Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali mengganti pejabat penting di pemerintahannya. Pada 9 Desember 2018, Trump mengumumkan pemberhentian John Kelly dari jabatan Kepala Staf Gedung Putih.
Sepanjang hampir dua tahun menjabat Presiden AS, setidaknya 42 pejabat penting dan anggota kabinet diganti oleh Trump, baik dengan alasan dipecat maupun mengundurkan diri. Berdasarkan data yang dimuat koran The Washington Post dan The Brookings Institution, jejak perombakan yang dilakukan Trump merupakan yang terbanyak dibandingkan dengan tiga presiden sebelumnya.
Dalam organisasi staf kepresidenan, Trump telah melakukan 62 persen penggantian pejabat. Persentase ini lebih banyak dibandingkan dengan era Presiden Barack Obama dalam periode yang sama, yaitu 24 persen. Dua presiden sebelumnya juga masih lebih sedikit dibandingkan dengan Trump. Presiden George W Bush melakukan perombakan sebanyak 33 persen dan Bill Clinton sebesar 38 persen.
Hal yang sama juga terjadi di kabinet. Menjelang dua tahun pemerintahannya, Trump telah mengganti sembilan anggota kabinetnya, dari Menteri Keamanan Dalam Negeri John F Kelly hingga Jaksa Agung Jeff Session.
Perombakan ini juga lebih banyak dibandingkan tiga presiden dalam periode yang sama. Presiden Clinton mengganti 6 orang kabinetnya, berikutnya Obama 4 orang, dan yang paling sedikit George W Bush, sebanyak 1 orang.
Ragam alasan terjadinya bongkar pasang di era Presiden Trump, tetapi mayoritas penyebabnya ada dua hal utama, yaitu ketidakcocokan dengan Trump dan kurang harmonisnya hubungan dengan tim yang dibentuk Trump.
Penasihat senior Gedung Putih, Steve Bannon, mundur pada Januari 2018 setelah bersitegang dengan sejumlah anggota tim yang baru diangkat Trump. Ada pula penasihat ekonomi Gary Cohn yang mengundurkan diri karena menentang kebijakan Trump terkait dengan pengenaan bea masuk baja dan aluminium impor.
Dalam kesempatan lain, Trump memecat Direktur FBI James Comey karena Comey tak juga merespons keinginan Trump untuk menutup penyidikan kasus dugaan persekongkolannya dengan pihak Rusia pada Pilpres 2016.
Keretakan hubungan dengan Presiden Trump juga mewarnai pemberhentian John Kelly, Kepala Staf Gedung Putih. Koran The Wall Street Journal melaporkan bahwa hubungan antara Kelly dan Trump telah benar-benar rusak. Trump bahkan memerintahkan stafnya untuk ”stop calling John”.
John Kelly menjabat Kepala Staf Gedung Putih menggantikan Reince Preibus yang mengundurkan diri pada 28 Juli 2017. Total masa jabatan Kelly dihabiskan selama 499 hari. Dari 42 pejabat yang meninggalkan Gedung Putih, John Kelly terhitung cukup lama bertahan di jabatannya.
Trump kira-kira telah memerintah selama 700 hari. Jika ditelusuri lamanya waktu sebelum meninggalkan Gedung Putih, hanya 12 orang yang bertahan lebih dari 400 hari.
Beberapa pejabat lain yang cukup lama bertahan sebelum pergi dari lingkaran Trump adalah Jaksa Agung Jeff Session (636 hari), Kepala Badan Perlindungan Lingkungan Scott Pruitt (503 hari), Penasihat Dewan Keamanan Nasional Tom Bossert (445 hari), dan Wakil Direktur FBI Andrew McCabe (420 hari).
Namun, ada pula pejabat yang memiliki durasi singkat menjabat, kurang dari 100 hari. Mereka adalah Direktur Komunikasi Anthony Scaramucci dan Jaksa Agung Sally Yates yang memiliki masa jabatan selama 10 hari. Demikian pula Kepala Bidang Digital Gedung Putih Gerrit Lansing. Ia menduduki posisinya hanya selama 20 hari.
Lansing juga tercatat sebagai pejabat yang pertama kali mengundurkan diri di era Trump. Ia mengundurkan diri pada 9 Februari 2017. Sementara pejabat terakhir yang mengundurkan diri adalah Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley pada 9 Oktober 2018. Nikki mundur setelah 620 hari menjabat.
Total jumlah pejabat yang mengundurkan diri di masa pemerintahan Trump berdasarkan data yang dihimpun The Guardian dan CNN sebanyak 27 orang. Adapun pejabat yang dipecat mencapai 15 orang.
Pemecatan pertama dilakukan Trump pada 30 Januari 2017 atau sembilan hari setelah pelantikannya sebagai Presiden AS. Kala itu, Trump mengganti Jaksa Agung Sally Yates yang baru menempati jabatannya selama 10 hari.
Menilik dari jenis kelamin, dari 42 pejabat yang pergi dari Gedung Putih selama Trump menjabat, ada 10 pejabat perempuan dan 32 laki-laki. Sejumlah pejabat perempuan yang pergi dari Gedung Putih adalah Direktur Agenda Gedung Putih Caroline Wiles, Wakil Penasihat Keamanan Nasional KT McFarland, dan Direktur Komunikasi Gedung Putih Hope Hicks.
Sebagai pengganti Kepala Staf Gedung Putih, John Kelly setidaknya, Trump tengah menimbang sejumlah kandidat. Mereka adalah Direktur Kantor Manajemen dan Anggaran Gedung Putih Mick Mulvaney, kemudian Menteri Keuangan AS Steve Mnuchin, dan Kepala Kantor Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer.
Selain nama-nama tersebut, ada dua nama lain yang dinilai berpotensi, yaitu mantan manajer kampanye Trump, David Bossie dan Nick Ayers, yang saat ini menjabat Kepala Staf Wakil Presiden.
Dinamika pergantian orang di Gedung Putih sebenarnya merupakan hal yang wajar dalam kerangka konsolidasi kabinet. Namun, frekuensi bongkar pasang yang sering terjadi menunjukkan hal yang tidak lazim.
Koran The New York Times menggambarkan fenomena itu seperti pergolakan pemerintahan. ”Analysis of 21 top White House and cabinet positions back to President Bill Clinton’s first term shows how unusual the Trump administration’s upheaval was through the first 14 months of a presidency”, tulis The New York Times.
Perombakan juga membuat Trump sering dibantu oleh orang-orang baru. Saat ini setidaknya ia dibantu oleh Penasihat Keamanan Nasional yang ketiga, Direktur Komunikasi yang kelima, dan nanti, pejabat baru, akan menjadi Kepala Staf Gedung Putih yang ketiga.
Sebagai bagian dari posisi strategis, siapa pun yang menduduki posisi Kepala Staf Gedung Putih akan memiliki tanggung jawab yang besar. Dalam berbagai tugas dan kewajiban seorang kepala staf, aturan di Gedung Putih terbagi antara bertanggung jawab terhadap pengawasan aktivitas di dalam Gedung Putih dan menjalankan fungsinya sebagai koordinator seluruh staf yang ada di kantor presiden.
Dukungan orang-orang yang dapat dipercaya dibutuhkan Presiden Trump untuk menjalankan kebijakan. Namun, di sisi lain, Trump juga memerlukan konsolidasi politik agar tidak terjadi gangguan manajemen pemerintahannya akibat seringnya melakukan bongkar pasang pejabat Gedung Putih. (YOESEP BUDIANTO/LITBANG KOMPAS)