Salah Kaprah TOD (2)
[caption id="attachment_9888397" align="aligncenter" width="1152"] Pintu masuk Stasiun Dukuh Atas, Jakarta, yang akan menjadi bagian dalam sistem pembangunan dan moda transportasi terintegrasi (TOD), Jumat (28/9/2018).[/caption]
Di atas kertas, kawasan berorientasi transit (TOD) bisa menjawab beberapa masalah kota, seperti kemacetan, polusi udara, dan urban sprawl. Namun, apakah harapan di atas kertas itu terwujud? Sekali lagi tidak mudah mewujudkan kawasan TOD pada kawasan yang telah berkembang seperti di Jakarta.
Jarak antarstasiun dan halte sekarang saja rata-rata lebih dari 1 kilometer. Bahkan, jarak antara Halte Bus transjakarta Dukuh Atas dan Stasiun BNI sampai 2 kilometer dan terpisah Jalan Sudirman. Sejumlah warga mengungkapkan, berjalan dari Stasiun Dukuh Atas ke Halte Bus Transjakarta cukup jauh sehingga mereka memilih memanfaatkan ojek daring untuk menuju tempat kerjanya di kawasan Sudirman dibandingkan dengan naik bus transjakarta.
Juga dengan akses penghubung antara stasiun KRL dan stasiun bandara yang melalui Jalan Kendal sangat tidak nyaman. Masyarakat harus melalui Jalan Kendal yang sempit dan ramai oleh antrean ojek-ojek daring di sepanjang jalan itu. Akses penghubung itu tidak ada fasilitas peneduh yang nyaman bagi masyarakat.
Dalam dokumen Aanwijzing perancangan TOD Dukuh Atas, lokasi TOD berada di bekas Pasar Blora yang berlokasi di samping Stasiun KRL Dukuh Atas. Di TOD Dukuh Atas Pasar Blora itu akan dibangun jembatan penghubung ke stasiun KRL. Selanjutnya akan dibangun fasilitas pejalan kaki berupa lingkaran yang menghubungkan stasiun kereta ringan (LRT), transportasi massal cepat (MRT), KRL, kereta bandara, dan halte transjakarta.
Namun, sebenarnya yang penting harus menyediakan akses tembus antar-stasiun-stasiun dan halte tiap 100 meter hingga 150 meter. Akses tembus itu bisa menyeberangi sungai, melewati gedung dan jalan yang akan mempermudah pejalan kaki untuk menjangkau stasiun dan halte.
Membayangkan adanya fasilitas pejalan kaki yang berada di atas Jalan Sudirman agak susah karena berarti akan ada struktur besar yang dibangun di atas kawasan Sudirman. Membangun struktur besar di tengah kawasan yang telah berkembang cukup sulit karena rata-rata merupakan properti milik swasta. Tidak mudah juga meminta properti swasta tersebut untuk membuat akses penghubung karena rata-rata merupakan bangunan masif yang telah jadi.
Tantangan selanjutnya bagaimana meminimalkan luasan area yang ditujukan bagi kendaraan bermotor. Jangan sampai separuh bangunan TOD Dukuh Atas menjadi tempat parkir (park and ride) bagi kendaraan bermotor milik penumpang angkutan massal.
Parkir tetap harus disediakan dengan ketentuan 10 persen dari luas areal TOD. Namun, lebih penting adalah menyediakan parkir sepeda dan jalur sepeda yang nyaman bagi warga di sekitar TOD ataupun bagi penumpang angkutan massal.
TOD KAI
Perdebatan dari berbagai pihak terus muncul terkait dengan sejumlah TOD yang dibangun di dekat stasiun kereta api, seperti TOD Tanjung Barat, Rawa Buntu, dan Pondok Cina. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2030 dan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 44 Tahun 2017 secara jelas telah mengatur kriteria kawasan TOD, yakni berlokasi pada perpotongan koridor dua atau lebih angkutan massal yang salah satunya berbasis rel. Hal itu berarti kawasan TOD harus berada dekat dengan lokasi stasiun dan terminal atau halte. TOD Dukuh Atas-lah yang bisa menjawab ketentuan itu.
Apabila kawasan TOD dibangun dekat satu jenis moda massal saja, hal itu tidak bisa disebut TOD. Hal itu juga ditegaskan oleh Tuty Kusumawati, Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta, di harian Kompas (10/10/2017), yang menyebut bahwa kalau hanya ada satu jenis moda angkutan, lalu di sekitarnya dibangun hunian atau area bisnis, itu bukan TOD.
Namun, salah kaprah itu tetap saja terjadi. Sejumlah pihak badan usaha milik negara yang bertanggung jawab membangun TOD menafikan aturan itu. Mereka memahami bahwa kawasan TOD merupakan bangunan hunian atau komersial yang dibangun di dekat stasiun atau terminal. Bahkan, dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2018, tidak semua 54 TOD yang ditetapkan sesuai dengan kriteria TOD dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 44/2017.
Dari penelusuran Litbang Kompas, ada 15 kawasan TOD yang berlokasi di dekat stasiun dan terminal/halte, seperti TOD Blok M, TOD Dukuh Atas, TOD Harmoni, TOD Lebak Bulus, TOD Jakarta Kota, TOD Senen, dan TOD Manggarai.
