Meneropong Celah di Balik Perkembangan Teknologi
Kemunculan aplikasi-aplikasi digital yang ber-feature revolusioner membuat pengguna internet semakin ketagihan dan masif. Diperkirakan tahun 2020 setiap orang akan menghasilkan data digital hingga 1,7 megabyte per detik. Jika cerdik, terjangan tsunami data digital ini justru menjadi harta karun yang tidak ternilai harganya.
Jumlah pengguna internet di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2017, survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat pengguna internet di Indonesia mencapai 143,3 juta jiwa atau 54,7 persen dari total populasi penduduk. Padahal, ketika tahun 2012, jumlahnya masih sekitar 63 juta jiwa atau 24,2 persen total penduduk. Artinya, dalam lima tahun ada lonjakan dua kali lipat lebih.
Ponsel pintar atau tablet menjadi perangkat favorit yang menghubungkan sebagian besar masyarakat dengan internet. Dari hasil jajak pendapat Kompas terungkap, 44,2 persen responden murni mengandalkan gawai jenis itu untuk mengakses internet. Sementara itu, ada juga 39,3 persen responden yang juga masih mengunakan komputer atau laptop.
Ponsel pintar kini semakin populer karena selain harga kian terjangkau, banyak fungsi di komputer yang dapat digantikan ponsel pintar itu. Tidak hanya memiliki satu unit, ada juga sebagian kecil responden (4,3 persen) yang memiliki lebih dari satu ponsel pintar atau tablet.
Masifnya penggunaan gawai di Indonesia berkolerasi dengan manfaat internet yang dirasakan langsung oleh banyak masyarakat. Internet tidak lagi hanya digunakan untuk mengirim surat elektronik dan mencari informasi melalui mesin pencari seperti Google, tetapi juga untuk menonton video streaming, media sosial, membeli barang, hingga mencari ojek atau taksi.
Berbagai kemudahan ini tidak lepas dari banyaknya pilihan aplikasi yang dapat diakses ponsel pintar baik secara gratis maupun berbayar. Laman Statista mencatat, hingga Desember 2017 terdapat 3,5 juta aplikasi Android yang tersedia di Google Play Store. Belum lagi ditambah 2,2 juta aplikasi IOS yang juga tersedia pada Januari 2017.
Media sosial menjadi aplikasi yang paling banyak diinstal hingga tahun 2018. Menurut laman androidrank.org, peringkat pertama dengan jumlah lebih dari 5 triliun instal diraih Google Play Service. Di peringkat berikutnya disusul aplikasi Facebook dengan 4,6 triliun instal, Facebook Messenger 3,7 triliun instal, Whatsapp Messenger 3,2 triliun instal, dan Instagram 2,1 triliun instal.
Aplikasi peringkat ke-5 terbaik ini semuanya dikembangkan orang di luar negeri. Walau demikian, pengembang aplikasi buatan anak negeri juga sudah mulai unjuk gigi. Seperti PT Aplikasi Karya Anak Bangsa, pengembang aplikasi Go-Jek, telah berhasil meraih 50 juta instal. OLX Indonesia yang mengembangkan aplikasi OLX-Jual Beli Online juga berhasil meraih 26,2 juta instal. Ada juga Traveloka yang mengembangkan Traveloka Book Flight and Hotel dengan raihan 21,6 juta instal.
Di balik maraknya sejumlah aplikasi itu, ada ide kreatif yang muncul dari anak-anak muda Indonesia. Contohnya aplikasi Go-Jek yang dibangun oleh Nadiem Makarim sejak tahun 2011. Nadiem adalah pemuda Indonesia kelahiran Singapura, 4 Juli 1984.
Begitu juga aplikasi Traveloka yang dibangun Ferry Unardi bersama dua kawannya, Derianto Kusuma dan Albert Zhang, sejak Oktober 2012. Ferry merupakan pemuda kelahiran Padang, Sumatera Barat, pada 16 Januari 1988. Ada juga aplikasi Bukalapak.com yang didirikan Achmad Zaky sejak 2010. Achmad merupakan pemuda kelahiran Sragen, Jawa Tenagh, 24 Agusus 1986.
Tiga pendiri start up atau perusahan rintisan berbasis aplikasi ini merupakan salah satu contoh pemuda Indonesia yang terbilang sukses. Bahkan, ketiganya telah masuk ke dalam start up bergelar unicorn. Gelar ini diberikan kepada start up yang memiliki nilai valuasi lebih dari 1 miliar dollar AS. Nilai valuasi merupakan nilai dari suatu start up, nilai yang bukan sekadar diperoleh dari investor.
”Big data”
Gratis bukan alasan utama aplikasi seperti Go-Jek, Traveloka, dan Bukalapak.com diinstal hingga jutaan pengguna. Buktinya banyak aplikasi gratis lain yang tersedia di Google Play tetapi tidak banyak diminati. Pelaku start up memiliki strategi khusus untuk semakin mengetahui kebutuhan pengguna aplikasi mereka. Strategi ini telah mengubah banyak skema bisnis dan sosial masyarakat. Mereka memanfaatkan strategi analisis big data.
Menurut Bernard Marr (2016), ide big data mengacu bahwa semua yang kita lakukan akan meninggalkan jejak digital/data. Jumlah data yang tersedia secara harfiah akan semakin banyak. Bahkan, dua tahun terakhir sebelum 2016, Marr menyebutkan data yang diciptakan lebih banyak dibandingkan sejarah umat manusia sebelumnya. Tahun 2020 diperkirakan setiap manusia di planet ini akan menghasilkan 1,7 megabyte data baru setiap detik.
