Dinamika Kongres AS Pascapemilu Sela
Hasil pemilu sela pada November 2018 mengubah peta politik di Kongres Amerika Serikat. Walau Senat AS tetap dikuasai partai petahana, DPR berhasil direbut pihak oposisi, yakni Partai Demokrat.
Polarisasi kekuatan di DPR dan Senat menjadi ancaman bagi publik AS sebab kedua kubu dipastikan sulit untuk menyepakati kebijakan pemerintah. Padahal, kedua lembaga tersebut merupakan bagian dari Kongres AS yang menjadi kunci jalannya pemerintahan federal AS.
Konstitusi AS memuat hal-hal menyangkut wewenang Kongres, seperti penyusunan anggaran negara, pemungutan pajak, perdagangan dengan negara lain, mengumumkan perang, dan membuat aturan-aturan pemerintahan.
Konstitusi juga mengatur, setiap kebijakan presiden harus mendapat persetujuan Kongres. Selain itu, Kongres juga memiliki wewenang impeachment, sebuah proses legislatif untuk memecat seorang pejabat pemerintah, termasuk presiden.
Kewenangan yang besar yang dimiliki anggota Kongres menjadi dinamika dalam ruang Senat dan DPR AS saat ini. Setidaknya ada dua hal yang menjadi perdebatan seru di Kongres AS setelah pemilu sela, yaitu pemberian sanksi ke Arab Saudi dan kecaman ke China.
Pertengahan November 2018, Kongres AS mengajukan rancangan undang-undang agar Trump bersikap lebih keras terhadap pelanggaran HAM oleh China atas etnis minoritas Muslim Uighur.
RUU itu meminta Trump untuk mengecam kebijakan China di Xinjiang dan mendesak penunjukan ”koordinator khusus” untuk kebijakan AS terkait isu tersebut. RUU itu juga meminta pemerintah mempertimbangkan larangan ekspor teknologi AS ke China.
Selain sikap keras kepada China, Kongres AS juga melalui perdebatan terkait pemberian sanksi ke Arab Saudi. Kritik Kongres muncul atas pembelaan Presiden Trump atas kasus pembunuhan wartawan Jamal Khashoggi.
Senator Bob Corker dari Republik dan Bob Menendez dari Demokrat mendesak pemerintahan Trump agar melakukan investigasi apakah Putra Mahkota Mohammed bin Salman bertanggung jawab atas pembunuhan Khashoggi.
Pelaku harus dihukum sesuai UU Magnisky yang berlaku sejak 2016 dan berskala global. Menurut undang-undang tersebut, pemerintah mempunyai kewenangan menghukum pelanggar hak asasi, membekukan aset mereka, dan juga melarang mereka masuk ke AS.
Anggota DPR AS yang didominasi Demokrat mengusulkan pemeriksaan terhadap Donald Trump atas dugaan kepentingan bisnis dengan Arab Saudi. Hal tersebut dinilai melatarbelakangi pembunuhan Jamal Khashoggi.
Senada dengan DPR, Senat AS menyepakati lanjutan proses legislasi terhadap Arab Saudi. Jika masih belum ada penjelasan dan tindakan dari pemerintah, Senat AS mengancam akan menunda memberi suara pada keputusan apa pun, termasuk pembahasan APBN. Selain itu, Senat juga meminta AS menghentikan bantuan kepada Arab Saudi dalam perang di Yaman.
Dinamika Kongres AS juga diwarnai polemik pemecatan Presiden Trump. Wacana tersebut didapatkan setelah mantan pengacara Trump, Michael Cohen, mengaku bersalah karena telah membohongi Kongres. Dalam pengakuan tertulis yang disampaikan kepada pengadilan, Cohen menyatakan, kebohongan pada 2017 itu terkait proyek di Moskwa yang dinyatakan dihentikan pada Januari 2016.
Sebelum menjadi presiden AS, Trump lebih dulu dikenal sebagai pengusaha dengan fokus utama membangun dan mengoperasikan gedung mewah. Cohen menyediakan pernyataan palsu untuk disampaikan ke komite intelijen senat dan DPR AS, dua kamar dalam Kongres AS.
Hal itu untuk mengesankan proyek dihentikan sebelum masa seleksi calon presiden di tingkat partai dimulai. Padahal, proyek itu masih berjalan hingga Juni 2018 atau setelah Trump ditetapkan sebagai calon presiden dari Partai Republik (Kompas, 30/11/2018).
Pada 12 Desember 2018, Cohen resmi dinyatakan bersalah dan dipidana penjara selama 3 tahun. Koran The New York Times menyebutkan setidaknya ada empat perkara, yaitu pembayaran dua wanita selama masa kampanye, penggelapan pajak, pernyataan palsu kepada bank, dan kebohongan kepada Kongres AS.
