Karpet Merah buat Lembaga Survei Asing
Siapa saja yang berminat membuka ruang usaha jasa penyelenggaraan survei opini publik dan penelitian pasar kini tidak lagi dibatasi. Tidak lagi hanya institusi survei yang berbadan hukum dalam negeri, para investor asing yang berkepentingan memahami karakteristik hingga opini tiap-tiap individu di negeri ini dibebaskan. Di balik manfaat ekonomi yang potensial diraih dari para investor, kebijakan ini punya implikasi sosial maupun politik yang perlu dicermati.
Setelah dalam Peraturan Presiden No 44/2016 survei digolongkan sebagai daftar usaha yang terbuka, tetapi dengan persyaratan tertentu, saat ini jasa survei opini publik (jajak pendapat) dan penelitian pasar dinyatakan sebagai usaha yang bebas dimasuki siapa pun, termasuk investor asing.
Kebijakan liberalisasi penyelenggaraan survei opini tersebut menjadi bagian dari paket kebijakan ekonomi jilid XVI yang salah satu isinya mengeluarkan 54 bidang usaha dari daftar negatif (terbatas) di negeri ini. Alasan pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut, sebagaimana yang disampaikan langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, semata-mata guna mendorong masuknya investasi langsung asing sekaligus untuk menutup kenaikan defisit transaksi berjalan.
Dikeluarkannya kebijakan tersebut, berikut segenap argumentasinya, jelas lebih tampak bertitik tolak pada pertimbangan ekonomi. Lebih khusus lagi, sebagai konsekuensi dari pijakan ekonomi liberal yang berorientasi sepenuhnya pada fundamentalisme pasar.
Dalam perspektif demikian, negara seharusnya memang tidak campur tangan dengan berbagai kebijakan yang cenderung membangun entry barrier pasar industri, termasuk peraturan-peraturan penghalang (legal entry barriers) bagi pasar jasa survei opini publik. Pasar survei opini sudah semestinya berjalan sepenuhnya berdasarkan kaidah permintaan dan penawaran survei.
Jika sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar, persoalannya seperti apa karakteristik pasar jasa survei yang terbangun selama ini? Apakah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tersebut didasarkan pada kecenderungan semakin meningkatnya kebutuhan akan survei opini, sementara pada sisi suplai dirasakan kurang memadai, baik secara kuantitas maupun kualitas penyelenggaraan?
Ataukah terdapat pertimbangan ataupun argumentasi lain di luar kalkulasi yang tercermati pada pasar industri jasa.
Mencermati dari sisi karakteristik pasar jasa survei, tampaknya tidak cukup kuat bangunan argumentasi yang menempatkan kondisi suplai sebagai kendala. Saat ini, dari sisi produsen, pasar jasa survei sebenarnya sudah dipenuhi oleh beragam penyedia jasa.
Dari sisi penelitian pasar (market research), misalnya, sudah tercatat sebanyak 41 pelaku yang tergabung dalam Perhimpunan Riset Pemasaran Indonesia (Perpi). Di dalam asosiasi pelaku riset pasar tersebut terdapat nama-nama korporasi yang berlatar belakang internasional, seperti Nielsen (Nielsen Indonesia), TNS, IPSOS (IPSOS Indonesia), dan Roy Morgan Internasional.
Selain itu, terdapat pula puluhan institusi yang berasal dari dalam negeri, seperti MarkPlus, Marketing Research Indonesia, Deka, dan Polling Center.
Begitu pula dari sisi penyedia jasa survei opini, setidaknya saat ini sudah terdapat dua asosiasi yang menaunginya, yaitu Perhimpunan Survei Opini Publik (Persepi) dan Asosiasi Riset Opini Publik (Aropi). Dua asosiasi tersebut juga memiliki puluhan anggota, semua berlatar belakang institusi survei dalam negeri, antara lain Lembaga Survei Indonesia (LSI), Lingkaran Survei Indonesia, dan SMRC.
Jika ditelusuri, di luar keanggotaan asosiasi riset tersebut, terdapat lagi beragam penyedia jasa riset opini publik ataupun jasa riset pasar dengan wilayah operasi lokal maupun nasional. Sebagaimana layaknya suatu industri jasa, jasa penyelenggaraan survei sangat bergantung pada kapital berupa sumber daya manusia.
Keahlian dan pengetahuan periset menjadi tulang punggung dalam memproduksi jasa. Oleh karena itu, kemunculan beragam institusi survei di negeri ini sejalan pula dengan semakin meningkatnya jumlah dan kapasitas sumber daya manusia sebagai kapital utama jasa penyelenggaraan riset.
