Menakar Partisipasi di Pemilu Sela AS
Selasa 6 November 2018, Amerika Serikat menggelar pemilu sela, yang berlangsung di tengah periode kepemimpinan presiden yang sedang berkuasa. Pemilu sela memperebutkan 435 kursi di majelis rendah atau DPR Amerika Serikat (House of Representatives).
Selain itu pemilu sela juga memilih 35 dari 100 kursi yang ada di Majelis Tinggi atau Senat AS. Selain perebutan kursi di Kongres, pemilihan tersebut juga memperebutkan 36 dari 50 gubernur negara bagian AS.
Sekalipun memperebutkan sejumlah kursi strategis di Kongres dan sejumlah jabatan gubernur, rendahnya tingkat partisipasi pemilih menjadi persoalan yang kerap terjadi dalam pemilu sela di AS.
Rata-rata partisipasi pemilih dalam pemilu sela sepanjang 1990-2014 menunjukkan ajang pemilihan tersebut hanya diikuti 39,3 persen pemilih.
Selama tujuh kali pemilihan terakhir, pemilu sela 2014 tercatat sebagai yang terendah partisipasinya. Berdasar data United States Election Project, tingkat partisipasi dalam pemilu sela 2014 adalah 36,7 persen. Jumlah ini lebih rendah ketimbang saat 2010 sebesar 41,0 persen dan pemilu sela 2006 yang mencapai 40,4 persen.
Jika ditelisik dari sisi jenjang usia, tingkat partisipasi pemilu sela menunjukkan antusiasme yang cenderung tinggi dari kalangan lanjut usia. Dalam empat kali pemilu sela, rata-rata partisipasi kelompok usia di atas 60 tahun tersebut mencapai 57,15 persen.
Pada pemilu sela 2014, tidak kurang dari sekitar 54,9 persen penduduk usia lanjut di AS mantap menyampaikan pilihannya. Namun, bagi kalangan yang berusia relatif lebih muda, antusiasme tersebut justru semakin rendah.
Masyarakat usia 45-59 tahun yang berpartisipasi dalam pemilu sela 2014 tercatat sebanyak 42 persen, diikuti kelompok usia 30-44 tahun sebesar 30 persen. Kelompok usia muda (18-29 tahun) merupakan klaster pemilih yang paling minim partisipasinya dalam pemilu sela, hanya mencapai 16 persen.
Rendahnya tingkat partisipasi pemilu sela terlihat apabila dibandingkan dengan pemilihan presiden (pilpres). Jika rata-rata partisipasi pemilih dalam pemilu sela sepanjang 1990-2014 hanya mencapai 39,3 persen, pilpres mencatat angka lebih tinggi sebesar 57 persen. Ini artinya lebih dari separuh pemilih di AS selalu memberikan suaranya saat memilih presiden.
Tingkat partisipasi terbesar sepanjang tujuh pilpres terakhir di AS dicapai saat pemilihan tahun 2008. Saat itu tingkat partisipasinya mencapai 61,6 persen. Pada pilpres tahun itu, Barrack Obama terpilih sebagai Presiden AS mengalahkan Senator John McCain.
Rendahnya partisipasi pemilu sela di AS juga terlihat dibandingkan dengan pemilu di Indonesia. Partisipasi warga Indonesia di Pemilu Presiden 2014 tercatat sebesar 69 persen, sedangkan saat Pemilu Legislatif 2014 mencapai 75 persen.
Ragam upaya dilakukan kandidat dan partai politik untuk meningkatkan partisipasi pemilih. Hal ini perlu dilakukan mengingat partisipasi politik menjadi kunci utama dukungan suara yang diperebutkan dalam pemilu sela atau midterm election.
Partai Demokrat, misalnya, harus bekerja keras agar bisa menambah 23 kursi untuk menguasai DPR. Partai ini juga berharap meraup dukungan pemilih agar bisa memecahkan rekor mengirim perempuan ke Kongres.
Demokrat juga ingin mencatatkan diri sebagai partai yang banyak mencalonkan warga Muslim. Modal awal untuk bisa melakukan target tersebut adalah jika banyak pemilih berpartisipasi dalam pemilu sela dan memberikan dukungan.
Untuk menambah partisipasi pemilih sekaligus meraup dukungan pemilih, tokoh-tokoh parpol dikerahkan untuk menyambangi kantong-kantong suara pemilih. Dua tokoh yang menjadi ikon parpol berupaya menambang suara publik. Kubu Republik menampilkan Donald Trump, Presiden AS saat ini.
Pada Pilpres 2016, Trump mendapat 304 suara elektoral, jauh mengungguli calon Demokrat, Hillary Clinton, yang hanya mendapat 227 suara. Trump berhasil merebut suara di wilayah Florida, Pennsylvania, