Ancaman Kepunahan Bahasa Ibu (2)
Di balik banyaknya bahasa daerah yang terancam punah, asa untuk menjaga eksistensi bahasa ibu masih terus terbuka. Meski demikian, diperlukan strategi khusus agar Indonesia tetap dapat mewarisi bahasa daerah hingga lintas generasi.
Harapan terhadap vitalitas atau daya tahan bahasa ibu (mother tongue) ini terekam dalam jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada 19-20 Juni lalu. Lebih dari separuh responden (51,02 persen) masih menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari. Bahasa daerah digunakan mulai dari lingkup keluarga, tetangga, hingga semua kalangan.
Bahasa daerah juga masih menjadi pilihan yang digunakan responden dari lintas generasi. Pada generasi milenial muda berusia 17-30 tahun, misalnya, lebih dari separuh responden (51,92 persen) dari generasi ini menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari.
Bahasa daerah juga masih digunakan generasi milenial matang usia 31-40 tahun (47,46 persen), generasi X usia 41-52 tahun (53,63 persen), dan baby boomers yang berusia di atas 53 tahun (50 persen).
Menilik berdasarkan jenjang pendidikan, bahasa daerah juga masih menjadi pilihan bagi masyarakat dari semua latar belakang pendidikan. Namun, semakin tinggi pendidikan yang ditempuh, semakin kecil minat masyarakat untuk menggunakan bahasa daerah.
Sekitar enam dari 10 responden lulusan jenjang pendidikan dasar masih menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari. Angka ini berkurang menjadi hanya empat dari 10 responden di kalangan pendidikan tinggi.
Pekerjaan juga turut menentukan penggunaan bahasa dalam percakapan sehari-hari. Jajak pendapat Litbang Kompas menunjukkan, persentase pekerja pada sektor informal yang menggunakan bahasa daerah jauh lebih besar dibandingkan dengan para pekerja pada sektor formal.
Buruh, misalnya, hampir dua pertiga (65 persen) responden yang bekerja sebagai buruh menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari. Kondisi ini berbeda dengan responden yang bekerja sebagai aparatur sipil negara dan pegawai BUMN. Dalam percakapan sehari-hari, hanya empat dari 10 responden pada sektor ini yang menggunakan bahasa daerah.
Lingkungan sosial
Lingkungan sosial menjadi alasan utama bagi publik untuk menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari. Hampir separuh responden (48,48 persen) beralasan lebih memilih menggunakan bahasa daerah karena banyak digunakan oleh masyarakat di lingkungan sekitar.
Selain itu, kesadaran pada warisan bahasa juga turut mendorong publik untuk tetap menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari. Sebesar 24,89 persen responden masih berbahasa daerah karena telah dipakai secara turun temurun. Sementara 23,16 persen responden lainnya memakai bahasa daerah didorong keinginan melestarikan bahasa daerah setempat.
Di tengah punahnya 11 bahasa daerah di Indonesia, bahasa ibu masih digunakan dalam lingkungan keluarga dan tetangga.
Lebih dari sepertiga responden (35,81 persen) menyatakan bahwa hingga kini masih menggunakan bahasa daerah dalam lingkungan keluarga dan tetangga. Jika ditambahkan yang khusus berbahasa daerah dengan keluarga saja (21,71 persen) dan tetangga saja (4,08 persen), jumlahnya menjadi 61,6 persen.
Selain itu, hampir seperempat responden lainnya juga mengaku memakai bahasa daerah dengan siapa pun di luar keluarga dan tetangga. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa daerah masih memiliki potensi besar untuk digunakan dalam percakapan sehari-hari bagi masyarakat baik di lingkungan dekatnya maupun di luar itu.
Strategi khusus
Meski demikian, harapan terhadap eksistensi bahasa daerah ini juga dibayangi ancaman lunturnya penggunaan bahasa daerah. Sebab, hampir separuh responden (48,61 persen) tidak menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari. Artinya, terdapat potensi berkurangnya penutur jati dari bahasa daerah.
Faktor pengalaman berbahasa menjadi alasan utama publik untuk tidak menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa sehari-hari.
