Inikah Era Baru bagi Warga Lansia?
Pengesahan peraturan daerah tentang Kesejahteraan Lansia oleh DPRD Bali pada awal November lalu membawa angin segar bagi kehidupan orang-orang lanjut usia. Ia mengawali sebuah era, minimal di Bali, di mana warga lansia mendapatkan jaminan kesejahteraan yang lebih pasti daripada daerah-daerah lain.
Peraturan Daerah (Perda) tentang Kesejahteraan Lansia yang merupakan inisiatif DPRD ini disahkan dalam Sidang Paripurna DPRD Bali, Selasa (6/11/2018). Perda yang berisi 13 bab dan 49 pasal tersebut memberikan jaminan prioritas berupa layanan kesehatan hingga layanan pekerjaan bagi orang-orang lanjut usia (lansia) yang masih produktif.
Dengan perda itu, semua rumah sakit di Bali nantinya wajib menyediakan Unit Layanan Geriatri, yaitu layanan kesehatan yang berfokus pada penanganan pencegahan penyakit gangguan kesehatan akibat penuaan. Rumah sakit yang tidak menyiapkan unit ini akan dikenai sanksi administrasi oleh pemerintah setempat.
Perda tersebut juga mewajibkan pemerintah daerah menyediakan graha wredha dan rumah singgah bagi warga lansia. Graha wredha merupakan pusat kegiatan dan komunikasi orang lansia, sedangkan rumah singgah merupakan tempat transit atau penitipan orang lansia yang sifatnya sementara.
Bali merupakan salah satu provinsi yang memiliki penduduk berusia 60 tahun atau lebih (lansia) berjumlah 4,2 juta jiwa atau 10 persen dari jumlah penduduknya. Persentase ini lebih tinggi daripada rata-rata nasional jumlah lansia yang 8,97 persen. Tingginya jumlah penduduk lansia di Bali dipicu oleh perbaikan kualitas hidup di sana.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Bali yang mencapai 74,3, di atas rata-rata nasional yang 70,1. Kualitas pendidikan, kesehatan, dan daya beli yang meningkat berdampak positif pada meningkatnya angka harapan hidup di Bali, yang pada akhirnya mendorong tingginya jumlah orang lansia.
Di tengah minimnya perhatian masyarakat dan pemerintah pusat terhadap kalangan lansia, apa yang dilakukan oleh wakil rakyat di Bali dapat memberikan inspirasi baru bagi daerah-daerah lain dan pemerintah pusat untuk lebih peduli pada penduduk lansia yang rentan terhadap penyakit dan keterasingan sosial.
Jika ditelisik dari sejarah pemikiran pengentasan masalah warga lansia, kita dapat menengok hingga ke masa Orde Lama dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1965 tentang Pemberian Bantuan Penghidupan Orang Jompo. Namun, seiring berjalannya waktu, permasalahan orang lansia terus berkembang sehingga kebijakan tersebut dirasa kurang sesuai dengan kondisi warga lansia Indonesia pada periode 1990-an.
UU itu kemudian diganti dengan UU No 13/1998 tentang Kesejahteraan Lansia. Undang-undang tersebut antara lain memuat ketentuan bahwa warga lansia memiliki hak untuk meningkatkan kesejahteraan sosial yang meliputi pelayanan keagamaan dan mental spiritual, pelayanan kesehatan, dan pelayanan kesempatan kerja.
Selain itu, penduduk lansia juga berhak mendapatkan pelayanan pendidikan dan pelatihan, kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana, dan prasarana umum, kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum, perlindungan sosial, dan bantuan sosial.
Pada masa Reformasi, muncul UU No 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Namun, kembali tidak ada langkah riil yang cukup dirasakan manfaatnya oleh orang lansia. Hingga saat ini, misalnya, belum terlihat peran khusus yang bersifat luas dari pemerintah dalam membantu penduduk lansia telantar mendapatkan kesejahteraan sosial mereka ataupun perlindungan hukum yang jelas.
Padahal, dalam Pasal 9 dan Pasal 10 undang-undang tersebut secara tegas telah dinyatakan bahwa jaminan sosial harus menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar penyandang masalah kesejahteraan sosial. Jaminan sosial berupa asuransi kesejahteraan sosial itu hingga kini tidak ada realisasinya.