Dengan uraian semacam itu, dari sisi suplai riset, sebenarnya tidak kurang banyak pelaku pasar yang menyediakan jasa penyelenggaraan riset di negeri ini. Terbukanya peluang bagi investor asing dalam penyelenggaraan survei jelas semakin memadatkan sisi suplai jasa survei.
Bagaimana dengan jasa survei yang ditawarkan? Dari sisi jasa yang ditawarkan pun tidak kurang lengkap. Pencermatan detail terhadap beragam karakteristik individu yang selanjutnya diposisikan sebagai calon konsumen (consumer) atau calon pemilih (voter) sudah terbiasa dilakukan.
Metode yang digunakan, baik metode sampling, metode pengumpulan data, model analisis data, maupun model-model penginterpretasian temuan, pun tidak berbeda dengan kaidah global. Unsur-unsur kualitas penelitian yang tergambarkan dalam realiabilitas dan validitasnya juga teruji. Dalam penyelenggaraan survei opini publik, misalnya, ketepatan prediksi survei bukan persoalan yang langka terjadi.
Kuantitas penyedia jasa survei di negeri ini juga mencerminkan volume pasar jasa survei yang dalam hitungan rupiah relatif tidak terlalu signifikan. Dengan perhitungan asumsi rata-rata kuantitas penyelenggaraan survei berskala nasional setiap tahunnya, dan kalkulasi besaran revenue tahunan semua lembaga survei, dalam jumlah total diperkirakan masih berkisar ratusan miliar rupiah.
Hanya saja, produk jasa demikian berdasarkan penggunaannya tergantung sepenuhnya pada produk-produk industri primer ataupun sekunder lain. Artinya, prospek dan besaran volume jasa survei bersifat sangat relatif yang juga ditentukan oleh dinamika industri barang dan jasa lainnya.
Dengan deskripsi kondisi di atas, singkat kata suplai jasa survei sudah berjalan layaknya karakteristik pasar semestinya. Secara kuantitas dan kualitas jasa penyelenggaraan survei di negeri ini tidak ada yang patut diragukan. Oleh karena itu, kemunculan paket kebijakan liberalisasi penyelenggaraan survei semacam ini masih menyimpan pertanyaan yang perlu terjelaskan.
Kemunculan kebijakan liberalisasi penyelenggaraan survei menyimpan pertanyaan yang perlu terjelaskan.
Namun, dalam perspektif ekonomi, dimunculkannya paket kebijakan tersebut mengandung sisi positif. Kebijakan tersebut dapat dikatakan merupakan langkah paling ideal. Setidaknya, kebijakan yang membuka peluang memperbesar volume pasar jasa survei yang sekaligus menunjukkan bahwa pemanfaatan riset di negeri ini menjadi semakin signifikan.
Investor asing yang memang berkepentingan dengan segenap perilaku masyarakat di negeri ini sangat membutuhkan instrumen pencermatan karakteristik dan opini yang hanya dapat diperoleh dari hasil-hasil survei. Dengan kondisi tersebut, riset opini sebagai suatu kegiatan pengumpulan pendapat masyarakat menjadi strategis posisinya.
Di sisi lain, beban tugas pemerintah dalam mendorong masuknya investasi asing terpenuhi. Bukankah kepentingan ekonomi yang menguntungkan kedua sisi tersebut berpotensi terpenuhi?
Kalkulasi ekonomi memang berpotensi menguntungkan. Hanya persoalannya, kegiatan pengumpulan pendapat masyarakat tidak sepenuhnya berurusan dengan aspek ekonomi semata. Dalam dimensi lain, penyelenggaraan survei opini publik ataupun segenap interpretasi hasilnya kerap bersinggungan dengan persoalan-persoalan sosial ataupun politik yang juga harus dicermati.
Tidak jarang justru dalam dimensi sosial politik inilah beragam komplikasi persoalan ditimbulkan, yang dalam berbagai aspek persoalan justru melampaui risiko ekonomi yang ditimbulkan. Sejarah penyelenggaraan survei di negeri ini menunjukkannya.
Ekonomi politik survei
Jika ditelusuri, rintisan awal penyelenggaraan survei opini publik di negeri ini sebenarnya juga terkait dengan relasi negara terhadap kepentingan masuknya investor asing. Kebijakan ekonomi Orde Baru saat itu yang terkonsentrasi pada kekuasaan negara tengah mengundang kapital internasional dan memberikan akses bebas pada ekonomi Indonesia menjadi latar belakang kebijakan yang dilakukan (Lihat Robison: Indonesia: The Rise of Capital, 1986).
