Mendorong Kaum Hawa Berdaya dari Gangguan Jiwa
”Understand that getting help isn’t a sign of weakness but a sign of strength.” (Michelle Obama)
Kalimat bijak dari perempuan yang pernah menjadi first lady Amerika Serikat ini bisa ditujukan bagi siapa saja. Terutama bagi orang yang mengalami masalah kejiwaan. Termasuk bagi perempuan yang lebih rentan terkena gangguan kejiwaan. Menyadari ada masalah dan mencari dukungan untuk mengatasinya akan menyelamatkan banyak jiwa.
Sekitar satu bulan lalu, kejadian mengejutkan datang dari Kecamatan Cibeunying Kaler, Kota Bandung, Jawa Barat. Seorang ibu membunuh anak kandungnya yang berusia tiga bulan dengan menggunakan pisau. Diduga, ibu tersebut mengalami gangguan jiwa. Pelaku mengaku membunuh anaknya karena mendapat bisikan gaib yang mengatakan bahwa ia belum mampu mengurus anak. Ia beranggapan akan lebih baik jika anak itu dikirim ke surga.
Berdasarkan pemberitaan Kompas, sepanjang 2019, kisah ibu membunuh anak kandung juga terjadi di Palembang dan Jakarta Timur. Latar belakang terjadinya pembunuhan pun sama, yakni sang ibu yang mengalami gangguan jiwa. Rentetan peristiwa serupa ini menunjukkan persoalan gangguan kejiwaan bisa berakhir tragis, pengidap bisa tega mengakhiri hidup makhluk Tuhan yang lemah, termasuk nyawanya sendiri atau bunuh diri pada kasus lain.
Pada dasarnya, gangguan jiwa bisa terjadi kepada siapa saja, tanpa memandang jenis kelamin, golongan, dan usia. Meski demikian, data dan fakta berkata bahwa gangguan jiwa lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki.
Perempuan lebih rentan terhadap gangguan kejiwaan. Data yang dihimpun Global Health Data Exchange (GHDx) menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir prevalensi gangguan jiwa pada perempuan lebih banyak jika dibandingkan dengan laki-laki. Prevalensi gangguan jiwa di Indonesia pada tahun 2017 sebanyak 28,86 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, lebih dari setengah penderita gangguan jiwa adalah perempuan (15,09 juta jiwa atau 52,27 persen), sedangkan laki-laki hanya 13,77 juta jiwa (47,73 persen).
Jika dilihat dari pertumbuhan prevalensinya, gangguan jiwa pada laki-laki cenderung menurun 0,05 persen sepanjang lima tahun terakhir. Pertumbuhan 1 persen terjadi pada tahun 2014, sedangkan pada 2017 hanya 0,95 persen. Adapun pertumbuhan prevalensi gangguan jiwa pada perempuan cenderung meningkat 0,04 persen, dari 1,04 persen pada 2014 menjadi 1,08 persen pada 2017.
Kecemasan dan depresi
Secara spesifik, perempuan lebih rentan terhadap gangguan jiwa jenis kecemasan (anxiety disorder) dan depresi (depressive disorder). Prevalensi gangguan kecemasan pada perempuan 5,32 juta jiwa atau 35 persen dari seluruh jenis gangguan jiwa yang dialami perempuan. Sedangkan prevalensi depresi pada perempuan di Indonesia adalah 3,99 juta jiwa (26,49 persen dari total gangguan jiwa).
Kecemasan adalah respons alami tubuh yang memiliki gejala psikologis dan fisik. Pada dasarnya semua orang memiliki rasa cemas dan pasti pernah merasakan cemas sehingga cemas dipandang sebagai sesuatu yang normal. Namun, menjadi tidak wajar ketika cemas menetap terlalu lama dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Hal inilah yang disebut gangguan kecemasan.
Beberapa gejala gangguan kecemasan adalah jantung berdebar-debar, gemetar, sulit berkonsentrasi, dan sesak napas. Sebuah laman di Selandia Baru yang secara khusus membahas depresi dan gangguan kecemasan (depression.org.nz) membagi gangguan kecemasan dalam beberapa tipe. Fobia menjadi salah satu bagiannya, di mana seseorang memiliki ketakutan yang tidak rasional, takut berada di keramaian ataupun di ketinggian, misalnya. Tipe lainnya adalah gangguan panik, gangguan kecemasan sosial, gangguan obsesif atau kompulsif, dan gangguan stres pascatrauma.
