Minimalisme Sedang Populer, Tepatkah untuk Kita?
Minimalisme kini menjadi cara hidup. Lema ini tidak lagi terbatas pada konsep dalam desain arsitektur, pakaian, ataupun seni rupa. Popularitas minimalisme yang diterapkan sebagai cara hidup setidaknya terpotret lewat konten-konten yang makin banyak mengulas hal ini. Akankah kita mengikuti cara hidup minimalis? Tepatkah?
Buku Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang dicetak hingga empat kali sejak November 2018 hingga April 2019. Dengan 3.000 eksemplar dalam sekali terbit, buku ini setidaknya telah terjual 9.000 kopi dalam kurun enam bulan. Tak ayal, buku yang diterjemahkan dari Bokutachini, Mou Mono Wa Hitsuyou Nai ini masuk kategori buku terlaris di jaringan toko buku Gramedia.
Buku ini mengulas pengalaman hidup penulis, Fumio Sasaki, yang mengubah cara hidupnya dari maksimalis menjadi minimalis. Cara hidup minimalis ia definisikan sebagai perilaku hidup dengan sedikit mungkin mengonsumsi barang.
Karena sedikit, barang yang dipilih justru harus berkualitas dan fungsional. Dengan cara hidup ringkas ini, banyak waktu dan tenaga yang dihemat sehingga hidup dapat lebih bermakna.
Cara hidup minimalis ia definisikan sebagai perilaku hidup dengan sedikit mungkin mengonsumsi barang.
Fumio Sasaki bukan satu-satunya minimalis. Pendahulunya, Marie Kondo, menerbitkan dua buah buku berjudul The Life-Changing Magic of Tidying Up: The Japanese Art of Decluttering and Organizing (2010) dan Spark Joy: An Illustrated Master Class on the Art of Organizing and Tidying Up (2016).
Melalui laman mariekondobooks.com, disebutkan bahwa bukunya telah terjual sebanyak 10 juta kopi dan dipublikasikan di 42 negara. Tidak hanya buku, Marie Kondo juga menjadi bintang Netflix melalui acara Tidying Up With Marie Kondo. Marie populer berkat metode KonMari yang ia patenkan sebagai cara untuk mengorganisasikan barang.
Selain penulis Jepang, minimalisme juga menjadi perhatian kreator dari belahan barat. Joshua Fields Millburn dan Ryan Nicodemus merupakan kreator dari Amerika Serikat yang membahas minimalisme melalui buku, film, podcast, dan laman.
Duet Joshua dan Ryan menelurkan dua buah buku berjudul Minimalism: Live a Meaningful Life (2011) dan Everything That Remains: A Memoir by the Minimalists (2013). Mereka juga menggarap sebuah film dokumenter Minimalism: A Documentary About the Important Things (2016).
Kepemilikan barang tidak lagi penting jika tidak membawa kebahagiaan.
Karya-karyanya diklaim telah menginspirasi 200 juta orang, seperti yang disebutkan dalam laman www.theminimalists.com. Dalam wawancara bersama The New York Times, keduanya menyatakan bahwa gaya hidup mereka adalah tentang menghilangkan yang berlebihan.
Kepemilikan barang tidak lagi penting jika tidak membawa kebahagiaan. Keduanya bahkan mulai memberi hadiah berupa pengalaman alih-alih bungkusan barang.
Dari sejumlah penulis di atas, definisi minimalisme sebagai cara hidup mulai terbentuk. Hubungan manusia dengan barang yang dimiliki perlu dikurasi dengan jumlah seminimal mungkin dan diatur sedemikian rupa agar tidak menyusahkan.
Kata minimalisme sendiri sebelumnya muncul dalam ranah seni. Minimalisme digunakan untuk mengidentifikasi kecenderungan aliran karya seni di New York pada 1960-an. Meski muncul di barat, minimalisme sesungguhnya diperkenalkan oleh sarjana Jepang, DT Suzuki, melalui kuliah-kuliahnya tentang Buddhisme Zen di New York. (Kompas, 17 Februari 2019).
