Tidak Lebih Baik dari Daerah Induk
[caption id="attachment_9867909" align="aligncenter" width="1024"] Para gubernur, wali kota, dan bupati menandatangani berkas pengusulan daerah otonomi baru saat acara Konsolidasi Nasional Pembentukan Daerah Otonom Baru di Gedung Nusantara V, Gedung MPR/DPR, Jakarta, Selasa (4/10/2016). Acara yang dihadiri 4 gubernur dan 163 wali kota/bupati dari seluruh Indonesia tersebut mendesak pemerintah untuk menetapkan 172 daerah otonom baru. [/caption]
Tahun 2018 menginjak tahun ketiga moratorium pemekaran wilayah. Sambil menunggu pemerintah pusat membuka keran pemekaran kembali, sejumlah provinsi dan kabupaten/kota tengah aktif mempersiapkan dan mengusulkan daerah otonom baru yang masuk daftar usulan ke Kementerian Dalam Negeri.
Pemekaran wilayah terakhir terjadi pada 2014, dan pada 2015 pemerintahan Presiden Joko Widodo memberlakukan moratorium pemekaran sampai batas waktu yang belum ditentukan. Sejak 2014, provinsi di Indonesia berjumlah 34 provinsi dengan 98 kota dan 416 kabupaten.
Total kabupaten dan kota di Indonesia menjadi 514 kabupaten/kota, bertambah 215 kabupaten/kota atau 42 persen sejak 1999. Kabupaten Muna Barat, Kabupaten Buton Tengah, dan Kabupaten Buton Selatan di Sulawesi Tenggara adalah tiga daerah otonom terakhir yang dibentuk pada 2014, tepatnya 23 Juli 2014.
Hanya soal waktu keran pemekaran wilayah dibuka lagi. Saat ini pemerintah masih memiliki ketegasan untuk menahan laju pertambahan daerah otonom baru. Ada aturan baru yang sedang dibahas untuk syarat pembentukan daerah otonom baru.
Sambil menunggu aturan baru tersebut, pemerintah melakukan penjajakan untuk mengembalikan daerah yang telah dimekarkan ke wilayah induk jika gagal berkembang. Pembahasan mengenai hal ini mesti dilakukan dengan kehati-hatian agar tidak menimbulkan masalah baru seperti konflik horizontal di daerah. Harus ada tolok ukur yang tepat dan obyektif mengenai penilaian gagal berkembang agar tidak berbuah penolakan.
Pertumbuhan ekonomi dan IPM
Jika dilakukan analisis sederhana dengan beberapa indikator, seperti pertumbuhan ekonomi dan indeks pembangunan manusia (IPM), serta diperbandingkan antara daerah induk dan daerah otonom baru, terlihat kondisi sejumlah kabupaten/kota baru yang tidak lebih baik dibandingkan daerah induknya.
Dari 215 daerah otonom baru yang dianalisis, pada 2017 diketahui 115 kabupaten/kota (53,5 persen) mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan daerah induknya. Hanya 99 kabupaten/kota (46 persen) yang pertumbuhan ekonomi daerahnya lebih rendah dibandingkan daerah induk. Sementara ada satu daerah, yaitu Kabupaten Seluma, yang pertumbuhan ekonominya sama dengan daerah induknya, Kabupaten Bengkulu Selatan, yaitu pada angka 5,01 persen.
Melalui indikator tunggal pertumbuhan ekonomi, dapat dikatakan kondisi daerah pemekaran rata-rata sudah baik, cukup berkembang. Setiap daerah yang baru dimekarkan tentunya memiliki sektor unggulan untuk menggerakkan roda perekonomiannya.
Untuk melihat lebih dalam, analisis tidak saja membandingkan daerah otonom baru dengan daerah induknya, tetapi juga membandingkan perkembangan pertumbuhan ekonomi di setiap daerah otonom baru dan daerah induk dalam rentang lima tahun terakhir (periode 2012-2017).
Hasilnya, baik daerah induk maupun daerah otonom baru mengalami perlambatan ekonomi dalam porsi yang hampir sama besarnya. Dari 126 daerah induk, sebanyak 74,6 persen kabupaten/kota pertumbuhan ekonominya menurun dalam lima tahun terakhir. Sementara di antara 215 daerah otonom baru, sebanyak 74,9 persen juga mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi dalam periode waktu yang sama.
Dari 34 provinsi, terdapat 10 provinsi dengan semua daerah otonom baru yang ada di wilayahnya mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi selama lima tahun terakhir. Ke-10 provinsi itu adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Bengkulu, Kepulauan Bangka Belitung, Banten, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Barat.
Sementara itu, semua daerah otonom baru yang berada di wilayah Provinsi DKI Jakarta dan Nusa Tenggara Barat justru mengalami kenaikan pertumbuhan ekonomi selama periode 2012-2017.
Apabila dilihat melalui indikator lain, seperti IPM, kondisinya berkebalikan dengan hasil pada indikator pertumbuhan ekonomi. Jika banyak daerah otonom baru yang mengalami pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dibandingkan daerah induk, sebaliknya, terdapat lebih banyak daerah otonom baru yang IPM-nya lebih rendah dibandingkan IPM di daerah induk.