Berbeda dengan gangguan kecemasan, depresi adalah keadaan di mana seseorang merasa sedih yang mendalam, serta tidak memiliki ketertarikan atau kesenangan terhadap sesuatu. Perasaan sedih yang normal dialami semua orang, tetapi menjadi tidak wajar ketika berlarut-larut yang pada akhirnya mengganggu pikiran dan perilaku.
Kondisi ini mungkin terlihat sederhana, tetapi tidak semestinya dianggap remeh. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa depresi dapat membawa seseorang pada kematian melalui bunuh diri. Hal ini terjadi karena seseorang yang mengalami depresi merasa sedih yang berkepanjangan, tidak berharga, dan putus harapan. Pada akhirnya memilih untuk mengakhiri hidupnya.
Gangguan kecemasan dan depresi juga merupakan jenis gangguan terbesar pada laki-laki, hanya prevalensinya lebih besar pada perempuan ketimbang laki-laki. Jenis gangguan jiwa yang lebih sering terjadi dan dialami laki-laki ketimbang perempuan adalah gangguan perilaku (conduct disorder) dan gangguan konsentrasi (attention-deficit/hyperactivity disorder atau biasa disebut ADHD).
Gangguan perilaku lebih bersifat agresif. Perilaku ini menetap dan berulang, ditandai dengan perilaku yang tidak sesuai dengan nilai kebenaran atau norma di masyarakat. Beberapa gejala gangguan perilaku adalah suka mengintimidasi orang lain, suka berkelahi, kekerasan seksual, merusak barang-barang, dan melakukan kekerasan fisik pada orang lain.
Sedangkan gangguan ADHD adalah gangguan yang ditandai dengan perilaku hiperaktif dan impulsif yang mengganggu fungsi dan perkembangan. Menurut National Institute of Mental Health (NIMH), seseorang yang hiperaktif tampaknya bergerak terus-menerus dalam situasi yang tidak sesuai. ADHD juga disertai dengan sikap impulsif yang ditandai dengan tindakan tergesa-gesa tanpa terlebih dahulu memikirkannya dan mengabaikan potensi bahaya yang mungkin terjadi.
Jender dan kesehatan mental
Menurut WHO, jender adalah penentu penting kesehatan jiwa dan gangguan jiwa. Sebab, jender menentukan kontrol yang dimiliki perempuan dan laki-laki. Perbedaan yang dibangun secara sosial antara perempuan dan laki-laki, seperti peran dan tanggung jawab, status dan kekuasaan, akan berpengaruh terhadap gangguan kesehatan jiwa yang dialami.
Diskriminasi jender, kemiskinan, kelaparan, gizi buruk, terlalu banyak pekerjaan, kekerasan dalam rumah tangga, dan pelecehan seksual berujung pada buruknya mental perempuan. WHO mencatat, sekurang-kurangnya 1 dari 5 perempuan mengalami pemerkosaan dan percobaan pemerkosaan selama hidupnya. Bahkan, tingkat prevalensi kekerasan seumur hidup pada perempuan mencapai 16 persen hingga 50 persen.
Rentannya perempuan terhadap gangguan kecemasan dan depresi disebabkan oleh faktor hormon. Setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki tiga hormon dalam tubuhnya, yaitu estrogen, progesteron, dan testosteron. Hanya rasionya yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Hormon yang lebih dominan pada perempuan adalah estrogen. Hal ini menyebabkan adanya ketidakseimbangan hormon yang bisa berdampak pada fisik dan psikologi perempuan sehingga bisa memicu gangguan jiwa.
Pengaruh hormon terhadap kerentanan perempuan terkena gangguan jiwa ini juga disampaikan oleh dr Lahargo Kembaren, SpKJ, Kepala Instalasi Rehabilitasi Psikososial Rumah Sakit Dr H Marzoeki Mahdi di Bogor, dalam sebuah wawancara.
”Pada perempuan, terutama itu hormon karena ada siklus bulanan, hormon estrogen yang berperan di situ. Hormon ini memengaruhi perempuan dalam bersikap, berperilaku, dan emosi berperan disana. Ada yang bilang perempuan lebih banyak menggunakan perasaan dan laki-laki lebih menggunakan rasionalitas”, kata Lahargo.
Publikasi Mental Health tahun 2018 mencatat bahwa dominasi hormon estrogen pada perempuan mengakibatkan gejala seperti kecemasan (anxiety), kepanikan (panic attack), stres, suasana hati tertekan, dan kurang energi. Maka, tidak heran jika perempuan lebih rentan terhadap kecemasan dan depresi, di mana keduanya adalah bagian dari gangguan mental.