Dalam praktik, kebijakan tersebut berimplikasi pada keberadaan penyelenggaraan survei. Sebelumnya, beberapa bukti menunjukkan bahwa pada mulanya negara merupakan satu-satunya penyelenggara survei opini. Pada Oktober 1968, Lembaga Pers dan Pengumpulan Pendapat Umum, Departemen Penerangan, menjadi titik awal pengumpulan opini publik yang dikaitkan dengan tema politik.
Begitu pula, di bulan April 1971, institusi negara tersebut memublikasikan riset opini publik dengan mengambil 2.771 responden di seluruh wilayah Jawa. Hasilnya mengungkapkan begitu tingginya pengetahuan responden akan penyelenggaraan Pemilihan Umum 1971 dan besarnya proporsi responden yang menjagokan Golongan Karya sebagai pemenang pemilihan umum (Kompas, 21/4/1971).
Pada saat yang sama, beberapa institusi survei swasta bermunculan. PT Survey Business Research Indonesia (Suburi), salah satunya. PT Suburi adalah suatu proyek penanaman modal asing (PMA) bermodal 150.000-200.000 dollar AS yang bergerak dalam bidang consulting services. Institusi yang dipimpin warga AS, John Di Gregorio, ini beroperasi di Indonesia setelah Presiden memberikan persetujuannya pada 2 November 1970, seusai mendengar saran dan pertimbangan dari panitia teknis penanaman modal asing.
Selama beroperasi, Suburi telah melakukan banyak penelitian, antara lain penelitian produk dan pasar, pendapatan masyarakat, dan persoalan sosial seperti keluarga berencana.
Dalam salah satu surveinya, Suburi menanyakan pendapat masyarakat terhadap sosok-sosok pejabat di negeri ini. Konsekuensinya fatal, survei tersebut oleh Mendagri Amir Machmud dan Asisten Pribadi Presiden Soeharto, Mayjen Ali Murtopo, dinyatakan subversif. Buntutnya, John Di Gregorio, 2 Oktober 1972, dideportasi (Kompas, 3/10/1972).
Semenjak kasus tersebut, sepanjang era Orde Baru, survei opini menjadi suatu kegiatan terlarang dan membuat trauma para penyelenggaranya. Sebab, fakta menunjukkan, politik negara menguasai sepenuhnya survei. Bahkan, dalam perjalanannya, di era ini aksi-aksi masyarakat yang tidak jarang dilakukan dengan kekerasan pun turut meredam penyelenggaraan survei.
Dari berbagai kasus pelibatan kekerasan, kasus paling fenomenal adalah terkait dengan angket pembaca tabloid Monitor di tahun 1990, yang dianggap menyinggung SARA. Oleh karena hasil angket kiriman pembaca menampilkan urutan pilihan pembaca pada Nabi Muhammad SAW, akibatnya Monitor ditutup, dan Pemimpin Redaksi Monitor Arswendo Atmowiloto dijebloskan ke dalam penjara. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam putusan perkara banding menjatuhkan hukuman 4 tahun 6 bulan (Kompas, 3/7/1991).
Ketika rezim Orde Baru berakhir, liberalisasi politik penyelenggaraan survei berlangsung. Dalam sekejap bermunculan beragam institusi survei dan produk-produk survei. Survei berkembangan menjadi suatu industri jasa yang prospektif.
Apalagi, liberalisasi politik berjalan beriringan dengan perkembangan teknologi yang semakin mempermudah interaksi masyarakat dengan penyelenggara survei. Kedua kondisi yang secara simultan menguntungkan tersebut membawa kekinian wajah dari penyelenggaraan survei di negeri ini.
Persoalannya kemudian, apakah dengan liberalisasi politik tersebut eksistensi survei menjadi semakin ideal? Peningkatan kuantitas dan kualitas penyelenggaraan survei tampaknya tidak serta-merta menempatkan survei dalam posisi ideal, sebagai suatu medium ekspresi opini dan kehendak publik.
Yang terjadi, survei opini meng-kolonisasi ruang kehidupan sosial dan psikologis masyarakat bermotif kepentingan ekonomi dan politik. Peng-komodifikasi-an survei menjadi semakin dominan. Tidak mengherankan jika hasil-hasil survei yang terpublikasikan kerap mengundang perdebatan yang memilah masyarakat.
Di samping survei dan hasil-hasil survei, kondisi masyarakat sebagai stake holder utama survei juga bergolak. Di satu sisi, liberalisasi politik pasca-Orde Baru memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi tiap-tiap individu dalam menyatakan pendapatnya.
