Di Angkasa Kita Berjaya
Ruang udara Indonesia tak pernah hampa dari karya dan buah pikir anak bangsa. Selama lebih dari tujuh dekade, loyalitas dan kemampuan mereka selalu menghidupkan jiwa optimisme bagi dunia kedirgantaraan di tanah air. Karya dan semangat sejumlah tokoh ini dapat menjadi refleksi di tengah sejumlah persoalan pada dunia penerbangan Indonesia.
Indonesia selalu melahirkan tokoh yang berperan penting dalam dunia kedirgantaraan. Tokoh-tokoh ini berhasil merajut Indonesia yang merupakan negara kepulauan melalui sejumlah karya dalam dunia penerbangan. Mereka berperan melintas zaman seiring tumbuhnya Indonesia sebagai negara kesatuan.
Pada masa revolusi, bidang militer menjadi ajang kontribusi anak bangsa pada dunia kedirgantaraan. Sejumlah tokoh seperti Moeljono, Leonardus Willem Johannes Wattimena, dan sejumlah penerbang lainnya turut berperan dalam menjaga eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara yang baru saja merdeka.
Nama mereka memang tak semuanya dikenang sebagai pahlawan nasional. Namun, semangat dan kontribusi yang dihasilkan turut menghiasi narasi kepahlawanan Indonesia masa itu. Indonesia mampu menyejajarkan diri dengan negara lain dalam dunia penerbangan berkat kemampuan yang mereka miliki.
Moeljono salah satunya, ia merupakan tulang punggung bagi Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) pada periode awal kemerdekaan. Ia pernah memperoleh limited commercial licence dari Dewan Penerbangan Sipil di Manila, Filipina, tahun 1947.
Pada saat penyerahan aset Militaire Lucthvraat atau Angkatan Udara Belanda ke Indonesia pada tahun 1950, Moeljono turut menyaksikan penyerahan pesawat Mustang. Pesawat ini merupakan salah satu pesawat tempur tersohor saat itu.
Menariknya, Moeljono mampu menyejajarkan diri dengan penerbang terlatih dari Belanda. Belajar secara otodidak, ia mampu melakukan penerbangan solo dengan pesawat P-51 Mustang. Para penerbang dan instruktur dari Angkatan Udara Belanda pun tertegun melihat kemampuannya (Iswadi, 2003).
Penerbang kelahiran Pare, Jawa Timur, 13 Maret 1923 ini juga memiliki kegemaran melakukan manuver dan atraksi. Salah satu manuver yang dapat dilakukannya adalah dive atau menyelundup. Strategi ini pernah digunakan oleh Moeljono dalam sejumlah misi saat menghadapi agresi militer Belanda tahun 1947.
Aksi ini kembali ia perlihatkan pada tahun 1951 di langit Kota Surabaya dalam rangka peringatan hari jadi AURI. Namun, Moeljono gugur dalam atraksinya. Kemampuannya melakukan dive yang diikuti slowroll atau gerakan memutar pesawat harus berakhir di kota pahlawan.
Moeljono gugur setelah menunjukkan bahwa Indonesia telah memiliki penerbang handal pada awal masa kemerdekaan. Aksinya dalam melakukan manuver di udara kemudian dilanjutkan oleh sejumlah penerbang handal lainnya seperti Leonardus Willem Johannes Wattimena yang dapat melakukan manuver putar balik hingga 360 derajat saat pesawat baru saja lepas landas.
Sosok Pemikir
Selain dalam bidang militer, Indonesia juga memiliki sejumlah tokoh pemikir dalam dunia kedirgantaraan. Tokoh seperti Nurtanio, Wiweko Soepono, Yum Soemarsono, hingga Bacharuddin Jusuf Habibie, merupakan beberapa pemikir yang mampu menimbulkan semangat kemandirian dalam dunia penerbangan Indonesia.
Nurtanio adalah perintis industri pesawat terbang di Indonesia. Meskipun dengan keterbatasan di masa revolusi, Nurtanio berhasil merakit pesawat. Gagasan pertamanya diawali dengan membuat glider atau pesawat terbang tanpa motor (Soeparno, 2004). Ide ini terealisasi setelah kayu jamuju yang dibutuhkan untuk pembuatan pesawat ditemukan di bukit-bukit sekitar daerah Malang, Jawa Timur. Uji terbang dilakukan setelah Nurtanio memperoleh pinjaman sepeda motor yang berfungsi untuk menarik pesawat sebelum diterbangkan.
