Laris Manis Si Odong-odong
Siapa tak kenal odong-odong? Mungkin, sebagian ada biasa menyebutnya kereta wisata, kereta kelinci, mobil keliling, mobil andong, kereta abal-abal, ataupun mobil bodong.
Siapa tak kenal odong-odong? Mungkin, sebagian ada yang biasa menyebutnya kereta wisata, kereta kelinci, mobil keliling, mobil andong, kereta abal-abal, ataupun mobil bodong.
Sebutan yang terakhir biasanya mengacu pada kondisi kendaraan tanpa surat-surat kendaraan alias dokumen resmi, tetapi saja nekat beroperasi. Versi lain biasanya adalah (odong-odong) sepeda atau sepeda motor. Barangkali karena berawal dari sebutan bodong, lama-kelamaan si mobil bodong lebih populer dengan sebutan odong-odong.
Odong-odong sudah ada setidaknya 30-an tahun silam. Pekan Raya Jakarta (Jakarta Fair) pada pertengahan tahun 1970-an bisa dibilang menjadi ajang hadirnya kendaraan itu. Harian Kompas, 20 Juli 1974 dalam artikel bertajuk ”Serba-serbi Pekan Raya Jakarta” menggambarkan keberadaan odong-odong yang turut mewarnai ajang besar tersebut.
”Keliling Pekan Raya naik kereta Kelinci dan Mini Trem, termasuk hiburan yang ramai. Bukan saja untuk anak-anak, tapi juga buat orang dewasa, termasuk turis dan keluarga-keluarga pejabat”, demikian sepenggal isi artikel tersebut.
Kendaraan hiburan ini biasanya hadir di keramaian warga ala pasar malam, taman bermain, pasar, hingga taman rekreasi. Fungsinya pun tak sekadar menghibur anak-anak dengan ongkos Rp 2.000 hingga Rp. 3.000 di taman atau lapangan. Odong-odong bisa jadi angkutan penumpang untuk ke pasar ataupun antar jemput anak sekolah.
Kendaraan ini juga kerap terlibat meramaikan kampanye pemilihan kepala daerah. Bahkan, odong-odong pernah juga menjadi angkutan resmi atlet dan ofisial selama Pekan Olahraga Nasional (PON) XIV 1996 di Gelora Bung Karno, Senayan.
Beragam bentuk
Seiring beragam perkembangan fungsinya, odong-odong hadir dengan kreasi modifikasi bentuk. Paling umum dijumpai kendaraan ini memanfaatkan rangka mobil angkutan tua tahun 1970-1980. Kemudian, kendaraan roda empat ini disulap menjadi mobil kereta bertema hewan, tokoh kartun, badut, atau figur lucu, plus pengeras suara yang terus menyuarakan lagu anak-anak.
Selain mobil, model lainnya adalah sepeda motor yang menarik atau mendorong rangkaian gerbong. Ada juga odong-odong berbentuk modifikasi sepeda kayuh yang dipasangi rangkaian tempat duduk bertema hewan, perahu, dan lainnya.
Atau yang lebih sederhana, seperti rangka dengan dua atau tiga roda yang dipasangi sejumlah kursi mainan. Di beberapa kota lain ada juga yang memanfaatkan becak atau traktor sebagai penariknya.
Nilai bisnis
Menjamurnya odong-odong, khususnya odong-odong mobil, tak lepas dari sisi bisnis yang menggiurkan. Perhitungan berikut setidaknya menggambarkan sisi untung dari bisnis ini. Modal untuk membuat satu unit odong-odong bervariasi, mulai Rp 10 juta hingga Rp 50 juta.
Mobil odong-odong pun tidak perlu dibuat sendiri, bisa dipesan secara daring di beberapa kota. Pembuatnya sanggup membentuk odong-odong mulai dari bentuk bus mini, mobil, hingga rangka dengan desain khusus seperti rel kereta api.
Sementara itu, penghasilan yang bisa diraup dari usaha ini terbilang besar. Sebagai contoh, Komunitas Kereta Mini Anglingdarma Jabodetabek yang beranggotakan 60 pengusaha menyatakan, penghasilan dari bisnis odong-odong bisa Rp 6 juta per bulan saat sedang ramai. Sementara, saat sepi, pengusaha odong-odong tetap bisa meraih penghasilan sedikitnya Rp 3,5 juta dalam sebulan (Kompas, 25/10/2019).