Data ini tidak hanya datang dari jutaan pesan dan e-mail yang dikirim setiap detiknya melalui Gmail, Whatsapp, Facebook, atau Twitter. Namun juga dari 1 triliun foto digital yang diambil setiap tahunnya dan peningkatan jumlah data video. Setiap menit tercatat ada sekitar 300 jam video baru yang diunggah di Youtube dan 3 juta video di Facebook.
Selain itu, ada juga data yang diperoleh dari sejumlah sensor di sekitar kita. Ponsel pintar terbaru telah memiliki sensor untuk mengetahui posisi kita (GPS), seberapa cepat kita bergerak (akselerometer), arah hadap posisi kita (kompas), seberapa sering kita menekan layar (sensor sentuh), dan masih banyak lagi. Semua data ini terkoneksi melalui internet. Melimpahnya data ini dapat kita/lainnya gunakan dan menganalisisnya untuk menjadi lebih pintar.
Hal inilah yang dijadikan peluang bagi sejumlah pelaku start up di Indonesia dan di seluruh dunia. Contohnya Go-Jek yang memanfaatkan data pengguna aplikasi seperti rekam jejak perjalanan, jenis makanan yang dibeli, daftar belanjaan, hingga jadwal pijat. Data ini mereka kumpulkan dan dianalisis untuk menebak kebiasaan setiap pengguna aplikasi.
Maka tidak heran jika kita membuka aplikasi ini kemudian memilih Go-Ride atau Go-Car, pada kolom tujuan muncul beberapa alamat yang sering dijadikan tujuan pelanggan. Jika tebakan itu benar, pengguna tidak perlu banyak klik sehingga mereka lebih senang dan makin adiktif dengan aplikasi Go-Jek.
Begitu juga Bukalapak.com yang juga menganalisis big data untuk mengembangkan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Bukalapak menggunakan AI untuk mengenali dan memprediksi suatu pola seperti perilaku penipuan dari sebuah transaksi. Selain itu, AI juga dapat digunakan untuk memberikan rekomendasi jenis belanjaan yang biasa dicari si pembeli. Hal ini dapat dirasakan ketika suatu saat seorang pengguna aplikasi ini mencari barang di Bukalapak.
Contohnya seorang pembeli lensa kamera. Tidak lama kemudian, produk-produk lensa kamera dan sejenisnya akan muncul di sela-sela iklan di media sosial si pengguna aplikasi Bukalapak ini. Setiap aplikasi memberi nama berbeda untuk jenis iklan seperti ini, misalnya Adsense untuk Google.
Hal serupa juga dilakukan perusahaan di Amerika, yaitu Facebook. Perusahaan rintisan Mark Zuckerberg ini memanfaatkan data lebih dari 1,5 miliar pengguna yang aktif setiap bulannya. Data yang mereka manfaatkan lebih detail dibandingkan aplikasi lain karena lebih personal. Facebook dapat mengakses data demografi pengguna, seperti lokasi tinggal, lokasi bekerja, jumlah teman yang dimiliki, hobi, hingga film/buku/musik favorit.
Data ini salah satunya mereka gunakan untuk menawarkan iklan produk dari banyak perusahaan sesuai dengan karakteristik setiap pengguna. Hasilnya tahun 2014 Facebook berhasil menguasai 24 persen pasar iklan daring di Amerika dengan pendapatan 5,3 miliar dollar AS.
Tidak hanya ”start up”
Banyak perusahaan konvensional juga turut memanfaatkan big data untuk kelangsungan bisnis mereka. Salah satunya Walmart, salah satu perusahaan ritel terbesar di dunia dengan lebih dari 2 juta pegawai dan 20.000 toko di 28 negara. Perusahaan yang berdiri sejak 1962 ini memanfaatkan big data untuk semakin memahami kebutuhan pelanggan dan menyediakan produk yang mereka butuhkan.
Analisis big data mereka lakukan sejak 2011 dengan mendirikan @WalmartLabs. Melalui big data, Wilmart memperbaiki masalah yang terjadi di toko mereka di belahan bumi mana pun hanya dalam waktu sekitar 20 menit. Padahal, sebelumnya membutuhkan waktu dua hingga tiga minggu. Tahun 2015, Walmart dapat mengolah data cloud hingga 2,5 petabyte informasi per jamnya.
Big data juga digunakan di dunia kepolisian dengan menggunakan teknologi automatic number-plate recognition (ANPR). ANPR merupakan teknologi elektronik berupa kamera yang dapat mendeteksi pelat nomor kendaraan secara otomatis. Melalui alat ini, pelanggar lalu lintas dapat langsung ditilang melalui bukti rekaman pelanggaran beserta plat nomornya. Pengguna jalan yang kedapatan melanggar akan mendapat surat konfirmasi dan diharuskan membayar denda. Sebelum ada ANPR, tilang dilakukan secara manual oleh petugas/polisi di lokasi kejadian pelanggaran.
Teknologi ANPR ini telah digunakan di banyak negara. Contohnya Australia pertama kali menggunakan ANPR tahun 2005, Jerman tahun 2008, Belgia tahun 2011, dan Denmark tahun 2015. Bahkan, Indonesia juga sudah menerapkan teknologi ini sejak 2017. Kala itu Kota Surabaya menjadi kota pertama yang menggunakan ANPR. Tahun ini giliran Jakarta yang menerapkan electronic traffic law enforcement (E-TLE) menggunakan ANPR sejak 1 November 2018 di sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin.
Perkembangan teknologi tidak dapat dimungkiri lagi. Kondisi ini tidak akan berdampak buruk jika kita mau adaptif dan memanfaatkan celah yang ada. Sejumlah anak muda Indonesia telah membuktikannya. Melalui analisis big data, perahu kecil akan tetap bertahan menghadapi terjangan tsunami data digital yang akan terus membesar. (LITBANG KOMPAS)