Salah Kaprah TOD (3)
Jika ingin mengembangkan kawasan TOD di sekitar stasiun atau terminal, daya dukung lingkungan di sekitarnya harus diperhitungkan. Tidak asal membangun bangunan vertikal, tetapi juga harus memperhitungkan aksesibilitas, potensi kemacetan yang terjadi, ketersediaan air, limbah, dan kemungkinan masalah sosial yang muncul. Ketersediaan infrastruktur parkir, misalnya, harus memadai bagi penghuni aparteman dan park and ride bagi penumpang kereta.
Tak kalah penting soal ketersediaan air bagi 1.500 unit rusun yang akan dibangun. Selama ini, warga Tangerang Selatan mengandalkan air tanah sebagai sumber air baku rumah tangga karena air perpipaan baru bisa mencukupi 2 persen rumah tangga.
Hal itu berarti, ketersediaan air apartemen hanya bisa tercukupi dari air tanah. Padahal, penggunaan air tanah untuk bangunan tinggi terbatas dan ada aturannya, seperti ukuran maksimal kedalaman sumur serta diharuskan membayar pajak air tanah.
Belum lagi konflik sosial yang bakal muncul. Di sekitar kawasan Stasiun Rawa Buntu telah tumbuh perkampungan padat penduduk. Bisa saja pembangunan yang dilakukan mengganggu kenyamanan warga setempat, bahkan menutup jalan kampung yang telah ada selama ini.
Selain apartemen, menurut ilustrasi Youtube mengenai aparteman Prasada Mahata, juga dibangun fasilitas komersial, seperti pusat perbelanjaan, kafe, dan restoran. Pembangunan kawasan komersial merupakan skala lokal/kecil yang dibangun untuk menyediakan kebutuhan penghuni apartemen dan penumpang kereta.
Jangan dibangun dalam skala besar seperti mal/pusat perbelanjaan besar karena akan menjadi magnet bagi warga sekitar. Kalau sudah seperti ini, prinsip transit kawasan TOD sudah salah kaprah dan akan membuat ketidaknyamanan bagi penghuni apartemen dan penumpang kereta.
Paradigma masyarakat
Kawasan TOD direncanakan sebagai kawasan dengan fungsi lahan campuran, memaksimalkan penggunaan angkutan massal, seperti BRT, MRT, KRL, dan LRT, serta dilengkapi jaringan pejalan kaki. Diharapkan dengan adanya kawasan TOD, mobilitas warga Jabodetabek akan didominasi dengan penggunaan angkutan umum yang terhubungkan langsung dengan tujuan perjalanan.
Akses menuju stasiun, terminal, atau halte pun akan terlayani dengan angkutan pengumpan, seperti angkot dan bajaj,atau bisa menggunakan sepeda dan berjalan kaki. Namun, upaya pengembangan kawasan TOD pun harus dibarengi dengan kesadaran masyarakat Jabodetabek untuk beralih menggunakan angkutan umum dan mau meningkatkan frekuensi berjalan kaki.
Survei Komuter Jabodetebek BPS 2014 menyebutkan, mobilitas penduduk Jakarta dan Bodetabek didominasi oleh penggunaan kendaraan pribadi: 58 persen sepeda motor dan 14 persen mobil. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Universitas Stanford, warga Indonesia menduduki peringkat terakhir penduduk yang rajin berjalan kaki. Rata-rata, orang Indonesia berjalan 3.513 langkah per hari. Bandingkan dengan warga Hong Kong (peringkat tertinggi) yang berjalan kaki setiap hari sebanyak 6.880 langkah.
Di atas kertas, kawasan TOD yang dibangun sesuai delapan prinsip TOD versi ITDP yang akan membuat warga bersedia berjalan kaki. Menurut ITDP, faktor-faktor kunci yang membuat berjalan kaki adalah keselamatan, keaktifan, kenyamanan, kedekatan, kelangsungan, dan bervariasi. Syarat utama dari jaringan berjalan kaki yang aman adalah menghubungkan setiap bangunan dan tempat tujuan, dapat diakses oleh semua orang, dan terlindung dari kendaraan bermotor.
Berjalan kaki bisa menjadi menarik dan aman dan produktif jika trotoar ramai, terhias, dan terisi dengan berbagai kegiatan dan media interaksi, seperti etalase toko dan restoran. Dengan wujud yang lebih menarik bagi pejalan kaki dan pesepeda yang melintas akan meningkatkan exposure dan gairah perekonomian lokal.