Kasus ini belum berakhir sepenuhnya. Pengakuan Cohen telah mengerucutkan pada kasus-kasus penggelapan dana dan praktik ilegal bisnis oleh perusahaan properti milik Trump. Kasus ini benar-benar menyudutkan Trump dan mampu menyeretnya ke dalam kasus kejahatan federal.
”The dual developments on Wednesday came as part of a legal saga that has led Mr Trump’s own Justice Department to directly implicate him in federal crimes, exposing him to potential legal and political peril as he enters the second half of his presidential term”, tulis koran The Wall Street Journal.
Perebutan kursi
Melihat posisi strategis Kongres, tidak heran ajang pemilihan umum menjadi pertaruhan bagi partai politik di AS untuk merebut kursi di Kongres. Pemilu sela yang berlangsung 6 November 2018 juga tidak luput dari persaingan tersebut, terutama di antara dua parpol besar di AS, Partai Republik dan Partai Demokrat. Kedua parpol memperebutkan 435 kursi DPR dan 35 dari 100 kursi yang ada di Senat AS.
Analisis data pemilu di AS pada 1934-2014 yang dilakukan The American Presidency Project menemukan dua hal menarik di balik pertarungan parpol di DPR dan Senat AS. Pertama, tren kehilangan kursi partai yang sedang berkuasa di DPR. Temuan kedua adalah frekuensi parpol dominan yang kehilangan kursinya di Kongres.
Hasil pemilu sela anggota DPR pada 6 November 2018 menunjukkan fenomena tersebut. Kubu oposisi Demokrat berhasil merebut kursi mayoritas di DPR. Berdasarkan hasil pemilu sela hingga 16 Desember 2018, Demokrat sudah memperoleh 235 kursi yang diperebutkan.
Jumlah ini sudah mencukupi untuk menjadi mayoritas di DPR karena diperlukan minimal 218 kursi. Sebelum pemilu sela, DPR dikuasai Republik dengan 236 kursi. Hasil penghitungan sementara pemilu sela 2018 menunjukkan, Partai Republik yang sedang berkuasa kehilangan 40 kursi DPR.
Partisipasi publik
Pemilu sela kali ini juga menjadi capaian keberhasilan meraup partisipasi penduduk. United States Elections Project mencatat, terdapat lebih dari 118 juta warga yang memberikan suara dalam pemilu yang diadakan pada 6 November 2018 itu.
Persentase penduduk yang memberikan suara dalam pemilu sela tersebut mencapai 50,03 persen. Jumlah ini termasuk tinggi mengingat selama lebih dari dua dekade penyelenggaraan pemilu sela, publik AS cukup sulit untuk memberikan suaranya. Rata-rata partisipasi pemilih dalam pemilu sela sepanjang 1990-2014 menunjukkan angka 39,3 persen.
Selama tujuh kali pemilihan terakhir, pemilu sela 2014 tercatat sebagai yang terendah partisipasinya. Berdasar data United States Election Project, tingkat partisipasi dalam pemilu sela 2014 adalah 36,7 persen. Jumlah ini lebih rendah ketimbang pada 2010 yang sebesar 41,0 persen dan pemilu sela 2006 yang mencapai 40,4 persen.
Selain partisipasi, pemilu sela AS juga menggambarkan meningkatnya keterpilihan perempuan. Dari sisi kuantitas, jumlah penduduk perempuan di AS lebih banyak dibandingkan dengan penduduk laki-laki.
Sebanyak 257 nomine perempuan maju di ajang pemilu sela Kongres AS. Jumlah tersebut terbagi atas 22 nomine perempuan untuk Senat dan 235 nomine perempuan untuk DPR, dua kali lipat dari jumlah nomine perempuan pada pemilu sela 1992.
Momentum 1992 juga disebut sebagai ”Year of the Woman”, saat itu sebanyak 117 perempuan bersaing untuk memperebutkan posisi di Kongres. Dari jumlah tersebut, 22 orang bersaing untuk senat dan 106 bersaing untuk dewan perwakilan.
Persentase keikutsertaan perempuan dalam calon anggota Kongres AS meningkat 52 persen dibandingkan dua dekade sebelumnya. Mereka menggunakan isu anak-anak, pelecehan seksual, utang keluarga, dan kecanduan obat-obatan untuk menarik massa yang mengalami isu yang sama.
Pemilu sela tahun ini berhasil menyajikan gelombang besar perubahan wajah politik AS. Makin banyak kaum minoritas yang mendapatkan tempat di Kongres AS, selain itu kekuatan Republik di Kongres AS juga tidak terpusat pada satu dominasi parpol. Dalam bahasa lain, publik AS menginginkan agar prinsip checks and balances benar-benar bisa berjalan. (YOESEP BUDIANTO/LITBANG KOMPAS)