Manchester City: Ancaman Eksistensi di Tengah Banjir Prestasi
Apalah arti menjadi sebuah klub sepak bola apabila dilarang berpartisipasi dalam pertandingan? Bukankah klub sepak bola menemukan eksistensinya sebagai klub sepak bola dalam suatu pertandingan?

Kapten Manchester City, Vincent Kompany, mengangkat trofi kemenangan setelah mengalahkan Watford dengan skor 6-0 pada final Piala FA di Stadion Wembley, London, Inggris, Sabtu (18/5/2019). Dengan perolehan piala ini, mereka telah mencatatkan rekor sebagai tim Inggris pertama yang mampu meraih semua gelar domestik.
Apalah arti menjadi sebuah klub sepak bola apabila dilarang berpartisipasi dalam pertandingan? Bukankah klub sepak bola menemukan eksistensinya sebagai klub sepak bola dalam suatu pertandingan?
Demikianlah kekhawatiran Manchester City menyusul ancaman sanksi larangan bertanding di kompetisi Liga Champions oleh UEFA. Dua hari sebelum berhasil menyandang treble winner dalam kompetisi domestik 2018/19, Manchester City terancam tak bisa berpartisipasi dalam Liga Champions dalam musim kompetisi 2020/2021 karena kasus pelanggaran aturan Financial Fair Play (FFP).
Manchester City menutup musim kompetisi 2018/2019 dengan mengoleksi empat gelar domestik, yakni Community Shield, Piala Carabao, juara Liga Premier, dan Piala FA. Tiga gelar terakhir merupakan hasil kompetisi sehingga City menyandang treble winner dalam kompetisi domestik.
Inilah pencapaian terbaik dalam satu musim yang pernah diraih Manchester City. Bahkan, menurut penelusuran Forbes, pencapaian tiga gelar di kompetisi domestik yang diraih City dalam satu musim merupakan treble domestik pertama sejak semua klub wajib mengikuti Piala Liga pada 1971.
Akan tetapi, kesuksesan Manchester City dibarengi dengan isu miring pelanggaran kasus FFP. Siapa yang paling bertanggung jawab untuk meredam ancaman sanksi larangan bertanding bagi City?

Miliuner Abu Dhabi
Kesuksesan Manchester City saat ini tak dapat dilepaskan dari peran pemiliknya, miliuner keluarga penguasa Abu Dhabi, Sheikh Mansour bin Zayed al-Nahyan. Pada bulan September 2008, Sheikh Mansour mengambil alih kepemilikan Manchester City dari Thaksin Shinawatra dengan harga 210 juta poundsterling. Saat itu, City berada di posisi kesembilan di Liga Premier dan belum pernah mengangkat Piala Liga Premier semenjak 16 musim kompetisi bergulir.
Di bawah kepemilikan Sheikh Mansour, City mulai berani mendatangkan pemain-pemain dengan nilai transfer yang tinggi. Akibatnya, performa City mulai terkerek, bahkan menjadi kampiun Liga Premier empat kali dalam kurun waktu 11 tahun terakhir.
Sebelum dikelola oleh Abu Dhabi Group pada 2018, nilai belanja City selalu berada di bawah 50 juta euro dalam tiap musim. Dengan pemilik yang baru, nilai tersebut perlahan naik hingga pernah mencapai nilai belanja 317,5 juta euro dalam satu musim kompetisi, yakni 2017/2018.
Di Liga Premier, banyak klub lain yang membelanjakan banyak uang untuk membeli pemain, tetapi tak sesukses Manchester City.
Beberapa pemain kunci sengaja diboyong ke City walaupun harus dibayar mahal. Pembelian pemain pertama yang cukup fenomenal terjadi saat memboyong Robinho dari Real Madrid pada 2008. City bersaing ketat dengan Chelsea yang juga berminat terhadap pemain asal Brasil tersebut.
Dengan nilai transfer 43 juta euro, City berhasil memenangi persaingan pembelian dengan Chelsea. Di tahun berikutnya, City mendatangkan Carloz Tevez dari Manchester United dengan harga 29 juta euro.
Pembelian dengan nilai tinggi kemudian mulai menjadi kebiasaan bagi Manchester City. Pada 2010 dihadirkan beberapa pemain, seperti Edin Dzeko, David Silva, Yaya Touese, dan Mario Balotelli, dengan total nilai belanja 183,6 juta euro.
Pada 2011, City membeli Sergio Aguero dari Atletico Madrid dengan biaya 40 juta euro dari total pembelian pemain sebesar 91 juta euro pada tahun tersebut. Aguero langsung membawa City menjuarai Liga Premier musim 2011/2012.
Pada 2015, City memecahkan rekor transfer dengan membeli Kevin de Bryune dari Wolfsburg senilai 76 juta euro. Di tahun itu juga, City menarik Raheem Sterling dari Liverpool dengan nilai transfer 63,7 juta euro.
Pada tahun 2016, City mendatangkan pemain seperti Ilkay Dundogan, Leroy Sane, dan John Stones. Selanjutnya, City masih royal membelanjakan uangnya untuk menambah kekuatan pemain. Pada 2017, City membeli beberapa pemain, antara lain Kyle Walker, Benjamin Mendy, Ederson, Danilo, dan Bernardo Silva, dengan total nilai transfer fantastis, 317,5 juta euro.
Pada 2018, City mengerem pembelian pemain dengan hanya mengeluarkan 77 juta euro. Akan tetapi, di dalamnya, City juga membeli pemain dengan harga tertinggi yang pernah dibeli, yakni Riyad Mahrez dari Leicester dengan harga 67,8 juta euro.

