Darurat Perang Rusia-Ukraina
Di luar sengketa Semenanjung Crimea, hubungan antara Rusia dan Ukraina sebenarnya telah lama diselimuti bayang-bayang konflik. Potensi perselisihan itu terjadi antara lain pada lanskap geopolitik, jalur pipa gas, dan perairan Laut Hitam.
Ukraina memiliki luas wilayah 603.500 kilometer persegi dengan populasi mencapai 44,8 juta pada 2017. Lanskap Ukraina sering digambarkan sebagai negeri dengan dua sisi: bagian barat pro-Eropa dan bagian timur pro-Rusia. Hal ini tidak terlepas dari kondisi geografis Ukraina.
Terdapat enam negara yang berbatasan langsung dengan Ukraina. Wilayah bagian timur berbatasan dengan Rusia, bagian barat berbatasan dengan Polandia, Slowakia, dan Hongaria, sedangkan bagian barat daya berbatasan dengan Romania dan Moldova. Itulah sebabnya sering disebutkan Ukraina berada di antara dua kekuatan dunia, Uni Eropa dan Rusia.
Posisi geografis tersebut juga membelah geopolitik penduduk Ukraina. Wilayah barat Ukraina berdasarkan bahasa, kultural, dan agama sangat mirip karakteristiknya dengan Polandia.
Tidak heran jika mayoritas penduduk wilayah barat yang sehari-harinya berbahasa Ukraina adalah pendukung Uni Eropa dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Adapun wilayah Ukraina timur memiliki karakteristik yang mirip dengan Rusia, antara lain sebagian besar penduduknya sehari-hari berbahasa Rusia.
Mayoritas rakyat yang bermukim di wilayah timur ini juga percaya bahwa kerja sama bilateral dengan Rusia adalah hal yang paling realistis dan menguntungkan (Kompas 28/11/2004).
Walau pernah disatukan dalam ikatan Uni Soviet, konflik terus mewarnai pasang surut hubungan kedua negara. Hal ini tidak dapat dilepaskan kepentingan politik dan ekonomi kawasan.
Ukraina merupakan wilayah penting bagi Barat dan Rusia. Pelabuhan Sevastopol yang terletak di Laut Hitam menjadi pangkalan bagi armada selatan Angkatan Laut Rusia. Ukraina juga merupakan daerah penyangga antara Rusia dan wilayah timur yang sebagian besar kini sudah menjadi anggota NATO.
Dari sisi ekonomi, pipa-pipa gas dan minyak Rusia yang dialirkan ke Uni Eropa juga melewati Ukraina. Ketergantungan Uni Eropa atas pasokan gas dari Rusia mencapai seperlima dari total kebutuhannya.
Tidaklah mengherankan, terhentinya pasokan gas Rusia selama satu atau dua hari saja akan membuat aktivitas industri di sejumlah negara Uni Eropa terganggu.
Perseteruan Rusia dan Ukraina tidak bisa dilepaskan dari tiga potensi konflik di atas. Pada 1992, misalnya, kedua negara berunding memecahkan masalah pengurangan senjata dan pembagian armada Laut Hitam pascabubarnya Uni Soviet.
Persoalan gas juga pernah terjadi pada 2009. Saat itu, Rusia menghentikan pengiriman gas karena bersilang pendapat dengan Ukraina mengenai patokan harga gas yang dibeli Ukraina dari Rusia ataupun soal sewa penggunaan jalur pipa gas Rusia ke Uni Eropa.
Konflik skala besar yang melibatkan kedua negara adalah masalah sengketa kepemilikan Semenanjung Crimea pada 2014. Perseteruan saat itu tidak dapat dilepaskan dari gejolak politik yang terjadi di Ukraina.
Aksi unjuk rasa akbar bergulir menentang kebijakan Presiden Viktor Yanukovych yang pro-Rusia. Presiden Yanukovych kemudian digulingkan parlemen. Pihak Rusia kemudian memanfaatkan kemelut politik untuk menganeksasi Crimea.