Selain itu, keinginan untuk berjalan kaki ditingkatkan dengan penyediaan elemen-elemen sederhana yang mendukung kondisi lingkungan berjalan kaki seperti pohon peneduh. Tak hanya pohon peneduh, tapi juga berbagai bentuk peneduh lain, seperti arkade dan kanopi.
Adapun dorongan untuk beralih menggunakan angkutan umum juga perlu didorong oleh kebijakan pemerintah untuk membatasi penggunaan kendaraan pribadi, seperti sistem ganjil genap, pajak progresif kendaraan bermotor, serta pembatasan kepemilikan kendaraan.
Properti bagi MBR
Kawasan TOD tak sekadar kawasan campuran dengan aksesibilitas tinggi terhadap angkutan massal. Namun, diharapkan salah satu fungsi lahan di dalamnya memberikan akses kepada masyarakat berpenghasilan rendah untuk ikut menghuni TOD. Hal tersebut termuat dalam salah satu sasaran prinsip mix yang menyediakan hunian berimbang, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) supaya ikut menikmati akses perjalanan yang dekat.
Pemerintah juga menegaskan pembangunan kawasan hunian TOD harus menyediakan 20 persen dari total unit untuk MBR. Hal tersebut diatur dalam UU No 20 Tahun 2011 mengenai rumah susun. Setiap pelaku pembangunan rumah susun komersial wajib menyediakan rumah susun umum sekurangnya 20 persen dari total luas lantai rumah susun komersial yang dibangun.
Penyediaan hunian untuk MBR di kawasan TOD tidak harus berada dalam satu bangunan komersial yang sama. Hunian MBR bisa dibangun terpisah di lantai yang berbeda ataupun di luar kondominium komersial, seperti membangun bangunan baru yang khusus.
Selama ini MBR hanya bisa membeli rumah di pinggiran jakarta. Setiap hari harus bekerja di pusat jakarta, menempuh jarak puluhan kilometer, berjam-jam, dan kadang berbiaya transportasi tinggi. Hunian TOD di Jakarta yang dekat dengan stasiun atau terminal bisa menjawab masalah itu.
Laman rumah123.com mencatat ada sekitar enam kawasan TOD yang menyediakan rusunami bagi MBR dengan harga dari Rp 202 juta hingga Rp 224 juta per unit, di antaranya TOD Tanjung Barat, Manggarai, Senen, Tanah Abang, Juanda, dan Rawa Buntu.
Apakah harga tersebut terjangkau oleh warga Jakarta? Diasumsikan warga kelas bawah bergaji UMP DKI 2018 sebesar Rp 3,6 juta. Kemudian harga rusunami sekitar Rp 225 juta. Dari simulasi yang dilakukan oleh laman rumah123.com, seorang warga harus membayar angsuran Rp 1,7 juta per bulan dan sebelumnya harus menyetor uang muka Rp 45 juta. Dengan gaji Rp 3,6 juta dipotong angsuran Rp 1,7 juta, berarti setiap bulan hanya tersisa Rp 1,9 juta. Jelas nilai itu tidak mencukupi untuk menanggung biaya hidup di Jakarta.
Artinya, belum tentu TOD yang dibangun BUMN tersebut bisa memenuhi kebutuhan rumah bagi warga menengah ke bawah. Mungkin bagi warga kelas menengah yang penghasilannya melebihi upah minimum bisa mencicil unit tersebut. Namun, bagaimana dengan warga kelas bawah? Harus ada skema kemudahan kredit lain bagi warga kelas bawah untuk mengangsur dengan nilai yang lebih kecil.
Jika tidak, hunian-hunian vertikal yang ada di kawasan TOD akan seperti rusunami di Jakarta yang selama ini peruntukannya melenceng (Rusunami Kalibata City dan Basura). Rusunami tersebut tidak ditinggali kelas menengah bawah, tapi dibeli oleh kelas menengah atas untuk ditinggali ataupun investasi.
Kawasan berorientasi transit merupakan hal baru bagi Indonesia. Secara teori kawasan tersebut cukup ideal untuk menjadi kawasan yang compact sekaligus berfungsi lahan campuran dan berada di dekat dua atau lebih koridor angkutan massal. Kawasan TOD akan menjawab permasalahan kemacetan lalu lintas sekaligus urban sprawl yang selama ini menjadi salah satu masalah perkotaan.
Namun, menjadi tantangan bagi Jabodetabek untuk bisa mewujudkannya. Jangan hanya menjadi kumpulan properti mangkrak dan tidak bisa menarik orang untuk menggunakan angkutan umum. (LITBANG KOMPAS)