Kondisi demikian sebenarnya berjalan mendekati idealisasi kultur demokrasi yang menjadi basis ideal penyelenggaraan survei opini. Akan tetapi, di sisi lain, bibit-bibit resistensi juga semakin tersemai yang tidak jarang memantik penolakan individu ataupun kelompok masyarakat terhadap penyelenggaraan survei.
Pada era pengujung kekuasaan rezim Orde Baru, gejala resistensi masyarakat semacam itu sebenarnya sudah terkuak. Kemunculan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik, misalnya, salah satunya dilatarbelakangi oleh semakin tingginya resistensi masyarakat terhadap proses pengumpulan data dan pendapat di masyarakat.
Oleh karena pertimbangan tersebut, Badan Pusat Statistik (BPS) merasa berkepentingan dengan kehadiran UU tersebut, yang memberikan sanksi hukum bagi penolakan survei.
Persoalan-persoalan resistensi sosial semacam ini memang cukup pelik. Sebenarnya, saat ini sejalan dengan perkembangan teknologi komunikasi, berbagai upaya membaca karakteristik masyarakat secara tidak langsung sudah banyak dilakukan, apalagi oleh pihak-pihak asing, tanpa bersinggungan secara langsung dengan masyarakat di negeri ini.
Kehadiran produk sosial media, seperti Facebook, Instagram, teknologi search engine Google dan berbagai aplikasi variannya, hingga medium transaksi perdagangan daring, memiliki sisi akurasi yang digunakan dalam memahami karakteristik dan perilaku konsumen ataupun tiap-tiap individu.
Kasus Cambridge Analytica dalam Pemilu AS 2016, misalnya, membuktikan penggunaan big data dan berbagai pemodelan yang dilakukan berdasarkan data identitas dan opini mampu menyimpulkan karakteristik populasi yang dituju dalam pemilu tersebut.
Oleh karena itu, kebijakan membuka ruang seluasnya bagi penyelenggaraan survei opini dapat dibaca bukan hanya dari aspek kepentingan pemenuhan data sekunder dan tidak langsung, melainkan jauh lebih dari sekadar hal tersebut diperlukan pula data primer yang diperoleh langsung dari tiap-tiap individu. Sampai di sini, survei opini masih menjadi andalan dalam menghimpun kebutuhan tersebut.
Persoalannya kemudian, dengan kehadiran survei-survei yang dilakukan pihak asing, seberapa besar resistensi publik terhadap hal tersebut?
Menarik membaca kekinian dari tanggapan masyarakat terhadap kemungkinan masuknya investor asing di negeri ini. Hasil survei secara nasional yang dilakukan Litbang Kompas periode Oktober 2018 menunjukkan derajat penerimaan (akseptansi) dan penolakan (resistensi) individu yang bersifat imbang (Grafik 1).
Secara keseluruhan, umumnya masyarakat tampak terbelah dalam memandang masuknya investasi asing di negeri ini. Tercatat 53,2 persen responden menyatakan tidak menolak masuknya investasi asing. Demikian juga dalam proporsi yang relatif sama (52,5 persen), mereka menganggap tidak akan ada resistensi masyarakat jika terdapat kehadiran investasi asing di lingkungannya.
Paralel dengan hal tersebut, hampir separuh responden (47,2 persen) juga menunjukkan rasa suka mereka terhadap masuknya investasi asing dan sebaliknya dalam proporsi sama besar merasa kurang suka. Pertimbangan penolakan ataupun penerimaan tampak beragam, tetapi sepertiga dari keseluruhan responden (33 persen) menganggap bahwa masuknya investasi asing tersebut berpotensi menguntungkan mereka.
Gambaran hasil survei tersebut menunjukkan sikap masyarakat yang terbelah dalam menyikapi investasi asing. Kondisi keterbelahan tersebut menjadi sangat sensitif jika ditautkan dengan politik. Terlebih, jika investasi asing yang dimaksud berkait dengan penyelenggaraan survei yang secara langsung bersentuhan dengan karakteristik dan opini tiap-tiap individu di negeri ini.
Oleh karena itu, inisiatif membuka ruang gerak seluas-luasnya bagi para investor asing dalam pendirian institusi survei dan penyelenggaraan survei bukan semata persoalan ekonomi dan segenap potensinya, melainkan kebijakan semacam ini tidak akan lepas dari risiko persinggungan dimensi sosial dan politik dari survei itu sendiri. Dalam kondisi semacam itu, pada akhirnya siapkah kita menghadapinya? (Bestian Nainggolan/Litbang Kompas)