Program-program pelayanan dan pemberdayaan orang lansia sebagaimana yang kemudian tertuang di dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 19 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelayanan Sosial Lansia juga terasa lebih sebagai proyek-proyek percontohan berskala kecil. Di antaranya berupa pelayanan dalam panti, program pendampingan sosial lansia melalui perawatan di rumah (home care), program asistensi sosial lanjut usia telantar (ASLUT), pelayanan sosial kedaruratan bagi warga lansia, program family support lansia, day care services, pengembangan kawasan ramah lansia, dan program lansia tangguh.
Berbagai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan bagi penduduk lansia juga termuat dalam agenda Kabinet Kerja (2015-2019) sebagaimana yang tertuang dalam RPJMN 2015-2019. Agenda ini menekankan dua hal pokok, yaitu peningkatan pemenuhan hak dasar dan inklusivitas, serta penguatan skema perlindungan sosial bagi warga lansia. Namun, sejauh ini belum terasa gerak nyata yang menyeluruh dari agenda tersebut.
Hingga kini, sebagian penduduk lansia yang kurang beruntung tetap tidak mendapatkan tempat dan penanganan yang layak. Mereka pun sering kali tidak tahu bahwa ada pemerintah yang seharusnya mengurusi masa depan mereka. Terlunta-lunta di jalan atau terperangkap di dalam bilik tanpa uluran tangan masih menjadi cerita keseharian penduduk lansia di Indonesia.
Kisah Udjan dan Yoga
Pada tahun lalu kita dikejutkan oleh berita tentang seorang pria lanjut usia bernama Udjan Susanto (74) yang ditemukan dalam keadaan telantar di atas saluran air (got). Ketika ditemukan, ia sedang tiduran dengan kondisi sakit dan sudah buang air kecil dan besar di celana. Ia sudah empat hari tak berdaya di depan SD Widuri Indah, Kelurahan Duri Utara, Jakarta Barat. Warga lansia itu menderita diabetes akut.
Setelah ditelusuri oleh Petugas Pelayanan Pengawasan dan Pengendalian Sosial (P3S) Suku Dinas Sosial Jakarta Barat, ternyata warga lansia tersebut memiliki tiga anak. Satu orang di Kelurahan Duri Utara, seorang di Depok, dan seorang lagi merantau jauh. Selama ini ia lebih sering tinggal di rumah anaknya di Depok. Namun, ketika suatu hari berkeinginan tinggal di rumah anaknya yang di Duri Utara, ia mendapat penolakan dan terpaksa hidup menggelandang di jalanan.
Sumarno Susanto, anaknya, sudah tidak mengakuinya sebagai orangtuanya. Secarik kertas di saku Udjan seolah memberikan legalitas pengusiran anak terhadap orangtuanya. Dalam surat yang ditandatangani secara sepihak itu, Sumarno menyatakan bahwa dirinya sudah tak memiliki hubungan dengan Udjan sejak tahun 2012 sehingga merasa tak lagi memiliki tanggung jawab sebagai seorang anak. Surat itu ditandatangani di atas meterai dan dibubuhi cap Ketua RT 007 RW 006 beserta Ketua RW 006 Kelurahan Duri Utara.
Berkebalikan dengan kisah itu, seorang anak kecil dengan telaten merawat nenek buyutnya seorang diri. Helmi Fayoga yang baru berusia 11 tahun harus mengorbankan waktu bermainnya untuk merawat sang nenek buyut yang sakit parah seorang diri.
Bocah yang akrab disapa Yoga ini tinggal bersama nenek buyutnya, Samunti (93), di sebuah rumah sederhana di Dusun Murong RT 036 RW 011, Desa Mayangan, Jogoroto, Jombang, Jawa Timur. Ayah Yoga meninggal enam tahun lalu dalam usahanya mencari nafkah. Ibunya kemudian meninggalkan Yoga dan tak diketahui keberadaannya. Tidak pernah mengirim uang ataupun kabar.
Dua kisah di atas tidak saja menggambarkan betapa sengsaranya menjadi orang lansia, tetapi juga menunjukkan lemahnya hukum di negeri ini dalam melindungi kelompok usia tua. Dua warga lansia dalam tragedi itu hanya sekelumit cerita dari sekitar 2,1 juta orang lansia yang telantar di Indonesia. Dari jumlah itu, hanya sekitar 10 persen yang mendapat jaminan sosial karena minimnya anggaran yang disediakan.