Crimea kemudian menyatakan kemerdekaan dan pada 2015 Rusia secara sepihak menyatakan Crimea sebagai bagian dari wilayahnya. Klaim Moskwa atas Crimea diperkuat saat Rusia membangun jembatan di Selat Kerch.
Crimea merupakan wilayah semenanjung yang menjorok ke Laut Hitam. Di wilayah itu, penduduk beretnis Rusia mendominasi dengan 58,5 persen, diikuti etnis Ukraina (24,4 persen), dan Tatar (12,1 persen).
Dalam sejarahnya, wilayah ini menjadi perebutan kedua belah pihak. Pada 1921, Crimea menjadi daerah otonom Republik Sosialis Soviet. Kemudian pada 1945, wilayah tersebut berubah menjadi Crimea Oblast, yang masuk wilayah administratif Rusia. Perubahan kembali terjadi saat Uni Soviet pada 1954 menyerahkan Crimea kepada Ukraina.
Referendum pada 2014 tidak membuat konflik padam. Pada Desember 2016, Ukraina melakukan peluncuran misil di dekat Crimea. Tindakan tersebut diklaim Rusia sebagai pelanggaran perjanjian internasional. Tensi konflik kembali meningkat pada akhir pekan lalu.
Ketegangan dua negara ini memuncak saat Rusia menahan tiga kapal dan melukai pelaut-pelaut Ukraina yang sedang berlayar memasuki Laut Azov dari arah Selat Kerch pada 25 November 2018. Selat tersebut menghubungkan Laut Azov dengan Laut Hitam.
Saat kejadian, Rusia memblokade lalu lintas perairan dengan menempatkan kapal barang besar di sepanjang jalur kapal di Selat Kerch serta mengerahkan sejumlah pesawat dan helikopter tempur.
Helikopter perang Rusia melakukan aksi dengung dengan terbang di ketinggian 50 meter dari atas kapal Ukraina. Sekitar pukul 20.30 waktu setempat, kapal Rusia melepas tembakan.
Pihak Rusia mengklaim bahwa kapal Ukraina telah memasuki perairan teritorial Rusia secara ilegal. Di luar itu, setiap kapal yang akan melintas harus meminta persetujuan. Oleh karena itu, Ukraina kemudian memberlakukan darurat militer.
Kejadian tersebut tidak dapat dilepaskan dari insiden sebelumnya saat Ukraina menahan kapal penangkap ikan Rusia pada Maret 2018. Setelah kejadian tersebut, Rusia memeriksa semua kapal yang berlayar ke atau dari pelabuhan Ukraina di Laut Azov.
Ukraina menuduh Rusia berusaha menduduki Laut Azov dan merusak sektor ekonomi dengan menghambat akses pelabuhannya.
Melihat hubungan yang makin memanas, NATO meminta kedua negara menahan diri agar tidak terjadi perang. Hal senada juga disuarakan Uni Eropa yang mengimbau Rusia memulihkan kebebasan akses di Selat Kerch.
Perseteruan Ukraina dengan Rusia yang telah berlangsung sejak lama memiliki masalah mendasar yang laten. Namun, sejarah juga mencatat kedua negara pernah sepakat menyelesaikan konflik.
Di bidang milier dan politik, Rusia dan Ukraina pernah menandatangani Traktat Persahabatan dan Kerja Sama pada 31 Mei 1997. Selain itu, ada pula Memorandum Penjaminan Keamanan dalam kaitan dengan akses Ukraina ke Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir yang ditandatangani pada 5 Desember 1994 di Budapest.
Capaian-capaian perdamaian tersebut dapat menjadi bekal kedua negara untuk kembali mengakhiri konflik dan mengupayakan perdamaian abadi di Semenanjung Crimea, juga di bidang ekonomi. (YOESEP BUDIANTO/LITBANG KOMPAS)