Pelatih top
Tak hanya berani membayar mahal untuk pemain berkualitas, City juga tak segan mengganti pelatih yang diharapkan dapat mengangkat performa tim.
Pada Desember 2009, Manchester City mengganti pelatihnya, Mark Hughes, dengan Roberto Mancini dari Italia. Mancini sempat membawa City meraih piala Liga Premier musim 2010/11 dan memenangi Community Shield 2012.
Gelar juara Liga Premier ini adalah gelar pertama sejak kompetisi diubah menjadi Liga Premier pada 1992. Mancini bertahan selama tiga tahun di City hingga diganti pada Mei 2013 karena dianggap gagal mempertahankan posisi juara Liga Premier. Posisinya sempat diganti sebentar oleh Brian Kidd sebelum diganti oleh Manuel Pellegrini dari Chile pada Juni 2013.
Pellegrini membawa City memenangi piala Liga dan Liga Premier pada musim 2013/2014. Selain itu, ia juga sempat mengantar City mengangkat piala Liga pada musim 2015/2016. Pada Juli 2016, Pellegrini diganti oleh Josep ”Pep” Guardiola.
Bersama Guardiola, City menemukan bentuk terbaiknya sebagai tim. Di awal musim kepelatihannya di City, Guardiola membawa City finis di posisi ketiga Liga Premier. Selanjutnya, berbagai gelar domestik menjadi langganan City bersama Guardiola. Dengan para pemain bintang yang didatangkan serta pelatih top dunia, sebagai tim, Manchester City semakin diperhitungkan oleh klub-klub di Eropa.

