"Wabah" Terorisme di Dunia
Terorisme menjadi mimpi buruk bagi seluruh penduduk dunia, tak mengenal suku, ras, dan bangsa. Sepanjang 1970-2017 aksi teror mencapai lebih dari 180.000 peristiwa dengan korban meninggal sedikitnya 420.000 jiwa. Tahun 2018 juga tak luput dari "wabah" teror. Ini merupakan kejahatan kemanusiaan.
Data dari Global Terrorism Database menggambarkan lonjakan aksi teror sepanjang hampir 5 dekade. Periode tahun 1970-1979 tercatat sekitar 9.900 kejadian teror di seluruh dunia. Tak berselang lama, tahun 1980-an, terorisme meningkat drastis hingga 3 kali lipat. Korban luka dan meninggal juga melonjak hingga 6 kali lipat.
Periode terparah terjadi saat memasuki abad ke-21 atau dikenal dengan era terorisme modern. Berbagai jenis teror dan media yang digunakan sudah berkembang pesat, menggunakan teknologi-teknologi canggih. Akibatnya, setidaknya 270.000 jiwa melayang dan 380.000 orang terluka karena tindak teror.
Sepanjang 2010-2017 saja sudah ada 86.815 kejadian teror yang menyerang berbagai tempat di belahan bumi manapun. Aksi teror di wilayah Asia didominasi wilayah-wilayah konflik, seperti Timur Tengah, Asia Selatan, dan beberapa negara Asia Tenggara. Sedangkan wilayah Afrika terjadi negara-negara bagian utara, seperti Mesir, Libya, Sudan, dan Somalia.
Eropa juga tak luput dari terorisme, khususnya Inggris dan Perancis. Sementara Amerika Serikat pun hampir tak pernah bebas dari teror. Rata-rata aksi teror lima tahun terakhir bahkan menyentuh angka 13.678 aksi di seluruh dunia. Terbanyak terjadi pada tahun 2014, yakni 16.903 aksi yang menewaskan lebih dari 44.000 jiwa dan melukai sedikitnya 41.000 orang.
Teror Kota London
Wistminster, Selasa (14 Agustus 2018), gaduh karena aksi teror oleh Salih Khater, seorang warga Inggris yang berasal dari Sudan. Pelaku mengendarai sebuah mobil yang dengan sengaja melaju dan menabrak beberapa pejalan kaki dan pesepeda di jalan di luar Gedung Parlemen Inggris.
Tiga orang menjadi korban luka akibat insiden ini. Aksi ini ditetapkan sebagai aksi terorisme oleh kepolisian Inggris.
Baca juga: Teror Berulang di Jantung Kota London
Ternyata bukan kali ini saja teror yang dialami kota Westminster. Dalam kurun waktu satu tahun, Westminster telah dua kali menjadi target aksi terorisme.
Yang pertama terjadi pada tanggal 22 Maret 2017, saat Khalid Masood menabrakkan mobilnya ke trotoar pejalan kaki di Jembatan Westminster, dekat Gedung Parlemen Inggris. Akibat insiden tersebut, dua pejalan kaki tewas tertabrak dan seorang polisi tewas ditusuk pelaku. Polisi kemudian menembak mati pelaku.
Harian Daily Mail edisi 15 Agustus 2018 melaporkan, terdapat hampir 700 investigasi langsung kasus terorisme yang masih dilakukan polisi Inggris sampai saat ini. Hingga pertengahan 2018, sedikitnya 441 orang ditahan dalam investigasi antiteror yang berlangsung dari awal tahun sampai Maret 2018. Artinya, setiap hari terdapat lebih dari satu orang yang ditahan karena kasus teror di Inggris.
Menengok peristiwa teror serupa di beberapa negara Eropa lainnya, sejumlah kota telah menjadi sasaran teror. Kota-kota itu antara lain Nice (Perancis), Berlin (Jerman), London (Inggris), Brussels (Belgia), dan Stockholm (Swedia). Yang terbesar adalah serangan bom di kota Brussels pada 2016 yang menewaskan 32 orang dan melukai 320 orang.
Mata-mata Rusia
Seorang mata-mata Rusia, Sergei Skripal, menjadi sasaran pembunuhan menggunakan racun saraf Novichok. Racun tersebut merupakan racun paling mematikan karena dapat membunuh lebih dari 4.000 orang.