Sebanyak 148 daerah otonom baru (68,8 persen) memiliki IPM lebih rendah dibandingkan daerah induk. Hanya 67 daerah otonom baru yang IPM-nya lebih tinggi dibandingkan daerah induknya. Artinya, dua dari tiga daerah otonom baru kondisi sumber daya manusianya masih lebih rendah dibandingkan daerah induknya.
Kombinasi indikator
Pemekaran wilayah sejatinya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bisa dilihat dengan membaiknya perekonomian daerah dan meningkatnya kualitas sumber daya manusia. Kondisi di daerah otonom baru tidak boleh kalah dari kondisi daerah induk.
Untuk melihat hal itu, jika indikator pertumbuhan ekonomi dikombinasikan dengan indikator IPM, didapat masih ada 34,5 persen daerah otonom baru (75 kabupaten/kota) yang pertumbuhan ekonomi dan IPM-nya lebih rendah dibandingkan daerah induk.
Sementara itu, hanya 43 daerah otonom baru (20 persen) yang baik pertumbuhan ekonomi maupun IPM-nya lebih tinggi dibandingkan daerah induk. Dengan demikian, masih ada hampir separuh daerah otonom baru (45,5 persen) dengan kondisi daerah yang biasa-biasa saja, tidak lebih baik tapi juga tidak lebih buruk dibandingkan daerah induk. Daerah-daerah ini memiliki salah satu indikator yang lebih buruk dibandingkan daerah induk.
Jika ditambahkan satu indikator lagi untuk melihat kesejahteraan masyarakat, yaitu angka kemiskinan, maka sekitar separuh daerah otonom baru, 113 kabupaten/kota (52,6 persen), memiliki angka kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan daerah induknya. Selebihnya (47,4 persen), angka kemiskinan di daerah otonom baru lebih rendah dibandingkan daerah induk.
Jika tiga indikator dikombinasikan (pertumbuhan ekonomi, IPM, dan angka kemiskinan), diketahui terdapat 51 daerah otonom baru memiliki kondisi yang lebih buruk dibandingkan daerah induknya. Artinya, sebanyak 23,7 persen kabupaten/kota baru memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah, IPM yang juga lebih rendah, dan angka kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan daerah induk.
Daerah otonom baru di Provinsi Papua termasuk daerah yang paling banyak memiliki kondisi yang lebih buruk dibandingkan daerah induknya. Sepuluh dari 22 daerah otonom baru di Provinsi Papua memiliki pertumbuhan ekonomi lebih rendah, IPM lebih rendah, dan angka kemiskinan lebih tinggi dibandingkan daerah induk. Ke-10 daerah tersebut adalah Kabupaten Paniai, Puncak Jaya, Asmat, Boven Digoel, Keerom, Mappi, Lanny Jaya, Dogiyai, Intan Jaya, dan Mamberamo Raya.
Daerah yang serupa kondisinya dengan ke-10 kabupaten/kota di Papua itu tersebar di provinsi lain, seperti di Papua Barat, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara.
Angka 51 kabupaten/kota baru atau 23,7 persen dengan tiga indikator lebih buruk dibandingkan daerah induk ini tidak bisa disebut kecil. Apalagi jika dikaitkan dengan rencana pemerintah untuk menggabungkannya kembali dengan daerah induk karena dianggap gagal berkembang.
Perlu kajian lebih lanjut dan komprehensif dengan menambahkan indikator lain yang relevan untuk membuat keputusan daerah mana yang perlu digabung kembali. Indikator lain itu misalnya kemampuan fiskal daerah, tata kelola pemerintahan, dan indeks korupsi. Risiko politik juga perlu dipertimbangkan seperti halnya ketika faktor politis juga digunakan untuk alasan memekarkan suatu wilayah.
Memberikan waktu bagi daerah otonom baru untuk memperbaiki kondisi daerahnya agar bisa menjadi lebih baik dari daerah induknya juga perlu dilakukan. Tidak semua daerah otonom baru berkondisi buruk dibandingkan daerah induk, baik dengan satu indikator, dua indikator, maupun tiga indikator.
Daerah percontohan
Terdapat pula daerah yang berkondisi lebih baik dibandingkan daerah induk dalam artian memiliki pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, IPM lebih tinggi, dan angka kemiskinan lebih rendah dibandingkan daerah induk. Sayangnya, jumlah yang lebih baik dari daerah induk itu masih sedikit. Hanya 31 daerah otonom baru yang memiliki daerah dengan kriteria tersebut (14,4 persen).
Sebanyak 19 dari 31 daerah yang bagus tersebut (63,3 persen) merupakan daerah yang berbentuk kota. Empat kota terdapat di Pulau Jawa, yaitu Depok, Cilegon, Tangerang Selatan, dan Batu.
Sebanyak 15 kota lainnya berada di luar Jawa, yaitu Langsa, Padang Sidimpuan, Pariaman, Sungai Penuh, Dumai, Pagar Alam, Lubuk Linggau, Metro, Bima, Tomohon, Kotamobagu, Bau-Bau, Ternate, Tidore, dan Sorong.
Seluruh daerah yang bagus ini bisa menjadi daerah percontohan bagi daerah otonom lain untuk memperbaiki kondisi sehingga tidak dianggap gagal berkembang. (LITBANG KOMPAS)