Klub kelas dunia
Perubahan kepemilikan yang berani membeli pemain-pemain mahal langsung berpengaruh terhadap performa City. Sebelum musim 2009/2010, total poin City di akhir kompetisi selalu berada di bawah rata-rata poin semua klub peserta Liga Premier.
Setelah dibeli oleh Sheiks Mansour, posisi City perlahan naik, bahkan berhasil memecahkan rekor poin tertinggi sepanjang gelaran Liga Premier, 100 poin, pada musim 2017/2018.
Selain perbaikan poin yang meningkat pesat, City juga semakin rajin mengoleksi gelar. Gelar pertama setelah 2008 adalah juara Liga Premier pada musim 2011/2012.
City kembali meraih posisi puncak Liga Premier pada musim 2013/1014 sekaligus menjadi juara Piala Liga. Posisi sebagai juara Piala Liga kembali diraih pada musim 2015/2016 setelah mengalahkan Liverpool.
Setelah dipegang oleh Guardiola, performa City semakin meningkat. Peningkatan paling mencengangkan terjadi pada musim 2017/2018. Saat itu, City berhasil mempertahankan piala Liga sekaligus berhasil menjuarai Liga Premier dengan berbagai rekor.
Rekor pertama adalah pencapaian poin 100 yang merupakan poin tertinggi sepanjang kompetisi Liga Premier. Poin tersebut diperoleh dengan membukukan 32 kemenangan dalam satu musim.
Di antara 32 kemenangan tersebut terdapat 18 kemenangan berturut-turut yang juga merupakan rekor tertinggi di Liga Premier. Rekor lain yang dicapai adalah jumlah gol terbanyak dalam satu musim, yakni 106 gol.
Pencapaian hebat lain terjadi pada musim 2018/2019 saat City berhasil mengoleksi empat gelar, tiga dari kompetisi sehingga meraih treble domestik.
Dimulai pada awal kompetisi, Agustus 2018, Manchester City memenangi pertandingan Community Shield 2018 yang mempertemukan pemenang Liga Premier dan juara Piala FA.
Berstatus sebagai pemenang Liga Premier 2017/2018, Manchester City mengalahkan Chelsea sebagai pemenang Piala FA 2017/2018 dengan skor 2-0 di stadion kebanggaan Inggris, Wembley.
Kepercayaan diri City bertambah ketika pada Februari 2019 menjuarai Piala Carabao 2019. City kembali bertemu dengan Chelsea di babak final dan berhasil menang dengan skor 2-0.
City memastikan gelar ketiga, Liga Premier 2018/2019, setelah mengalahkan Brighton and Hove Albion pada 12 Mei 2019 dengan skor 4-1. Kemenangan tersebut menjadikan City sebagai pengumpul poin tertinggi, 98, atau satu poin di atas Liverpool yang mengumpulkan 97 poin.
Selisih satu poin ini menggambarkan sengitnya persaingan Liga Premier musim 2018/2019. Salipan poin di akhir musim ini sangat berarti, mengingat selama kompetisi masih berjalan, Liverpool sering menjadi pemimpin poin pertandingan. Oleh karena itu, menurut Guardiola, yang dikutip The Times, Liga Premier musim ini merupakan pencapaian paling berat sepanjang kariernya sebagai pelatih.
City melengkapi gelarnya dengan menjuarai Piala FA pada 18 Mei 2019. City mengalahkan Watford di babak final dengan skor 6-0. Dengan empat gelar tersebut, Manchester City semakin mantap menapaki berbagai kompetisi untuk musim berikutnya.

Beda cara pandang
Ketika melihat performa Manchester City sejak dipegang oleh Guardiola, dapat dilihat bahwa City sedang menjadi penguasa sepak bola di Inggris Raya. Akan tetapi, City belum menunjukkan prestasi di kompetisi regional ataupun dunia.
Belum ada piala Eropa yang berhasil dimenangi City di bawah Guardiola. Padahal, di dua klub sebelumnya, Guardiola selalu membawa anak asuhnya tidak hanya merajai kompetisi dalam negeri, tetapi juga berhasil menjuarai kompetisi regional, bahkan kompetisi antarklub dunia.
Guardiola juga dikritik karena besarnya biaya yang telah dikeluarkan untuk membeli pemain. Selama melatih City dengan delapan gelar, Guardiola membeli banyak pemain dengan total biaya sangat besar, 608 juta euro. Apabila nilai tersebut dikonversi menjadi gelar, berarti tiap gelar yang diraih Manchester City berharga 100 juta euro.
Dibandingkan dengan Real Madrid yang langganan juara Liga Champions, biaya tersebut sangat mahal. Dengan harga yang hanya sepertiga dari budget Manchester City di tiga musim bersama Guardiola, Real Madrid berhasil memboyong delapan gelar dengan biaya pembelian pemain hanya 233,2 juta euro. Artinya, tiap gelar berharga 29 juta euro, bahkan di dalamnya sudah termasuk dua gelar Liga Champions.
Menurut Guardiola, untuk mencapai level tertentu memang dibutuhkan waktu dan uang. Selama ini, City telah menginvestasikan uangnya sehingga prestasi City semakin setara dengan tim papan atas Eropa. Akan tetapi, pengeluaran besar untuk pemain ternyata bukan jaminan untuk segera memboyong gelar di berbagai kompetisi. Bagi Guardiola, masih ada satu variabel lain yang menentukan: waktu.
Bagi mereka yang bermain dan menikmati sepak bola di lapangan hijau, faktor waktu adalah penentu, entah waktu dalam pertandingan maupun waktu dalam menggilai sebuah klub sepak bola bagi fan fanatik. Faktor waktu inilah yang membedakan cara pandang investor dengan fan terhadap sebuah klub sepak bola.
Bagi para pemain, pertarungan sesungguhnya tampak dalam kerja keras dan kesungguhan sejak latihan hingga bertanding. Guardiola membela para pemain terhadap kritikan sebagai tim yang hanya bergantung pada kekuatan uang. Guardiola menuturkan, prestasi yang diraih City selama ini merupakan hasil kerja keras seluruh tim dan ofisial.
Di Liga Premier, banyak klub lain yang juga memiliki uang banyak dan membelanjakan banyak uang untuk membeli pemain, tetapi tak sesukses Manchester City. Dengan kata lain, selain uang untuk membeli pemain, diperlukan juga kerja keras semua pemain dan strategi pelatih dalam pertandingan.
Faktor waktu yang dimaksud oleh Guardiola dapat diterjemahkan dengan proses yang diperlukan agar sebuah tim dapat solid sebagai tim sepak bola, bukan semata menanti hasil kerja satu pemain mahal yang baru didatangkan. Oleh karena itu, seperti dikutip oleh Metrosport, Guardiola menyatakan, ”Mempertahankan gelar sangat sulit, tetapi kemenangan di Liga Premier membuat City ketagihan dan menginginkan lebih banyak kemenangan.”

