Meraih Bonus Demografi Tanpa Gangguan Jiwa
Kesehatan jiwa masyarakat menjadi syarat penting bagi Indonesia jika ingin menikmati bonus demografi pada 2025-2035.
Kesehatan jiwa masyarakat menjadi syarat penting bagi Indonesia jika ingin menikmati bonus demografi pada 2025-2035. Bonus demografi tidak akan memberikan banyak manfaat jika penduduk usia produktif banyak yang mengalami gangguan mental. Karena itu, perlu penanganan yang tepat agar kondisi gangguan jiwa tidak menjadi beban bagi keluarga dan negara.
Gangguan jiwa atau kerap disebut gangguan mental sebenarnya sudah lama menjadi persoalan warga dunia. Berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2016, secara global terdapat 35 juta orang yang mengalami depresi, 60 juta orang dengan gangguan bipolar, 21 juta orang dengan skizofrenia, dan 47,5 juta orang mengalami demensia.
WHO juga menyebut depresi telah merenggut nyawa lebih dari 850.000 jiwa dalam setahun. Rata-rata kasus depresi banyak diderita remaja dan dewasa pada rentang usia 15-29 tahun.
Di kawasan Asia Pasifik, menurut WHO, jumlah kasus gangguan depresi terbanyak berada di India, yaitu 4,5 persen dari jumlah populasi, dan terendah di Maladewa, yakni 3,7 persen dari populasi. Adapun di Indonesia tercatat sebanyak 3,7 persen dari populasi atau sekitar 9,1 juta kasus.
Data lain ditunjukkan dalam Global Health Data Exchange 2017. Prevalensi gangguan mental di Indonesia pada usia produktif (20-54 tahun) mencapai 15,91 juta orang atau 58,3 persen dari total penderita gangguan mental semua umur (27,26 juta orang).
Dari data yang sama, rentang usia 35-39 tahun tertinggi prevalensinya dibandingkan dengan kategori usia yang lain, yaitu 2,5 juta penderita gangguan mental. Disusul kemudian rentang usia 40-44 tahun sebanyak 2,41 juta dan usia 30-34 tahun sebanyak 2,40 juta.
Prevalensi gangguan jiwa juga terekam dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) oleh Kementerian Kesehatan tahun 2018. Dalam Riskedas 2018 itu prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan pada usia 15 tahun ke atas mencapai 9,8 persen dari jumlah penduduk.
Angka ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2013, yaitu sebesar 6 persen. Adapun prevalensi depresi pada penduduk untuk umur 15 ke atas mencapai 6,1 persen dari jumlah penduduk dan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia, mencapai 7 per 1.000 penduduk.
Dilihat berdasarkan kategori usia, semakin bertambah usia, semakin tinggi prevalensi gangguan mental emosional. Untuk kategori usia produktif (25-54 tahun), prevalensi gangguan mental emosional berada dalam rentang 8 persen hingga 10 persen. Angka itu terhitung besar jika dibandingkan dengan jumlah penduduk rentang usia 15-64 tahun yang mencapai 183,3 juta jiwa.
Adapun prevalensi depresi pada umur produktif (24-54 tahun) menunjukkan pola yang sama dengan prevalensi gangguan mental emosional. Semakin tinggi kelompok usia, semakin tinggi pula prevalensi depresinya.
Prevalensi depresi untuk umur 45-54 tahun terhitung yang tertinggi, yakni 6,1 persen. Disusul kemudian rentang usia 35-44 tahun (5,6 persen) dan kategori umur 25-34 tahun (5,4 persen).
Menilik lebih jauh prevalensi depresi di Indonesia, Karl Peltzer, peneliti dari University of Limpopo (Afrika Selatan), dan Supa Pengpid, peneliti dari Mahidol University (Thailand), pernah meneliti prevalensi depresi di Indonesia dalam skala nasional. Mereka menelaah data yang didapatkan dari Survei Kehidupan Keluarga Indonesia tahap kelima (Indonesian Family Life Survey fifth wave) yang telah dilakukan sejak tahun 1993.