Jika pemilik odong-odong merangkap sebagai pengemudi odong-odong, bisnis ini tidak membutuhkan waktu lama untuk menutup modal usaha. Jika dengan asumsi penghasilan yang diperoleh paling minim Rp 3,5 juta dan modal termahal Rp 50 juta, pengusaha odong-odong hanya memerlukan waktu sekitar 1 tahun untuk mengembalikan modal usahanya. Sisanya mereka sudah bisa menikmati keuntungan.
Larangan di Jakarta
Melihat gambaran bisnis odong-odong yang menggiurkan, tak mengherankan jika pelarangan sarana hiburan ini di DKI Jakarta memunculkan keberatan di kalangan pengusahanya. Pelarangan odong-odong di Ibu Kota juga memunculkan pro dan kontra sebagian warga Jakarta.
Hasil jajak pendapat Kompas tanggal 2-3 November lalu menunjukkan, 70 persen dari total 531 responden setuju atas kebijakan pelarangan beroperasinya odong-odong. Meski demikian, ada juga seperempat lebih responden lain yang menyatakan sebaliknya.
Baca juga: https://kompas.id/baca/riset/2019/11/17/odong-odong-rawan-tetapi-dibutuhkan/
Odong-odong memang bisa menjadi sarana hiburan alternatif yang murah meriah sekaligus memberikan sumber penghasilan bagi masyarakat, seperti pendapat sekitar 81 persen responden jajak pendapat Kompas (lihat grafik).
Meski demikian, tak bisa dimungkiri juga bahwa pada sisi lain odong-odong yang beroperasi di jalanan rentan mengundang bahaya kecelakaan. Dari penelusuran sejumlah pemberitaan sepanjang tahun 2014-2019 saja, terdapat setidaknya 12 kasus kecelakaan yang melibatkan odong-odong.
Itu artinya, selama enam tahun ini rata-rata ada dua kasus kecelakaan yang melibatkan odong-odong setiap tahun. Jumlah pastinya sangat mungkin lebih banyak dari itu.
Ada berbagai macam penyebab kecelakaan odong-odong. Pertama, kekuatan mesin dari mobil tua yang digunakan untuk menarik kereta odong-odong tidak dirancang dengan perhitungan yang memadai. Kedua, odong-odong juga tidak didesain dengan penghitungan kemampuan mengerem, lebar kendaraan, dan panjang kendaraan yang sesuai dengan kondisi jalan.
Sejumlah kasus kecelakaan kecelakaan terjadi karena odong-odong tidak kuat menanjak dan akhirnya terbalik. Pada kasus lain, odong-odong tercebur ke parit karena lebar dan panjang kendaraan yang tidak akomodatif dengan kondisi jalan dan sistem pengereman yang buruk. Ada juga kasus odong-odong yang tertabrak kendaraan lain karena bentuk fisiknya terlalu panjang, tetapi berjalan dengan kecepatan rendah.
Dari sisi regulasi, odong-odong memang tidak memenuhi ketentuan Pasal 49 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan. Dalam aturan ini tertulis bahwa kendaraan bermotor sertta kereta gandengan yang dibuat, dirakit, dan dioperasikan jalanan wajib melakukan pengujian berupa uji tipe dan berkala.
Pasal 277 dari aturan yang sama juga menjelaskan, setiap orang yang membuat merakit atau memodifikasi kendaraan bermotor dan menyebabkan perubahan tipe, kereta gandengan, tempelan, dan tidak memenuhi uji tipe dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta.
Di balik laris manis bisnis odong-odong, baik bagi pengguna maupun pengusahanya, ada sejumlah faktor lain yang rasanya perlu dipertimbangkan. Salah satu faktor utama adalah keselamatan. Hal ini tidak berarti bahwa odong-odong harus mati beroperasi. Boleh jadi, odong-odong memungkinkan beroperasi di tempat tertentu dengan standar keselamatan yang jelas. Regulasi yang ada, boleh jadi juga perlu diperbarui guna mengakomodasi fakta bahwa sudah tiga dasawarsa odong-odong hadir dan diterima masyarakat luas. (Bima Baskara/Litbang Kompas)