Sinergi Bersama Masyarakat Papua
Lima puluh tahun sudah Provinsi Papua dan Papua Barat bergabung di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sebagai anak bungsu dalam sejarah NKRI, Papua acap kali dianggap sebagai daerah barisan belakang, dari aspek perekonomian dan kesejahteraan. Namun, di masa yang kian modern seperti saat ini, Papua tidak lagi seperti dahulu. Wilayah Papua yang mencakup Provinsi Papua Barat dan Papua, tumbuh stabil dan relatif tinggi.
Lima puluh tahun sudah Provinsi Papua dan Papua Barat bergabung di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Lewat pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera, Provinsi yang dahulu kala bernama Irian Jaya Barat resmi bergabung dengan Indonesia pada Juli 1969. Hasil Pepera ini telah disahkan oleh Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi No. 2.509 dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden RI No 7/1971.
Keputusan Presiden tersebut berisi tentang Pernyataan Digunakannya Ketentuan-Ketentuan Dalam Undang-undang No 3/1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Negara RI Untuk Menetapkan Kewarganegaraan RI bagi Penduduk Irian Barat.
Pada masa lalu, Papua memang memiliki sejumlah kendala dalam mengejar ketertinggalannya dengan daerah lain di Indonesia. Wilayah Papua terbilang sangat luas. Suku-suku yang ada sangat banyak, dengan kultur berhuma yang berpindah-pindah tempat sehingga masyarakatnya tinggal secara nomaden.
Kontur alamnya jauh dari kata bersahabat karena terdiri dari rawa, sungai, daratan, dan gunung yang tertutup oleh hutan alami sehingga sulit diakses dari luar. Sarana dan prasarana transportasi antardaerah juga sangat terbatas. Sejumlah kendala ini membuat Papua menjadi sedikit ”terlambat” di beberapa hal.
Lambat-laun Papua terus tumbuh dan bangkit tak kalah dengan daerah lainnya di Indonesia. Sejak orde baru hingga pascareformasi sekarang ini, para pemimpin pemerintahan Indonesia silih berganti melanjutkan estafet pembangunan bagi Papua. Berbagai kebijakan digulirkan untuk mengakselerasi Papua agar mampu bersaing dengan daerah lain di Indonesia.
Pertumbuhan Tinggi
Kini, sejumlah parameter ekonomi menunjukkan perbaikan signifikan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Pada 2014-2018, produk domestik regional bruto (PDRB) kedua provinsi itu rata-rata mencapai kisaran Rp 195 triliun per tahun atau sekitar 2 persen dari seluruh PDB nasional. Angka ini relatif besar karena berada pada peringkat 20 besar dari 34 provinsi yang ada di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi kedua provinsi di Papua itu rata-rata juga berada di atas pertumbuhan nasional.
Akselerasi ekonomi di Papua rata-rata lebih cepat daripada kemajuan ekonomi daerah lainnya. Papua sedang mengatasi ketertinggalannya. Jika perekonomian Indonesia pada 2014-2018 rata-rata naik sekitar 5,18 persen, ekonomi di Pulau Papua naik hampir 6 persen setahun.
Pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi di Papua itu diikuti juga dengan perbaikan kualitas pertumbuhannya. Satu indikasinya terlihat dari indeks gini yang kian mengecil. Pada 2017, koefisien gini di Papua Barat masih sebesar 0,44 tetapi pada 2018 sudah mengecil menjadi 0,39.
Hal ini juga terjadi di Provinsi Papua, yang indeks gininya juga mengecil menjadi 0,39 pada tahun 2018. Padahal, pada tahun 2014, koefisisen gini di wilayah ini masih bertengger di besaran 0,41. Penyusutan indeks ini menandakan terjadi pemerataan pendapatan antarpenduduk di wilayah Papua secara umum. Kesenjangan antara penduduk yang kaya dengan yang miskin kian menyempit.