Publikasi American Psychological Association (APA, 2011) juga menyebutkan bahwa wanita yang mengalami gangguan jiwa berupa kecemasan cenderung menyimpan sendiri emosinya dan menarik diri sehingga merasa kesepian dan berujung pada depresi. Perempuan cenderung berlama-lama merenungi hal negatif yang terjadi pada dirinya daripada mencari solusi atas masalahnya. Sedangkan laki-laki cenderung menampakkan emosinya secara agresif, bahkan tidak jarang diwujudkan melalui tindak kekerasan yang menyakiti dan merugikan orang lain.
Keterbukaan
Perempuan harus menyadari kondisi bahwa dirinya rentan terhadap gangguan kejiwaan. Meningkatkan literasi mengenai kesehatan mental menjadi langkah awal untuk mengenali apa yang terjadi pada diri sehingga mampu mencegah terjadinya gangguan jiwa sejak dini atau menangani masalah sebelum menjadi parah.
Salah satu upaya penanganan pada penderita gangguan jiwa adalah dengan psikoterapi, lebih spesifik dengan terapi berbicara (talking therapies). Terapi berbicara bukan berarti karena penderita gangguan jiwa tidak bisa berbicara (tunawicara). Terapi ini berupa konsultasi yang membebaskan penderita bercerita apa yang dialaminya. Tujuan dari terapi ini adalah menguatkan, untuk membuat penderita kembali bersemangat.
Kendati perempuan lebih sering menyimpan sendiri emosinya dalam keadaan tertekan yang berujung pada terganggunya jiwa, perempuan lebih siap untuk terbuka dan membicarakan perasaan mereka. Maka, terapi berbicara tepat untuk membantu perempuan bebas dari jiwa yang terbelenggu.
Mental Health Foundation menjelaskan terapi berbicara akan membantu penderita memahami cara menghadapi pikiran dan perasaan negatif menjadi pikiran dan perasaan yang positif. Membagikan cerita tentang apa yang dipikirkan dan dirasakan bisa kepada siapa saja, keluarga, pasangan, atau teman misalnya. Psikiater pun tetap menjadi tempat paling tepat bagi penderita gangguan jiwa karena psikiater lebih memahami problem kejiwaan.
Kini, muncul juga metode penanganan masalah kejiwaan berupa komunitas yang dibentuk sebagai wadah saling berbagi cerita dan saling menguatkan, demi membangun pikiran yang positif dan saling menguatkan.
Di Indonesia, komunitas yang peduli dengan kesehatan mental perempuan mulai bermunculan. Kehadiran komunitas-komunitas itu menjadi wadah bagi para ibu atau perempuan untuk berbagi cerita dan masalahnya. Komunitas Mother Hope Indonesia, misalnya, berawal dari ide seorang ibu yang mengalami depresi pasca-melahirkan anaknya yang kedua. Depresi muncul karena dia merasa tidak ada dukungan dari orang-orang terdekat. Gangguan tersebut sudah dialaminya sejak kepergian anaknya yang pertama saat masih dalam kandungan.
Berlatar belakang ketidakmauannya melihat orang lain mengalami hal yang sama, maka ibu tersebut (Yana) tergerak membentuk komunitas yang dinamai Mother Hope Indonesia. Ia memilih media sosial Facebook sebagai platform tempat para ibu berbagi cerita agar bisa dijangkau oleh siapa pun dan di mana pun.
Terdapat komunitas lain di Indonesia yang berkomitmen menjadi wadah bagi para penderita gangguan jiwa, baik laki-laki maupun perempuan. Komunitas tersebut antara lain Into The Light Indonesia, Bipolar Care Indonesia (BCI), dan Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI).
Meski demikian, tidak jarang respons negatif dan intimidatif muncul ketika penderita depresi berbagi cerita dengan sesamanya. Dibutuhkan komitmen untuk memberikan dukungan positif dan bersifat menguatkan dari lingkungan sosial agar kondisi jiwa, baik perempuan maupun laki-laki tetap dalam kondisi yang sehat.
Dengan kondisi seperti ini, adanya dukungan kelompok dan lingkungan sosial, masih ada harapan bagi para penderita gangguan jiwa untuk kembali bangkit dan berdaya. Dengan terbuka dan saling menguatkan, pikiran dan perasaan negatif dapat dipatahkan. (Agustina Purwanti/Litbang Kompas)