Sebanyak enam dari 10 responden beralasan karena tidak pernah menggunakannya sejak kecil. Kondisi ini menegaskan dibutuhkan strategi khusus agar masyarakat dapat mengenal dan kemudian menggunakan bahasa daerah sejak dini sehingga bahasa tersebut tak kehilangan penutur jatinya.
Penutur merupakan kunci dari eksistensi bahasa daerah. Untuk menjaga bahasa daerah tetap eksis, dibutuhkan regenerasi penutur pada setiap wilayah. Regenerasi ini salah satunya dapat dilakukan dalam lingkup pendidikan.
Berdasarkan rekomendasi dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), pendidikan menjadi salah satu sarana mewariskan bahasa ibu atau bahasa daerah kepada generasi penerus.
Terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk memperkenalkan peserta didik dengan bahasa daerah. Beberapa upaya di antaranya yang dapat dilakukan adalah melalui perkenalan diri, bercerita, membaca puisi, hingga bernyanyi menggunakan bahasa daerah setempat.
Dalam lingkup pendidikan, upaya regenerasi penutur sebenarnya telah dilakukan di Indonesia. Bahkan, dalam Kurikulum 2013, bahasa daerah tetap menjadi mata pelajaran yang diajarkan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Beberapa bahasa yang diajarkan pada daerah penutur masing-masing antara lain bahasa Sunda, bahasa Bali, dan bahasa Jawa. Hanya saja, bahasa daerah belum sepenuhnya menjadi bahasa pengantar dalam ranah pendidikan. Hal ini perlu dipertimbangkan untuk menjadi strategi khusus dalam rangka menjaga daya tahan bahasa ibu di berbagai daerah.
Program studi
Pada tingkat perguruan tinggi, pelestarian bahasa daerah juga dapat dilakukan dengan dibukanya program studi bahasa daerah. Beberapa sastra daerah yang kini telah dipelajari di tingkat universitas antara lain Sastra Jawa di Universitas Indonesia, Sastra Sunda di Universitas Padjadjaran, dan Sastra Minangkabau di Universitas Andalas. Upaya ini juga perlu diikuti oleh universitas pada setiap daerah agar bahasa daerah tetap dapat lestari.
Upaya pelestarian bahasa daerah di ranah pendidikan harus diikuti oleh penyediaan sarana seperti kamus bahasa daerah.
Menurut catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hingga tahun 2018 lalu terdapat 132 kamus bahasa daerah. Terdapat tambahan enam kamus bahasa daerah yang telah diterbitkan pada tahun 2018 lalu.
Jumlah kamus bahasa daerah ini masih tergolong minim dibandingkan dengan bahasa daerah yang dimiliki Indonesia. Pasalnya, menurut catatan Kemendikbud, pada tahun 2018 lalu terdapat 750 bahasa daerah yang telah terverifikasi menurut sosiolinguistik.
Selain ranah pendidikan, berita berbahasa daerah juga dapat menjadi opsi untuk melestarikan bahasa. Salah satu media yang menggunakan bahasa daerah adalah majalah Mangle yang menggunakan bahasa Sunda. Selain majalah, berita berbahasa Sunda ini juga dapat diakses secara daring.
Media lain yang masih menggunakan bahasa daerah adalah majalah Panjebar Semangat. Majalah mingguan ini tetap eksis terbit dengan menggunakan bahasa Jawa. Kini, majalah tersebut juga bertransformasi sehingga dapat diakses secara daring.
Upaya melestarikan bahasa daerah juga muncul dari televisi lokal. Sejumlah televisi di daerah pun kini memiliki program berbahasa daerah, baik berupa berita daerah maupun program-program budaya berbahasa daerah. Hal ini dilakukan oleh beberapa televisi lokal, seperti JTV di Jawa Timur dan Padang TV di Sumatera Barat.
Upaya-upaya tersebut perlu dijadikan pedoman khusus agar Indonesia tidak kehilangan bahasa daerah. Pasalnya, bahasa adalah warisan budaya tak benda (intangible cultural heritage) yang harus dilestarikan oleh dan kepada lintas generasi.
(LITBANG KOMPAS)