Hasil penelitian mereka menunjukkan tingkat depresi tertinggi ditemukan pada rentang usia remaja atau dewasa muda dan cenderung menurun seiring dengan pertambahan usia. Peltzer dan Pengpid menemukan bahwa 21,8 persen orang yang disurvei mengalami gejala depresi sedang atau berat. Dari prevalensi tersebut, perempuan memiliki tingkat gejala depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Dari hasil survei, sebanyak 21,4 persen laki-laki dan 22,3 persen perempuan diketahui mengalami gejala depresi sedang atau berat.
Beban ekonomi
Secara umum, gangguan jiwa, selain memberikan dampak negatif bagi penderita dan keluarga, juga menyumbang beban ekonomi bagi negara. Penyakit kejiwaan itu tidak hanya membutuhkan biaya pengobatan bagi pasien, tetapi juga memunculkan persoalan ekonomi jangka panjang.
Di sisi keluarga, beban biaya yang ditanggung untuk pengobatan penderita gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia, acap kali memberatkan. Pasalnya, penderita gangguan jiwa berat perlu mendapatkan rehabilitasi khusus. Biayanya tidak murah. Proses rehabilitasi secara terpadu umumnya dijalani di fasilitas kesehatan khusus, seperti rumah sakit jiwa.
Kajian yang dilakukan Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (Pusat KP-MAK) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mencatat biaya yang muncul akibat penyakit skizofrenia bisa mencapai Rp 32 juta per tahun untuk setiap pasien. Biaya itu termasuk biaya langsung dan tidak langsung, seperti hilangnya produktivitas. Biaya langsung meliputi pengobatan medis dan alternatif yang masing-masing mencapai 20 persen. Ada pula dana penyediaan ruangan yang khusus digunakan untuk penderita skizofrenia.
Di luar biaya langsung, biaya paling besar justru muncul dari biaya yang tak bersifat langsung, yakni hilangnya produktivitas dari penderita itu sendiri. Mereka umumnya tidak bisa menjalankan fungsinya secara optimal. Bahkan, banyak penderita yang akhirnya berhenti bekerja akibat penyakit tersebut. Tidak adanya pemasukan tetap dan kesempatan untuk berkarya bisa meruntuhkan kepercayaan diri penderita dan membuat mereka semakin terisolasi secara sosial.
Kebanyakan penderita gangguan jiwa berat umumnya tidak memiliki pekerjaan dan terisolasi secara sosial. Di Amerika Serikat, misalnya, semakin parah penyakit jiwa yang diderita, semakin rendah persentase penderita yang bekerja. Hanya 54 persen dari penderita penyakit jiwa serius yang masih memiliki pekerjaan. Di Indonesia, belum ada data tentang tingkat pengangguran di kalangan penderita penyakit jiwa.
Selain itu, gangguan jiwa berat juga menambah beban ekonomi dan moral bagi keluarganya. Pihak keluarga harus meluangkan banyak waktu dan tenaga untuk mengawasi penderita skizofrenia. Hal itu tentu bisa membuat pihak keluarga merasa lelah sehingga bisa mengganggu pekerjaan, kehidupan sosial, dan kehidupan berkeluarga mereka.
Di sisi negara, meningkatnya penderita gangguan jiwa bisa berdampak pada penambahan beban ekonomi negara dan penurunan produktivitas sumber daya manusia (SDM) dalam jangka panjang. Merunut laporan BPJS Kesehatan, pada 2016 BPJS Kesehatan mengeluarkan dana sebesar Rp 730 miliar untuk penyakit yang tergolong dalam gangguan jiwa. Dana ini terbagi atas Rp 455 miliar untuk rawat inap dan Rp 275 miliar untuk rawat jalan.