Dukungan penggemar
Inilah waktunya. Sekarang City telah menjadi tim yang kecanduan kemenangan dan haus akan gelar. Bukan hanya di kompetisi domestik, melainkan juga dalam kompetisi tingkat Eropa.
Bagi para fan, waktu dimaknai lebih daripada pelatih, pemain, bahkan pemilik sebuah klub sepak bola. Artinya, pemain, pelatih, bahkan pemilik boleh saja datang dan pergi silih berganti. Akan tetapi, fan sepak bola tetap akan membela klub pujaannya dengan fanatisme dan kesetiaan yang sering kali tak ternilai dengan uang.
Membela klub pujaan dalam pertandinganlah yang dinikmati oleh para penggemar sepak bola. Merekalah yang selama ini memberi jiwa dalam sepak bola melalui fanatisme dan identifikasi dengan klub pujaannya, tak peduli kaya atau miskin klub yang mereka bela. Bahkan, tak peduli menang atau kalah, mereka akan tetap setia membela klub sepak bola yang mereka banggakan.
Dengan demikian, kaya atau miskin sebuah klub, bahkan ”murah” atau ”mahal” sebuah gelar bagi sebuah klub sepak bola, bukan menjadi cara pandang fan sepak bola. Mereka menikmati pertandingan. Mereka mencintai para pemain dan pelatih, bukan pemilik klub.
Di titik inilah para fan juga harus sadar bahwa di luar lapangan hijau, di Eropa, terdapat aturan yang mengawasi secara ketat para pejabat pengelola klub sepak bola. Aturan fair play juga diterapkan bagi manajemen klub di bidang keuangan. Apabila melanggar, sanksi tegas sudah menanti: larangan bertanding dalam kompetisi di Eropa.
Jika sebuah klub sepak bola tak lagi bertanding, hancurlah eksistensi klub sepak bola pujaan mereka karena tak dapat lagi dibela. Inilah ancaman yang dihadapi Manchester City pasca tampil gemilang di kompetisi domestik musim 2017/18.

Football Leaks
Pada 16 Mei 2019, Manchester City menjadi sorotan karena kasus pelanggaran aturan Financial Fair Play (FFP) yang telah diselidiki secara resmi pada 7 Maret 2019 dibawa ke tahap lebih lanjut.
Selama ini, City diselidiki oleh badan penegak aturan FFP UEFA, Club Financial Control Body (CFCB) bagian investigatory. Mulai 16 Mei 2019, kasus City dilimpahkan ke CFCB bagian adjudicatory.
Penyelidikan yang dilakukan oleh CFCB terhadap City salah satunya dipicu oleh bocoran dokumen yang disebut sebagai Football Leaks. Dokumen yang kemudian disebut Football Leaks awalnya dikirimkan ke majalah mingguan Jerman Der Spiegel. Pengirimnya merupakan sumber anonim dengan sebutan John yang kemudian diketahui identitasnya sebagai Rui Pinto.
Der Spiegel pun mengontak European Investigative Collaborator (EIC) untuk membantu mengolah jutaan data yang diperolehnya. Kegiatan tersebut melibatkan 100 jurnalis dari 15 negara lintas Eropa untuk menyusun cerita dari timbunan dokumen yang tersedia: 70 juta dokumen dengan ukuran file 3,4 Terabite.