Membaiknya kualitas pendapatan tersebut tak lepas juga dari pertumbuhan jumlah penduduk yang bekerja sehingga meningkatkan daya beli masyarakat. Angka pengangguran kian mengecil dan kemiskinan semakin menyusut.
Pada 2014, pengangguran di Papua Barat masih sebesar 7,68 persen, tetapi pada 2018 susut menjadi 6,49 persen. Hal demikian juga terjadi di Provinsi Papua, di mana pengangguran berkurang menjadi 3,62 persen pada 2017 dari sebelumnya sebesar 4,08 persen pada 2014.
Dengan bekerja, penduduk di suatu wilayah seharusnya memiliki kekuatan finansial yang dapat dibelanjakan guna memenuhi kebutuhan hidup layak dan lambat-laun mengikis kemiskinan. Kondisi ideal semacam itu dialami Papua Barat. Meningkatnya jumlah penduduk bekerja, mengurangi persentase kemiskinan penduduk dari 26,26 persen pada 2014 menjadi 23,01 persen di tahun 2018.
Namun, kondisi tersebut belum terjadi di Provinsi Papua. Berkurangnya angka pengangguran belum menunjukkan tanda signifikan mengurangi angka kemiskinan penduduk Provinsi Papua. Pada 2014 dan 2017 ataupun 2018, persentase kemiskinan penduduk provinsi ini tetap di kisaran 27 persen. Penyusutannya sangat kecil, yakni pada kisaran 0,01 persen.
Provinsi seperti Papua Barat, Papua, Kalimantan Utara, dan Bengkulu menunjukkan pertumbuhan sektor perdagangan daring lebih besar dibandingkan dengan Jakarta, yang tumbuh dua kali lebih tinggi daripada rata-rata nasional.
Kemunculan pendatang
Sebagai daerah yang tumbuh tinggi, Provinsi Papua dan Papua Barat tentu saja membutuhkan pengadaan kegiatan penunjang untuk mengakselerasi berbagai kemajuan. Provinsi Papua dan Papua Barat membutuhkan sejumlah bangunan prasarana dan infrastruktur perkotaan, pegawai di institusi pemerintah atau swasta, serta ketersediaan pasokan berbagai komoditas dan jasa-jasa pendukung lainnya.
Hal demikian tentu saja membuka celah kesempatan bagi masyarakat dari luar Pulau Papua untuk menangkap peluang ekonomi ini. Akibatnya, gelombang arus migrasi pun pelan-pelan memasuki Papua. Ada masyarakat yang merantau ke Papua dengan ikut program transmigrasi serta penempatan pegawai pemerintah ataupun swasta.
Ada yang berangkat ke Papua dengan modal sendiri hanya dengan berbekal informasi dari teman atau keluarga. Ada pula yang datang untuk sementara waktu hanya untuk berdagang menjual barang-barang dari luar Papua. Serta banyak lagi alasan lainnya yang menyebabkan penduduk dari Luar Papua merantau dan bahkan menetap di Papua. Fenomena ini berlangsung dalam tempo lama sejak era Orde Baru hingga saat ini.
Pelan tapi pasti, Papua tumbuh menjadi daerah yang kian maju. Di sejumlah pusat perekonomian, seperti di ibu kota provinsi, sudah terdapat pasar-pasar modern, layaknya kota-kota besar di Indonesia lainnya. Kantor-kantor pemerintahan, perhotelan, serta perniagaan barang dan jasa juga tampak semarak di sejumlah daerah di Papua. Kegiatan pendidikan juga kian ditingkatkan kualitasnya dengan menyediakan sarana pendudukung hingga jenjang tinggi di level universitas di beberapa daerah.
Sayangnya, segala kemajuan tersebut belum semuanya tersebar merata di seluruh Papua. Dari 13 kabupaten/kota di Papua Barat dan 30 kabupaten/kota di Papua, hanya sebagian daerah yang kondisinya bisa dikatakan maju.