Pesawat glider ini dinamakan NWG-1, NWG merujuk pada Nurtanio-Wiweko-Glider. Wiweko yang menjadi nama tengah dari pesawat ini adalah nama atasan Nurtanio yang turut memeriksa rancangan pesawat sebelum proses pembuatan. Jelang akhir 1946, Nurtanio dan timnya berhasil membuat enam pesawat dengan jenis yang sama.
Nurtanio kemudian dikirim ke Filipina untuk mempelajari teknologi penerbangan di FEATI Institute of Technology pada tahun 1948. Nurtanio kembali membuat sebuah pesawat terbang ringan di Manila. Usai menempuh pendidikan, Nurtanio kembali ke Indonesia dan merancang berbagai pesawat terbang. Kali ini, pesawat anti gerilya menjadi target Nurtanio. Pesawat ini dilengkapi dengan senjata otomatis untuk menembak dari udara ke darat.
Karya Nurtanio kembali mengundang perhatian pihak asing. Pesawat yang bernama Si Kumbang-01 dengan nomor registrasi NU-200 saat uji coba diterbangkan oleh pilot uji Kapten Powers asal Amerika Serikat di tahun 1954. Menurut Powers, hasil karya Nurtanio ini sangat memuaskan. Tiga tahun kemudian (1957), pesawat Si Kumbang-02 diluncurkan untuk menyempurnakan Si Kumbang-02. Tak berhenti di situ, hingga dekade 1960-an Nurtanio terus menghasilkan karya dari pesawat latih, pesawat olahraga, pesawat penyemprot hama, hingga helikopter.
Nurtanio gugur dalam sebuah uji coba penerbangan di Bandung, Jawa Barat, tahun 1966. Salah satu mesin pesawat Super Aero-45 yang ia piloti mati. Pesawat tersebut baru selesai diperbaiki setelah dibeli dari sebuah Aero Club. Nurtanio gugur bersama Supadio, salah seorang rekannya yang ikut dalam penerbangan tersebut. Untuk mengenang jasanya, Nurtanio diabadikan sebagai nama pesawat N219 buatan PT Dirgantara Indonesia dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional yang diluncurkan pada 2017 lalu.
Gugurnya Nurtanio tak membuat Indonesia kehilangan sosok pemikir pada bidang penerbangan. Pada dekade yang sama, muncul sosok penting bernama Bacharuddin Jusuf Habibie. Habibie hadir saat dunia penerbangan internasional mengalami kesulitan untuk mendeteksi kerusakan konstruksi pesawat. Merujuk data dari Aviation Safety Network (ASN), angka kecelakaan pesawat di dunia pada dekade 1960-an rata-rata mencapai 64 kejadian. Pada tahun 1961 misalnya, jumlah kecelakan mencapai 64 kejadian dengan total korban jiwa sebanyak 1.345 orang. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2017 sebanyak 14 kejadian.
Titik rawan kerusakan saat itu adalah pada sambungan antara sayap dan badan pesawat atau antara sayap dan dudukan mesin (Bimoseno, 2014). Pada saat inilah Habibie hadir dengan teori penjalaran retak (crack) pada logam pesawat. Berkat teori ini, dunia penerbangan menjuluki Habibie sebagai Mr. Crack. Selain membuat pesawat lebih aman, pemikiran Habibie juga membuat pemeliharan pesawat menjadi lebih mudah dan efisien.
Di dalam negeri, Habibie meneruskan semangat Nurtanio. Bedanya, Habibie fokus pada pengembangan penerbangan komersil. Pada tahun 1995, pesawat N-250 dengan nama Gatotkaca berhasil dibuat oleh Habibie dengan sejumlah anak bangsa lainnya. Pesawat dengan enam bilah baling-baling ini mampu terbang dengan kecepatan maksimal 610 kilometer per jam.
Habibie menggunakan teknologi fly by wire pada pesawat ini. Teknologi ini memiliki keunggulan yang bisa memberikan peringatan apabila terdapat komponen yang gagal beroperasi. N-250 menjadi pesawat kedua yang menggunakan teknologi ini setelah Airbus.
Karya Habibie ini menjadi inspirasi bagi dunia penerbangan di Indonesia. Nama Habibie pun hingga kini masih disegani oleh dunia internasional berkat sejumlah hak patennya. Habibie tak hanya menjadi narasi kepahlawanan di Indonesia, namun juga dunia berkat idenya dalam hal keselamatan penerbangan.