Sergei Skripal adalah mata-mata Rusia yang tinggal di Inggris sejak meninggalkan Rusia pada 2010. Sergei Skripal yang berusia 66 tahun, mendapat suaka di Inggris menyusul pertukaran mata-mata antara AS dan Rusia pada 2010. Sebelum meninggalkan Rusia, ia dipenjara beberapa tahun karena dianggap berkhianat kepada negara.
Atas kasus ini, Inggris menuduh Rusia terlibat dalam serangan racun saraf Novichok terhadap mantan agennya di Salisbury, Inggris, pada Maret 2018. Di depan parlemen Inggris pada 5 September 2018, Perdana Menteri Theresa May mengungkapkan hasil penyelidikan selama enam bulan terhadap kasus ini.
Pihak kepolisian Inggris mengungkap dua identitas pelaku, yaitu Alexander Petrov dan Ruslan Boshirov. Ruslan Boshirov dikenal sebagai seorang pejabat intelijen militer senior Rusia bernama Anatoliy Vladimirovich Chepiga.
Kedua tersangka masuk Inggris pada 2 Maret 2018 dengan paspor asli, tetapi menggunakan nama samaran. Keduanya dua kali tertangkap kamera berada di sekitar rumah Sergei Skripal di Salisbury.
Berdasarkan bukti yang dikumpulkan, Pemerintah Inggris menyimpulkan bahwa kedua pelaku merupakan anggota dinas intelijen Rusia, GRU. Aksi teror ini merupakan bencana bagi sistem keamanan nasional. Begitu longgarnya pengawasan intelijen sehingga kedua tersangka tak terdeteksi saat bertindak, lalu membuang botol yang dibawanya, serta dengan mudah keluar dari Inggris.
Kejadian ini menjadi sorotan utama Inggris. Hampir semua surat kabar di Inggris memuat foto kedua tersangka dan mengangkat topik ini sebagai berita utama dengan judul yang sangat provokatif, seperti “The Smirking Assassins Sent by Putin”oleh koran Daily Express ataupun harian The Daily Mail dengan judul “Putin’s Smiling Assassins”.
Inggris juga membawa kasus ini di forum internasional. Inggris meminta pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB di New York pada hari berikutnya, Kamis, 6 September 2018. Koran The Guardian melaporkan, dalam pertemuan tersebut, hampir semua anggota Dewan Keamanan PBB mempertanyakan temuan penyidikan ke pihak Rusia.
Teror Bom AS
Kekuatan militer AS sudah tak diragukan lagi. Besarnya anggaran pertahanan, ragam persenjataan modern, dan deretan armada militernya di beberapa kawasan menggambarkan lanskap kekuataan pertahanan dan keamanan AS di dunia.
Ternyata besarnya kekuatan militer masih tak menjamin bebas dari aksi terorisme. Rabu, 24 Oktober 2018, tersebar paket bom yang diduga berisi bahan peledak yang dikirimkan kepada sejumlah figur penting AS. Beberapa figur penting tersebut, antara lain mantan Presiden AS Barack Obama, mantan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton, mantan Jaksa Agung Eric Holder, serta sejumlah tokoh Demokrat.
Selang dua hari, pelaku penyebar paket bom yang bernama Cesar Sayoc berhasil dilumpuhkan FBI. Koran The Washington Post menampilkan judul “Bombs Targeting Democrats Leave U.S. On Edge”.
Hampir senada, harian The Wall Street Journal mengangkat judul “Mail Bombs Target Democrats, CNN”. Dua koran ini menampilkan ulasan dugaan target bom yang menyasar kubu Demokrat.
Tak hanya tokoh dari Demokrat, kantor CNN di Time Warner Center, Manhattan, juga menjadi sasaran teror bom. Mantan Direktur Badan Pusat Intelijen AS (CIA) era Obama, John O. Brennan, dan Senator Demokrat Maxime Waters, juga target operasi. Sebelumnya, kedua orang ini terlibat saling lempar kritik dengan Trump.
Baca Juga: Teror Keamanan di Amerika Serikat
Berdasarkan hasil penelusuran pihak berwajib AS, motif teror bom ini ialah penyelenggaraan pemilu sela yang diadakan awal November 2018. Pemilu sela memperebutkan basis kekuatan Kongres AS yang memiliki kewenangan besar di Konstitusi.
Hingga saat ini, kita disajikan beragam motif terorisme di seluruh dunia. Latar belakang politik, sejarah, hingga nilai-nilai agama, menjadi pembenaran bagi pelaku. Akan tetapi, apa pun alasannya, terorisme tetaplah kejahatan kemanusiaan. (YOESEP BUDIANTO/LITBANG KOMPAS)