Sebut saja Sorong dan Manokwari di Papua Barat serta Jayapura, Mimika, Merauke, Nabire, dan Keerom di wilayah Papua. Daerah-daerah ini kondisinya relatif maju dan mapan sebagai sebuah daerah administratif. Segala fasilitas pendukung kota relatif lengkap tersedia sehingga bila berkunjung ke daerah tersebut rasanya tidak jauh berbeda dengan kota-kota lain di Indonesia. Daerah-daerah yang maju ini biasanya ramai dan banyak sekali warga pendatangnya.
Kondisi tersebut akan bertolak belakang apabila berkunjung ke daerah lain di Papua yang agak pelosok lokasinya. Nuansa yang akan terasa pertama kali adalah daerah yang masih alami, sejuk, dan relatif hening karena minim lalu-lalang kendaraan. Daerah tersebut umumnya relatif sangat sepi dan sedikit dihuni oleh warga migran dari luar daerah.
Berdasarkan profil migran hasil Sensus Ekonomi Nasional tahun 2017 dari Badan Pusat Statistik, warga pendatang dari luar Papua sudah banyak yang menetap dan beranak-pinak di pulau tersebut. Jumlah migran masuk seumur hidup di Pulau Papua hingga tahun 2017 mencapai kisaran 19 persen dari total penduduk Papua.
Bila dipilah-pilah, jumlah migran masuk di Papua Barat sebanyak 267.000 orang atau sekitar 29 persen dan Provinsi Papua yang sebanyak 532.000 orang atau sekitar 16 persen. Semua warga migran ini sudah menetap dan beridentitas warga Papua, meski tanah kelahirannya berasal dari sejumlah daerah di luar Papua.
Bila ditelisik dari daerah asalnya, para penduduk migran seumur hidup itu beraneka rupa. Di wilayah Papua Barat dan Papua, ada lima daerah utama asal penduduk migran ini, yakni Sulawesi Selatan, Maluku, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara.
Penduduk migran yang paling banyak adalah dari Sulawesi Selatan. Populasi penduduk migran dari Sulawesi Selatan hampir seperlima dari total warga pendatang di Papua Barat dan sekitar 27 persen di Provinsi Papua.
Persebaran Pendatang
Dari semua kabupaten/kota di wilayah Papua Barat dan Papua, hampir semuanya dihuni oleh warga pendatang dari luar daerah. Para penduduk migran ini berserak dan tersebar tidak merata di seluruh penjuru Papua. Hanya beberapa daerah yang jumlah penduduk migrannya sangat banyak dan bahkan, mendominasi. Jumlah penduduk asli di daerah ini relatif sedikit dan kalah banyak dengan jumlah warga pendatang.
Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, setidaknya ada tujuh daerah yang mencatat angka penduduk migran yang masuk lebih dominan. Daerah tersebut adalah Kabupaten Sorong dengan jumlah pendatang sekitar 62 persen, Kota Sorong 67 persen, Merauke 61 persen, Nabire 52 persen, Mimika 58 persen, Keerom 59 persen, dan Kota Jayapura 64 persen. Daerah-daerah ini merupakan daerah perkotaan yang ramai dan berkembang pesat layaknya kota-kota lain di Indonesia.
Kondisi tersebut menyiratkan secara tidak langsung bahwa hadirnya para pendatang dari luar turut mendorong kemajuan ekonomi di daerah tersebut. Dilihat secara makro, daerah ini memberikan andil PDRB yang relatif besar bagi perekonomian regional Papua.
Di Papua Barat, ada empat daerah yang memiliki kontribusi besar bagi perekonomian daerah (provinsi). Daerah tersebut adalah Kota Sorong dengan kontribusi bagi PDRB Papua Barat rata-rata sekitar 18 persen per tahun, Kabupaten Sorong sekitar 14 persen, Manokwari 11 persen, dan Teluk Bintuni sekitar 37 persen setahun.