Penyakit paranoid skizofrenia merupakan kasus yang paling banyak ditangani untuk rawat inap dan rawat jalan. Jumlah ini meningkat dibandingkan pada 2014, yakni Rp 573 miliar; dengan rincian Rp 397 miliar untuk rawat inap dan Rp 175 miliar untuk rawat jalan.
Kementerian Kesehatan pada 2012 pernah memperkirakan kerugian ekonomi yang timbul akibat masalah gangguan jiwa, yaitu lebih dari Rp 20 triliun setahun. Kerugian itu berupa hilangnya produktivitas, beban ekonomi, dan biaya kesehatan yang harus ditanggung keluarga dan negara. Data terbaru terkait kerugian akibat gangguan jiwa belum ada, tetapi diperkirakan beban ekonomi akan semakin besar seiring meningkatnya jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia.
Kendati nilai kerugiannya besar, persoalan kesehatan jiwa acap kali masih diremehkan. Gangguan jiwa dianggap bisa berlalu seiring berjalannya waktu, padahal tidak.
Di tingkat global, kondisi neuropsikiatrik menyumbang 13 persen dari total disability adjusted life years (DALYs) yang hilang karena semua penyakit dan cedera di dunia dan diperkirakan meningkat hingga 15 persen pada 2020. Kasus depresi menyumbang 4,3 persen dari beban penyakit dan merupakan salah satu yang terbesar penyebab kecacatan di seluruh dunia.
Data lain menunjukkan, gangguan kesehatan jiwa mampu menguras perekonomian global hingga 16 triliun dollar AS antara tahun 2010 dan 2030. Angka itu dilaporkan oleh 28 spesialis dari berbagai negara, termasuk psikiatri, kesehatan masyarakat, ilmu saraf, pasien kesehatan jiwa, serta kelompok advokasi dalam laporan The Lancet Comission. Mereka sependapat bahwa krisis kesehatan mental dapat membahayakan individu, komunitas, dan ekonomi di seluruh kota di dunia.
Karena itu, investasi dalam kesehatan mental dinilai baik untuk kesehatan dan ekonomi. Dikutip dari laman WHO dalam artikel yang berjudul Mental health: massive scale-up of resources needed if global targets are to be met dinyatakan, setiap 1 dollar AS yang diinvestasikan dalam meningkatkan pengobatan untuk penyakit mental umum, seperti depresi dan kecemasan, menyebabkan pengembalian 4 dollar AS dalam kesehatan yang lebih baik dan kemampuan untuk bekerja.
Penyebab
Penyebab gangguan mental pada masa produktif itu tidak terlepas dari banyak faktor. Menurut WHO, selain faktor biologis dan sosial, persoalan kesulitan ekonomi acap kali menjadi pemicu utama gejala gangguan mental. Kemiskinan, pengangguran, memiliki banyak utang, dan tekanan dalam pekerjaan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan mental pada seseorang.
Memburuknya kondisi ekonomi atau kemiskinan merupakan contoh kejadian yang memiliki konsekuensi pada meningkatnya masalah kesehatan. Farley (1987) dalam laporan WHO (2012) mengemukakan akibat kemiskinan terhadap kondisi mental. Dengan merujuk pada beberapa hasil penelitian, terbukti bahwa orang-orang yang berpenghasilan rendah atau orang miskin merasa kurang bahagia (less happiness) dan bahkan mengalami gangguan mental yang serius, seperti depresi, skizofrenia, dan gangguan kepribadian.
Hasil penelitian dari Karl Peltzer dan Supa Pengpid juga menemukan kondisi sosioekonomi berkaitan dengan tingkat depresi. Orang-orang yang termasuk kelompok masyarakat miskin cenderung menunjukkan tingkat gejala depresi sedang atau berat.
