan melalui dana alokasi khusus (DAK). Misalnya, pada APBN 2020, dianggarkan DAK fisik bidang sosial senilai sekitar Rp 200 miliar yang ditujukan untuk peningkatan pelayanan disabilitas.
Sebut saja untuk rehabilitasi pantai sosial (anak, warga lansia, dan disabilitas) sebanyak 50 unit, peralatan bantu 7.834 unit (anak, warga lansia, dan disabilitas), serta rehabilitasi pusat layanan kesejahteraan sosial sebanyak 127 unit.
Alokasi anggaran ini menunjukkan jika pemerintah juga berupaya untuk meningkatkan perhatiannya pada penyandang disabilitas. Bahkan, sejak 2016, pemerintah memasukkan disabilitas sebagai salah satu komponen penerima Program Keluarga Harapan (PKH). Program ini merupakan kebijakan perlindungan sosial pemerintah untuk menanggulangi masalah kemiskinan kronis.
Para penerima PKH disyaratkan harus terdaftar serta hadir pada fasilitas kesehatan dan pendidikan terdekat. Hal ini tentu saja akan mendorong peningkatan kualitas keluarga penyandang disabilitas. Pendidikan dan kesehatannya mendapat jaminan dari pemerintah. (Litbang Kompas)