Pada Sensus Penduduk 2010, jumlah warga pendatang di Manokwari dan Teluk Bintuni belum mendominasi. Namun, bukan tidak mungkin kondisinya akan berubah pada sensus penduduk mendatang karena pada sensus 2010, jumlah migran masuk seumur hidup di kedua daerah ini sudah masing-masing berkisar 47 persen dari total jumlah penduduk daerah itu. Apalagi, Manokwari dan Teluk Bintuni merupakan daerah yan memiliki daya tarik kuat secara perekonomian.
Manokwari merupakan daerah ibukota Provinsi Papua Barat yang akan terus berkembang dan tumbuh, sedangkan Teluk Bintuni merupakan salah satu daerah dengan kekayaan mineral berupa gas alam yang sangat berlimpah di Indonesia. Daerah pertambangan ini akan menarik datangnya arus migran dari luar seiring dengan majunya industrialisasi energi dan kemajuan kota.
Untuk Provinsi Papua, ada lima daerah yang didominasi oleh para pendatang. Daerah tersebut adalah Kota Jayapura, Mimika, Merauke, Keeerom, dan Nabire. Dari kelima daerah ini, hanya tiga daerah yang kehadiran para pendatangnya turut mengakselerasi kemajuan daerahnya. Ketiganya adalah Kota Jayapura, Merauke, dan Mimika.
Kontribusi perekonomian daerah itu bagi PDRB provinsi bervariasi, yakni Merauke sekitar 10 persen, Kota Jayapura 22 persen, dan Mimika hingga kisaran 38 persen. Tingginya kontribusi Mimika bagi Papua salah satunya karena keberadaan PT Freeport Indonesia yang beroperasi di Tembagapura, Mimika.
Untuk wilayah Nabire dan Keerom, keberadaan warga pendatang belum banyak mengakselerasi kemajuan daerahnya. Kedua daerah ini kontribusi perekonomian daerahnya bagi provinsi masih relatif kecil, yakni Nabire sekitar 6 persen per tahun dan Keerom jauh lebih kecil lagi, yakni kurang dari 2 persen.
Sinergi para pendatang
Bila menelisik data secara umum, memang hampir semua daerah yang memiliki kemajuan ekonomi yang relatif besar di Papua memiliki komposisi penduduk pendatang lebih banyak ketimbang penduduk yang tercatat sebagai warga asli. Sayangnya, tidak semua daerah yang jumlah pendatangnya dominan, memiliki koefisien gini yang juga cenderung mengecil. Akibatnya, gap pendapatan antarpenduduk. Kabupaten Sorong, Nabire, dan Keerom masing-masing memiliki kencenderungan indeks gini yang terus membesar.
Kondisi ini dapat juga menjadi salah satu indikasi, kemajuan perekonomian semakin banyak menguntungkan kaum pemodal yang umumnya dimiliki oleh kaum pendatang. Hal ini perlu diantisipasi dengan terus mengembangkan lini usaha yang bersifat padat karya sehingga menyediakan lapangan tenaga kerja bagi penduduk berbagai suku di Papua.
Dengan mengedepankan sinergi antara warga asli Papua dan pendatang bukan tidak mungkin Papua akan kian maju dan meningkat kualitas hidup masyarakatnya secara umum. Dengan turut serta melibatkan warga asli dalam segenap lini proses produksi baik secara formal ataupun informal, maka lambat laun Papua akan bangkit.
Koefisien gini akan mengecil, angka pengguran dan kemiskinan menurun serta kualitas hidup masyarakat terus meningkat seiring bertambahnya daya beli masyarakat. Pada gilirannya, masyarakat di seluruh Papua mencapai mutu kehidupan yang setara dengan penduduk wilayah lain di Indonesia. Papua adalah bagian dari NKRI yang akan terus selamanya menyatu dengan Indonesia. (Litbang Kompas)