Sejak masa kolonial sampai dengan tahun lalu, kawasan transmigrasi telah menjadi harapan perbaikan kesejahteraan bagi sekitar 2,2 juta keluarga yang mencakup lebih kurang 10 juta jiwa. Namun, program transmigrasi masih harus menghadapi tantangan untuk terus mewujudkan kesejahteraan pada skala makro.
Istilah transmigrasi pertama kali dicetuskan Bung Karno tahun 1927 dalam harian Soeloeh Indonesia. Selanjutnya, Wakil Presiden Bung Hatta juga menyebutkan pentingnya transmigrasi untuk mendukung pembangunan industrialisasi di luar Jawa dalam Rapat Panitia Siasat Ekonomi 3 Februari 1946 di Yogyakarta. Pemerintah Orde Lama kemudian mencanangkan tanggal 12 Desember 1950 sebagai Hari Bhakti Transmigrasi.
Sampai dengan tahun 2015, tercatat program transmigrasi telah menyebar di 619 kawasan dan membentuk 3.608 satuan permukiman. Sebagian dari satuan permukiman tersebut berkembang menjadi 1.183 desa dan 385 kecamatan. Sebanyak 104 satuan permukiman juga telah mendukung terbentuknya ibu kota kabupaten dan dua ibu kota provinsi (Kompas, 27 Oktober 2015).
Program transmigrasi tercatat gencar dilakukan pemerintah Orde Baru, khususnya pada periode Pembangunan Lima Tahun (Pelita) III hingga Pelita VI. Penempatan transmigrasi sepanjang periode tersebut tercatat mencapai 1,7 juta KK atau 78 persen dari total penempatan transmigrasi sejak periode kolonial sampai dengan tahun lalu.
Sesudah Orde Baru, program transmigrasi terus berjalan kendati dengan jumlah kepala keluarga yang turun signifikan. Program transmigrasi hanya menempatkan kurang dari 50.000 KK selama satu dekade terakhir.
Dampak transmigrasi
Dampak positif transmigrasi dalam pembangunan ekonomi bervariasi. Dalam skala desa, kecamatan, atau kabupaten, boleh jadi program transmigrasi memberi manfaat nyata. Namun, pada skala lebih luas, yakni provinsi, berkembangnya satuan permukiman eks transmigrasi belum tentu mendorong pembangunan ekonomi.
Hal itu dapat ditunjukkan dari korelasi antara jumlah transmigran dan rata-rata pertumbuhan ekonomi di 25 provinsi wilayah transmigrasi selama satu dekade terakhir. Nilai korelasi bernilai positif 0,23 dari skala nol hingga satu.
Kendati korelasi positif itu menunjukkan pertumbuhan ekonomi berpeluang meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk yang bertransmigrasi, dua variabel itu juga menunjukkan korelasi yang lemah.
Angka kemiskinan sebagai salah satu indikator kesejahteraan di provinsi-provinsi kawasan transmigrasi juga tidak serta-merta menunjukkan gambaran lebih baik jika dibandingkan dengan angka nasional.
Sebagai gambaran, publikasi Badan Pusat Statistik menunjukkan jumlah penduduk miskin Indonesia turun rata-rata 2,57 persen antara tahun 2009 dan 2018. Adapun penurunan angka kemiskinan di provinsi- provinsi kantong transmigran pada periode yang sama umumnya masih berada di bawah angka penurunan nasional.
Salah satu contohnya adalah provinsi-provinsi di Pulau Sulawesi, Maluku, dan Papua yang mencatat angka transmigran mencapai 45 persen dari total penempatan transmigran sebanyak 47.838 KK dalam sepuluh tahun terakhir.
Penurunan penduduk miskin provinsi-provinsi di Pulau Sulawesi rata-rata 0,15 hingga 2,15 persen masih di bawah rata-rata penurunan angka kemiskinan nasional. Provinsi yang mencatat rata-rata penurunan melampaui nasional di pulau tersebut hanya Sulawesi Tenggara.