Sepakat dengan UEFA
Dalam dokumen bocoran tersebut, ditampilkan juga kasus pelanggaran aturan FFP yang pernah mendera Manchester City pada 2014. Dokumen tersebut menunjukkan bahwa City mengadakan kesepakatan rahasia dengan petinggi UEFA saat itu, Presiden UEFA Michel Platini dan Sekjen UEFA Gianni Infantino. Padahal, sebagai pejabat eksekutif, mereka tidak berhak mencampuri penyelidikan yang dilakukan oleh CFCB yang merupakan lembaga independen.
Akhirnya, City berhasil menyepakati settlement agreement dengan UEFA agar kasusnya tidak dibawa ke Dewan CFCB Adjudicatory.
Kesepakatan tersebut memuat beberapa hal. Pertama dan terutama, City sepakat untuk menjaga kelebihan pengeluaran maksimal sebesar 20 juta euro pada akhir tahun 2014 dan 10 juta euro pada akhir 2015.
City juga dilarang menaikkan gaji selama dua tahun, serta dikenai pembatasan jumlah pemain dalam kompetisi yang digelar UEFA. Selain itu, City diminta membatasi pengeluaran dalam transfer pemain musim 2014/15 dan 2015/16.
Selanjutnya, City sepakat membayar total 60 juta euro yang dipotong dari pendapatan yang berhubungan dengan partisipasi di kompetisi UEFA sejak 2013/2014. Dari jumlah tersebut, 40 juta euro akan dikembalikan ke City apabila memenuhi target batasan kelebihan pengeluaran 2014 dan 2015.
Artinya, City hanya akan didenda 20 juta euro. Dengan persetujuan pada 2014 tersebut, City selamat dari larangan partisipasi dalam kompetisi Liga Champions.
Pelanggaran 2019
Saat ini, City menghadapi kasus serupa. City dianggap menutupi kucuran dana yang berasal dari pemilik dengan kedok pendapatan dari sponsor. Perusahaan-perusahaan sponsor City yang kebanyakan berbasis di Teluk dianggap terkait dengan sang pemilik.
Sebenarnya, menurut aturan FFP, pemilik diperbolehkan menggelontorkan dana ke dalam klubnya. Akan tetapi, pendanaan semacam itu perlu dinyatakan sejak awal dan jelas dalam laporan keuangan.
Selain itu, City juga dianggap menggelembungkan nilai pendapatan dari sisi komersial demi memenuhi aturan FFP. FFP mengharuskan klub mencapai titik impas secara keuangan. Dalam hal pembelian, FFP mengarahkan agar pengeluaran klub disesuaikan dengan pendapatan. Pengeluaran klub tidak boleh lebih tinggi dari pendapatan.
Agar pendapatan terlihat besar—sehingga bisa membeli pemain-pemain mahal—City dianggap menaikkan nilai kerja sama dengan sponsor yang dianggap masih terkait dengan pemilik. FFP mengatur bahwa kerja sama dengan sponsor diperbolehkan asalkan menggunakan harga pasaran yang wajar.
Hal itu dilakukan agar terjadi persaingan yang sehat dan berkelanjutan antar-klub sepakbola. Pemasukan dari sponsor yang terlalu tinggi dari harga pasar akan diselidiki oleh FFP sebagai sebuah pelanggaran.
Investigasi yang dilakukan Dewan CFCB Investigatory terhadap City telah selesai pada 16 Mei 2019. CFCB Investigatory merekomendasikan agar City dilarang bertanding dalam Liga Champions musim 2020-2021 karena melanggar aturan FFP. Rekomendasi tersebut telah masuk ke Dewan CFCB Adjudicatory untuk ditindaklanjuti.
Tak ada batasan waktu bagi kemunculan keputusan Dewan CFCB Adjudicatory, bisa beberapa minggu bahkan beberapa bulan. Selanjutnya, masih dibutuhkan waktu apabila City mengajukan banding terhadap keputusan yang dibuat CFCB Adjudicatory ke Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS). Oleh karena itu, sejak 16 Mei 2019, City seakan berada dalam ketidakpastian.