Meski demikian, bukan berarti orang dengan perekonomian menengah ke atas akan terhindar dari gangguan mental. Negara maju di Eropa, Amerika, ataupun Asia, seperti China, Jepang, dan Korea Selatan, memiliki kejadian gangguan mental yang merujuk kepada kasus bunuh diri yang cukup tinggi dan terus meningkat. Faktor-faktor yang tidak bersifat tunggal ini membuat gangguan mental menjadi isu yang cukup kompleks dan perlu pendekatan dari segala sisi.
Orang yang sedang menganggur atau sedang mencari pekerjaan juga dianggap rentan mengalami gangguan jiwa. Laporan Equality and Inequalities in Health and Social Care: A Statistical Overview menemukan bahwa orang yang menganggur lebih berisiko mendapat penyakit psikologis (30 persen) daripada mereka yang secara ekonomi tidak aktif (25 persen) atau yang bekerja (16 persen).
Penelitian lain menunjukkan bahwa pengangguran dan mereka yang tidak aktif secara ekonomi terkait dengan peningkatan risiko masalah kesehatan. National Alliance on Mental Illness menyatakan bahwa tingkat pengangguran orang dewasa dengan penyakit kejiwaan adalah tiga sampai lima kali lebih tinggi daripada mereka yang tidak memiliki penyakit jiwa.
Orang yang tidak bekerja akan kehilangan kesempatan mendapatkan penghasilan atau uang dan keuntungan nonfinansial lain. Kehilangan itu kemudian akan berpengaruh terhadap anggota rumah tangga. Dampaknya, pasangan dari pengangguran harus menghadapi penurunan pemasukan rumah tangga, pasangan yang depresi, dan juga menurunnya status sosial. Bagi pasangan, konsekuensi kehilangan pekerjaan ini dapat menyebabkan gejala depresi dan isu kesehatan jiwa lainnya.
Khusus bagi kaum laki laki, penyebab terbesar munculnya gangguan jiwa antara lain diakibatkan oleh pemutusan hubungan kerja (PHK), pendapatan yang tidak menentu, kebutuhan dan belanja yang tak seimbang dengan pemasukan, dan jeratan utang. Kaum laki laki yang bertanggung jawab mencari nafkah keluarga harus menanggung beban psikologis yang tak menentu.
Tidak hanya mereka yang menganggur, persoalan kesehatan jiwa juga banyak dijumpai dalam lingkup industri dan perusahaan akibat tekanan pekerjaan. Pasalnya, tekanan di tempat kerja memberikan stimulasi pada tubuh dan seringnya memicu stres ringan hingga berat. Tingginya tekanan pekerjaan seseorang hingga menumpuk bisa meningkatkan jumlah penderita stres.
Stres pekerjaan juga bisa menimbulkan kecelakaan kerja, terutama pada pekerja dengan tuntutan beban kerja tinggi, perhatian kurang, bekerja gilir pada hari pertama dan akhir minggu serta penyalahgunaan zat adiktif. Berdasarkan data, sebanyak 90 persen kecelakaan kerja disebabkan tindakan kurang berhati-hati dan 4 persen karena kondisi tidak aman. Dari tindakan kurang berhati-hati, 80 persen adalah akibat kondisi kesehatan jiwa yang kurang optimal saat terjadi kecelakaan.
Masalah lain adalah lesu kerja, yaitu karyawan kehabisan motivasi untuk melakukan kinerja yang tinggi. Bisa jadi kelesuan dalam bekerja itu akibat kekecewaan terhadap pekerjaan dan kondisi kerja.
Beragam persoalan gangguan jiwa yang umumnya menimpa usia produktif ini perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak agar bonus demografi nantinya bisa memberikan manfaat besar bagi ekonomi dan tidak membebani masyarakat.
Pembangunan perlu mengedepankan kesejahteraan jiwa, tidak hanya mengejar keberhasilan fisik dan material semata. Kuncinya adalah dengan cara memiliki sistem pendukung yang kuat dan memberikan perawatan yang tepat bagi penderita gangguan jiwa sehingga bisa kembali pulih dan produktif. (LITBANG KOMPAS)