Sementara itu di Indonesia kata minimalisme masih banyak merujuk pada aliran dalam arsitektur, busana, musik, seni rupa dan politik. Minimalisme sebagai cara hidup setidaknya diulas Kompas pada 3 Maret 2019 dalam artikel berjudul Gaya Hidup: Berbenah dengan Kesadaran.
Artikel tersebut mengulas seorang penulis Indonesia, Dewi Lestari, yang menjadi salah seorang minimalis sejak ia pindah ke rumah baru yang penuh dengan perabotan. Ia terinspirasi oleh seni beres-beres a la Marie Kondo. Ia belajar melepas barang (declutter) dan hanya mempertahankan barang yang paling penting saja.
Cocokkah untuk kita?
Lalu, bagaimana dengan kita? Gagasan Fumio Sasaki soal mobilitas dan bencana merupakan alasan yang paling perlu dipertimbangkan. Pertama, soal mobilitas, Ia tergelitik setiap kali melihat orang tergesa-gesa naik kereta dengan barang bawaan yang amat banyak. Tidak ada raut bahagia yang ia tangkap dari orang-orang tersebut.
Di wilayah urban seperti Jakarta, mobilitas yang tinggi adalah keniscayaan. Apa yang dilihat Fumio bisa ditemui sehari-hari ketika berada di halte bus Transjakarta atau stasiun kereta rel listrik (KRL).
Gambaran di Indonesia mungkin lebih menyedihkan di tengah moda transportasi umum yang belum sebaik di Jepang. Membawa banyak barang harus disertai dengan usaha untuk bisa masuk ke KRL yang penuh berdesak-desakan.
Gagasan Fumio Sasaki soal mobilitas dan bencana merupakan alasan yang paling perlu dipertimbangkan
Menurut data Commuterline Indonesia, pengguna KRL di Jabodetabek diperkirakan 1,2 juta orang per hari. Jika 1,2 juta orang per hari dapat menerapkan cara minimalis dalam membawa barang, bisa jadi kegiatan berkereta dapat lebih menyenangkan.
Akumulasi dari ruang yang bisa dihemat karena orang tidak menggunakan tas punggung yang terlalu besar misalnya, bisa digunakan untuk penumpang lainnya.
Kepemilikan barang yang banyak juga dianggap dapat membebani mental seperti perasaan bersalah karena barang tidak kunjung digunakan atau perasaan takut kehilangan karena rusak atau hilang.
Seniman Mai Yururi dalam esai komiknya Watashi No Uchi Niwa Nanimo Nai menggambarkan sebuah keluarga yang teramat sedih karena semua barang yang dimiliki rusak dan menjadi puing ketika bencana terjadi. Ilustrasinya sangat sesuai dengan keadaan di Jepang yang rawan gempa dan tsunami.
Di Indonesia, bencana tidak pernah absen datang. Menurut Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI) yang dikeluarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, jumlah kejadian bencana di Indonesia terus mengalami kenaikan.
Pada tahun 2015, terdapat 1.644 kejadian bencana dan bertambah sedikitnya 20 persen tiap tahun. Terakhir, sudah ada 1.682 bencana terjadi dari Januari hingga Mei 2019 ini.
Frekuensi bencana berbanding lurus dengan banyaknya kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan. Kerusakan rumah terbanyak terjadi di tahun 2018. Sebanyak 673.620 rumah rusak mayoritas karena gempa dan gelombang pasang. Pada tahun 2016, kerusakan rumah akibat bencana bahkan hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya.
Kita tidak bisa abai berada di negara dengan kemungkinan bencana yang tinggi. Mulai memikirkan kualitas dan fungsi barang yang memenuhi aspek-aspek minimalis menjadi salah satu kunci keselamatan. Fumio menyarankan, alih-alih membeli perabot atau alat rumah tangga yang sangat jarang digunakan, lebih baik meminjam atau menyewa.
Menghemat kepemilikan barang bukan berarti hidup irit. Hidup minimalis merupakan salah satu cara untuk mencapai kehidupan yang sederhana namun berkualitas. (Arita Nugraheni/Litbang Kompas)