Sementara itu, jumlah penduduk miskin di wilayah Maluku dan Papua menurun rata- rata 1,72 persen hingga 1,94 persen dalam 10 tahun belakangan. Bahkan, khusus di Provinsi Papua, jumlah penduduk miskin justru naik rata-rata 2,6 persen dalam satu dekade terakhir.
Struktur perekonomian Indonesia secara spasial menurut wilayah pulau juga memberikan gambaran penting atas andil transmigrasi terhadap perekonomian. Pada triwulan I tahun 2019, produk domestik regional bruto (PDB) Indonesia masih didominasi kelompok provinsi di Pulau Jawa. Kontribusi wilayah barat Indonesia, yakni Pulau Jawa dan Sumatera, dalam pembentukan PDB nasional, masing-masing 59,03 persen dan 21,36 persen.
Adapun di wilayah timur, seperti Sulawesi, andil terhadap PDB hanya 6,14 persen. Pulau Sulawesi mencatat jumlah penempatan transmigran yang terbilang besar, yakni mencapai 15.742 KK atau sepertiga lebih dari total penempatan transmigran dalam 10 tahun terakhir.
Kota terpadu mandiri
Pada masa mendatang, kawasan transmigrasi diharapkan menjadi kota terpadu mandiri (KTM). Melihat konsepnya, KTM merupakan kawasan transmigrasi yang dirancang menjadi pusat pertumbuhan melalui pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan.
Rencana mewujudkan KTM dimulai sejak tahun 2007 melalui keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP.214/MEN/2007 tentang Pedoman Umum Pembangunan dan Pengembangan Kota Terpadu Mandiri di Kawasan Transmigrasi. Regulasi selanjutnya juga dikeluarkan pemerintah tahun 2009, yakni Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No Kep 293/Men/IX/2009 tentang Penetapan Lokasi Kawasan Terpadu Mandiri di Kawasan Transmigrasi.
Pada tahun 2007-2012, pemerintah menetapkan 44 KTM yang terbagi dalam 4 generasi. Salah satu contoh KTM yang berhasil adalah KTM Mesuji, Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung. Mesuji merupakan KTM pertama yang dibangun pemerintah tahun 2007. Luas KTM Mesuji mencapai 46.000 hektar, mencakup tujuh kecamatan dengan komoditas unggulan padi dan jagung.
Mesuji adalah satu dari 13 KTM yang prospektif menjadi lumbung beras nasional. Aktivitas bertani di KTM Mesuji menjanjikan pendapatan yang terbilang layak bagi masyarakat di kawasan tersebut.
Hal itu dapat digambarkan hanya dari pertanian padi sawah. Sebagai gambaran, pada tahun 2017, luas lahan padi sawah di KTM Mesuji tercatat 41.354 hektar. Dengan luas sawah ini, KTM Mesuji mampu memproduksi padi 210.903 ton dalam 1,5 masa tanam.
Pemerintah menghitung, pendapatan seorang petani dari aktivitas bertani padi sawah di KTM Mesuji rata-rata Rp 2,9 juta per bulan. Angka tersebut berada di atas upah minimum kabupaten (UMK) Kabupaten Mesuji Rp 1,9 juta per bulan. Dampak ekonomi tersebut belum memasukkan pendapatan dari pertanian komoditas unggulan lain, yakni jagung, dengan luas tanam 3.480,5 hektar. Melalui dukungan pemerintah dan pihak swasta, petani di KTM Mesuji menjual hasil panen padi dalam bentuk beras melalui penggilingan beras. Petani tidak lagi menjual hasil panen dalam bentuk gabah sehingga meningkatkan perekonomian mereka.
Mesuji hanya satu contoh. Di KTM lain, pembangunan masih berproses. Proses ini idealnya mempertimbangkan berbagai faktor, antara lain aspek spasial. Perencanaan permukiman transmigrasi harus sejalan dengan tata ruang wilayah, baik itu rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) maupun rencana tata ruang kabupaten/kota (RTRWK).
Upaya mendorong pencapaian kawasan transmigrasi sebagai pusat pertumbuhan tentu bukan perkara mudah. Hal ini memerlukan kerja sama pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam jangka panjang.
(Litbang Kompas)