Lemahnya hukum
Kisah Udjan dan Yoga mungkin tidak akan terjadi jika terdapat hukum yang kuat untuk mengatur hubungan antara anak dan orangtua yang lebih pasti. Sejauh ini belum ada hukum nasional yang secara khusus mengatur hak-hak orangtua yang diperoleh dari anak dan kewajiban anak terhadap orangtua.
Jika pun ada, cenderung tersebar di sejumlah undang-undang lain dan masih memiliki banyak kekurangan. Sifatnya juga baru sebatas kewajiban moral. Kalaupun ada sanksi, hanya memberikan hukuman pada lingkup tindakan yang sangat terbatas.
Pasal 46 UU No 1/1974 tentang Perkawinan atau yang biasa disebut UU Perkawinan menyebutkan: (1) anak wajib menghormati orangtua dan menaati kehendak mereka yang baik; dan (2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orangtua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya. Akan tetapi, tidak dicantumkan sanksi jika seorang anak yang telah dewasa tidak melaksanakan kewajiban itu.
Pengertian dewasa dalam undang-undang tersebut juga tidak ada batasan yang tegas. Yang ada hanya pengertian tentang apa yang disebut anak, yaitu mereka yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Namun, di luar UU itu dapat dijumpai variasi pengertian tentang dewasa. Misalnya, menurut Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dewasa adalah mereka yang telah mencapai umur 21 tahun atau telah menikah.
Perlindungan terhadap orangtua juga seolah hanya ”nyangkut” di UU No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga atau UU PKDRT.
Pasal 9 UU PKDRT menyebutkan: ”(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut; (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut”.
Sekalipun cukup terlindungi dengan adanya ketentuan tersebut, tetapi batasan ”lingkup rumah tangga” tidak menjamin orang-orangtua yang hidup sendirian atau terpisah dari anak-anaknya mendapat hak atas kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan dari anak-anaknya. Berdasarkan hasil Susenas Kor 2017 oleh BPS, terdapat 9,8 persen orang lansia yang tinggal sendirian dan 18.89 persen yang hanya bersama pasangannya.
Kata ”menetap dalam rumah tangga tersebut” pada Pasal 2 dapat membelenggu hak-hak tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Ayat (1) UU PKDRT, lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi: ”a. suami, istri, dan anak; b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut”.
Dengan demikian, orang-orangtua, terlebih kaum lansia, menghadapi persoalan yang makin rumit untuk dapat bertahan hidup di lingkungan sosialnya. Jika tidak ada perlindungan hukum yang menyeluruh, tidak hanya kesulitan hidup yang dihadapi, tetapi mereka menghadapi kekerasan struktural oleh negara. Kekerasan struktural terjadi secara sistematis karena negara mengabaikan atau memberi ruang bagi terjadinya tindakan yang menekan keberlangsungan hak-hak masyarakat secara wajar.
Meningkat dua kali lipat
Penduduk lansia di Indonesia, menurut catatan BPS, berjumlah 23,4 juta jiwa atau 8,97 persen dari total penduduk Indonesia 2017. Selama kurun lima dekade (1971-2017), persentase orang lansia telah meningkat sekitar dua kali lipat, dari semula hanya 4,5 persen. Tahun 2035, setelah bonus demografi, Indonesia diperkirakan akan memiliki 48 juta orang lansia.
Penduduk lansia Indonesia didominasi oleh kelompok umur 60-69 tahun (lansia muda) yang persentasenya mencapai 5,65 persen dari penduduk Indonesia, sisanya diisi oleh kelompok umur 70-79 tahun (lansia madya) dan 80+ (lansia tua). Jumlah perempuan lansia (9,47 persen), 1 persen lebih banyak dibandingkan laki-laki lansia yang 8,48 persen.
Dukungan sosial penduduk lansia seharusnya bisa berasal dari pasangan atau keluarga. Sayangnya, sebanyak 4 dari 10 orang lansia hidup tanpa pasangan dan 1 dari 10 orang lansia tinggal sendirian. Perempuan lansia yang hidup tanpa pasangan tiga kali lebih besar daripada lelaki lansia. Melemahnya dukungan terhadap mereka membuat orang lansia kian rentan dan meningkatkan risiko atas keparahan penyakit yang berujung kematian.
Dalam konteks seperti ini, apa yang dilakukan oleh DPRD dan Pemerintah Provinsi Bali terhadap kaum lansia di Pulau Dewata itu ibarat menguak sebuah era baru bagi kaum lansia. Tentunya jika daerah-daerah lain di Indonesia juga secepatnya mereplikasikannya. (LITBANG KOMPAS)