Sebanyak 22 TOD hanya berlokasi dekat dengan stasiun, seperti TOD Tanjung Barat, TOD Rawa Buntu, dan TOD Pondok Cina. Selanjutnya 11 TOD berlokasi dekat dengan terminal/halte, seperti TOD Kampung Rambutan, Baranangsiang, Pancoran, Jatijajar, Tanah Baru, Gunung Putri, dan Pondok Cabe. Bahkan, ada 5 TOD yang tidak berlokasi atau berdekatan dengan stasiun kereta, terminal bus, ataupun halte.
Mengapa kawasan TOD harus berada pada perpotongan koridor dua atau lebih angkutan massal rel dan jalan? Sesuai dengan definisinya, kawasan TOD bukan sekadar kawasan campuran permukiman dan komersial saja, melainkan juga harus berfungsi sebagai sarana integrasi dan transit bagi warga yang ingin berpindah moda dari angkutan rel ke bus, atau sebaliknya.
Jika kawasan hunian atau komersial dibangun mendekati stasiun atau terminal saja tidak ada fungsi transit, perpindahan, atau integrasi, kawasan itu lebih tepat disebut kawasan bangkitan transportasi, ujung dari suatu mobilitas transportasi. Atau bisa jadi menjadi kawasan tarikan transportasi jika di situ dibangun sebagai kawasan komersial berskala besar yang menjadi magnet bagi masyarakat untuk mengunjunginya. Prinsip transit sebagai persyaratan utama TOD tak terpenuhi.
Kawasan dengan konsep compact and mixed used development tersebut bisa jadi hanya seperti kawasan mini superblok. Bedanya dengan kawasan superblok besar adalah kawasan ini berdekatan dengan stasiun kereta atau terminal. Namun, sejumlah superblok mixed used land yang telah dibangun di dekat stasiun kereta tidak bisa menyelesaikan persoalan kemudahan akses (walk, cycle, connect) dan keterpaduan.
Sebut saja kawasan superblok Kalibata yang terdiri atas Apartemen Kalibata City, Apartemen Green Palace Kalibata, dan Apartemen Pancoran Riverside. Kawasan itu merupakan kawasan yang compact dan terdiri atas berbagai fungsi lahan. Namun, tidak ada akses penghubung antar-apartemen, fasilitas komersial, dan stasiun kereta yang nyaman. Malah kawasan itu sedikit banyak berubah menjadi kawasan tarikan transportasi karena adanya Mal Kalibata City Square dan Plaza Kalibata.
Konsep properti seperti kawasan Kalibata itu diadopsi oleh pengembang properti lain. Catatan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) 2016 dikutip dari paparan ”Transit Oriented Development (TOD) sebagai Agenda Pembangunan Transportasi dan Tata Ruang” menyebutkan, unit apartemen di sekitar stasiun kereta meningkat 25 persen selama 2014-2017. Kemudian di Bodebek, properti bertumbuh 31 persen dan di Tangerang melonjak tinggi hingga 125 persen.
Sebenarnya, perkembangan itu cukup bagus karena berarti akan mengurangi mobilitas masyarakat menggunakan kendaraan pribadi dengan mendekatkan hunian ke stasiun kereta. Namun, tetap saja masyarakat tidak mau beralih menggunakan angkutan umum karena angkutan umum dan aksesibilitas ke stasiun belum nyaman.
Jika ingin mengembangkan kawasan TOD di sekitar stasiun atau terminal, daya dukung lingkungan di sekitarnya harus diperhitungkan.
Sebagai contoh TOD Rawa Buntu yang menurut rencana akan dibangun di atas Stasiun Rawa Buntu. Tidak asal membangun bangunan vertikal, tetapi juga harus memperhitungkan aksesibilitas, potensi kemacetan yang terjadi, ketersediaan air, limbah, dan kemungkinan masalah sosial yang muncul.
Dari sisi aksesibilitas, Pemerintah Kota Tangerang Selatan harus bisa melakukan rekayasa lalu lintas untuk mengatur kendaraan yang keluar masuk apartemen dan stasiun. Sekarang saja Jalan Raya Rawa Buntu sebagai akses utama stasiun setiap jam berangkat dan pulang kantor selalu dipenuhi oleh mobil, ojek daring, taksi, hingga angkot yang menunggu di pintu keluar stasiun. Kemacetan tak terhindarkan karena rata-rata mobil dan taksi menunggu hingga dua lapis memenuhi jalan.
Selanjutnya ketersediaan infrastruktur parkir bagi penghuni apartemen serta park and ride bagi penumpang kereta. Kondisi saat ini parkir park and ride hanya tersedia di satu sisi stasiun yang jelas tidak bisa menampung kendaraan yang ada.
Akibatnya sebagian kendaraan memilih parkir di lahan parkir milik warga di sekitar stasiun. Jika nanti kawasan TOD telah jadi, parkir yang disediakan harus lebih banyak lagi. Sekaligus mengatur lahan parkir milik warga yang selama ini juga menyumbang keruwetan di sekitar stasiun. (BERSAMBUNG)
(LITBANG KOMPAS)