Tantangan
Pengakuan dunia internasional bagi karya sejumlah tokoh dirgantara Indonesia semestinya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan dunia penerbangan tanah air. Sayangnya, kualitas layanan penerbangan Indonesia masih belum konsisten. Menurut data dari ASN, Indonesia merupakan negara dengan jumlah kecelakaan fatal tertinggi di Asia dan peringkat kedelapan di dunia. Sejak tahun 1945 hingga tahun 2018, terdapat 99 kecelakaan penerbangan yang merenggut 2.224 jiwa.
Salah satu kecelakaan penerbangan yang menyita perhatian adalah saat AdamAir jatuh di barat laut Kota Makassar, Sulawesi Selatan, pada tahun 2007. Pesawat dengan nomor penerbangan KI-574 ini berangkat dari Surabaya menuju Manado. Berdasarkan temuan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), terdapat kerusakan pada alat bantu navigasi atau Inertial Reference System.
Terbaru, pesawat PK-LQP Lion Air JT 610 jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat pada 29 Oktober 2018. Pesawat dengan rute Jakarta-Pangkal Pinang ini mengangkut 181 penumpang dan tujuh awak pesawat. Berdasarkan temuan awal dari KNKT, pesawat ini mengalami kerusakan pada indikator kecepatan udara. Kerusakan ditemukan pada empat penerbangan terakhir sebelum pesawat jatuh. Temuan ini berdasarkan data 19 penerbangan pesawat tersebut yang terekam dalam flight data recorder (FDR) (Kompas, 6/11/2018).
Selain dampak langsung yang menimpa penumpang, jaminan keamanan yang belum optimal ini juga memengaruhi tingkat kepercayaan dunia terhadap maskapai Indonesia. Pada tahun 2007, Uni Eropa memberlakukan larangan terbang bagi maskapai penerbangan Indonesia dari dan menuju Uni Eropa. Maskapai Indonesia dianggap belum memenuhi standar keselamatan penerbangan berdasarkan aturan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO).
Larangan mulai dicabut pada sejumlah maskapai di antara tahun 2009 hingga 2011 yaitu untuk Garuda Indonesia, Indonesia Air Asia, Airfast Indonesia, dan Ekspres Transportasi Antarbenua. Lion Air, Batik Air, dan Citilink menyusul dikeluarkan dari daftar larangan tahun 2016. Baru-baru ini Komisi Eropa merilis EU Air Safety List yang mengeluarkan 55 maskapai penerbangan Indonesia dari daftar larangan terbang Uni Eropa.
Tak hanya dari luar negeri, larangan terbang juga beberapa kali diberlakukan terhadap sejumlah maskapai oleh otoritas dalam negeri dengan alasan keselamatan. Pada tahun 2005 misalnya, 15 pesawat dilarang terbang karena dinilai kurang laik. Larangan ini berlaku bagi 13 pesawat tipe Boeing 737-200, satu pesawat tipe Boeing 737-300, dan satu pesawat tipe Airbus 330. Pesawat ini milik sejumlah maskapai, yaitu Batavia (enam pesawat), Mandala (empat pesawat), serta Jatayu, Merpati, Awair, Garuda Indonesia, dan Adam Air masing-masing satu pesawat (Kompas, 5/10/2005).
Pencabutan larangan terbang ini juga diiringi oleh sejumlah penghargaan dunia internasional bagi dunia penerbangan di Indonesia. Tahun ini, Garuda Indonesia memperoleh penghargaan sebagai awak kabin terbaik dan satu dari 10 maskapai terbaik di dunia dari Skytrax, sebuah lembaga independen pemeringkat penerbangan di London, Inggris.
Tak hanya itu, Indonesia juga menerima penghargaan dari Organisasi Penerbangan Sipil Internasional. Pada tahun 2017, dari seluruh indikator penilaian, Indonesia memperoleh nilai tertinggi pada sektor kelaikan udara. Sementara sektor dengan poin terendah adalah pada bidang investigasi kecelakaan penerbangan. Sektor ini juga menjadi poin terendah pada rata-rata penilaian secara global.
Sejumlah prestasi ini seharusnya tak membuat dunia penerbangan di Indonesia lengah. Semangat dan ide yang diwariskan oleh para tokoh sebelumnya perlu diteruskan generasi mendatang dalam dunia penerbangan.
Narasi kepahlawanan memang berbeda sesuai zeitgeist atau jiwa zaman masing-masing periode. Pengorbanan sejumlah tokoh dan prestasi maskapai dalam dunia penerbangan saat ini dapat menjadi bagian baru dalam narasi kepahlawanan sektor dirgantara. Indonesia setidaknya mampu membuktikan telah memiliki kemampuan yang sejajar dengan dunia penerbangan internasional, sejak dahulu hingga kini. (Sugihandari dan Dedy Afrianto/Litbang Kompas)