City Melawan
Terhadap kemungkinan sanksi pelanggaran FFP, City menyusun perlawanan dengan menyewa tiga firma hukum terkemuka untuk membelanya. Selain itu, selama lima bulan sejak dokumen yang disebut Football Leaks dirilis pada November 2018, City menggunakan strategi tutup mulut dan mengeluarkan pendapat senada.
Komentar City selalu menyatakan dua hal. Pertama email para petinggi mereka telah diretas dan disabotase sehingga isi dokumen yang bocor tersebut bukan dari petinggi City. Kedua, mencuatnya kasus ini merupakan suatu usaha yang terkoordinasi untuk merusak citra City yang sedang haus gelar.
Akan tetapi, dalam tanggapan resmi yang dibuat pada 16 Mei 2019, City lebih percaya diri untuk menyatakan ketidakpuasan dan menyangkal segala tuduhan yang ditujukan kepadanya. City menyatakan kecewa, tetapi tidak terkejut dengan pengumuman tiba-tiba dari Ketua Dewan CFCB Investigatory Yves Leterme.
Secara implisit, City juga mempertanyakan independensi Dewan CFCB Investigatory. Menurut City, penyimpangan keuangan yang dituduhkan kepadanya salah dan tidak mempertimbangkan bukti yang telah diberikan City kepada Dewan.
Manchester City menutup musim kompetisi 2018/2019 dengan mengoleksi empat gelar domestik, yakni Community Shield, Piala Carabao, Juara Liga Premier, dan Piala FA.
Terbaru, City mengajukan banding terhadap putusan CFCB Investigatory UEFA di pengadilan arbitrase olahraga (CAS). CAS telah mencatat pendaftaran gugatan City secara resmi pada 6 Juni 2019. Dalam siaran persnya, CAS menyatakan bahwa sejak tanggal tersebut, prosedur arbitrase akan mulai dijalankan hingga waktu yang tak dapat disebutkan. Selanjutnya, CAS akan mengumumkan seluruh perkembangan dan putusan melalui siaran pers.
Perlawanan yang dilakukan oleh City tersebut sangat masuk akal mengingat sanksi yang mungkin diberikan sangat berat bagi City, larangan mengikuti kompetisi Liga Champions. Hal itu sangat mengecewakan karena City sangat berharap mendapakan gelar tersebut setelah penampilannya yang semakin matang di kompetisi domestik di tangan Guardiola.
Selain itu, tuduhan pelanggaran FFP akan mencoreng muka City dan akan diingat sebagai klub yang melakukan tindakan curang, bertolak belakang dengan semangat fair play yang dibawa dalam pertandingan. Hal itu sangat berpengaruh di dunia bisnis, terutama kepada perusahaan pemilik yang akan terkena imbas label curang.
Bagi para fans, citra sebagai klub yang curang, mungkin tidak akan mengalihkan dukungan mereka ke klub lain karena fanatisme yang telah berakar kuat. Bahkan, berita pelanggaran aturan FFP mungkin tak banyak dilirik oleh para fans fanatik klub sepakbola Eropa sekalipun. Akan tetapi, ketika klub kecintaan mereka tak boleh lagi bertanding, tak ada lagi klub sepak bola yang dapat mereka banggakan.

Misi Penyelamatan
Perbedaan cara pandang antara pemilik, pelatih, pemain, dan fans terhadap sebuah klub sepak bola adalah hal yang tak dapat dihindari karena ketertarikan yang berbeda. Akan tetapi, ketika konsekuensinya adalah larangan pertandingan, eksistensi dan masa depan klub lah yang dipertaruhkan.
Manchester City telah berhasil menempatkan diri sebagai klub kelas dunia yang sedang kecanduan gelar. Berbagai gelar domestik dianggap belum mencukupi memuaskan dahaga prestasi. Akan tetapi, di saat tim sedang dalam posisi terbaiknya, City terancam dilarang bertanding dalam kompetisi yang selama ini diidam-idamkan, Liga Champions.
Persoalan muncul dari manajemen City yang sedang disorot karena dugaan pelanggaran aturan FFP. Manchester City dianggap tidak bertindak fair play secara keuangan.
Dalam kasus City dan saat ini, yang sedang disorot adalah cara pandang investor bisnis dalam melihat sebuah klub sepak bola. Cara pandang fans sepakbola dalam melihat pertandingan perlu dikesampingkan sebentar karena bukan tingkah laku fans yang mengakibatkan City di ambang sanksi.
Dengan adanya ancaman larangan bertanding bagi City, yang dipertaruhkan adalah reputasi tim, yang berarti juga reputasi pemilik dan perusahaan yang terkait dengannya. Manajemen City perlu segera membuktikan kepada publik, kehendak baik untuk bertindak fair play dari sisi keuangan.
Bukan hanya tim yang perlu menunjukkan haus gelar dan prestasi dalam pertandingan, tetapi para pejabat klub pun juga perlu menunjukkan kehausan prestasi dalam menaati aturan. Dengan demikian, eksistensi Manchester City sebagai klub sepak bola yang sedang kecanduan kemenangan dapat diselamatkan. (LITBANG KOMPAS)

Bek tengah Manchester City Vincent Kompany (kanan) merayakan golnya ke gawang Leicester City, Selasa (7/5/2019), di Stadion Etihad, Manchester. City menang 1-0 dalam laga itu.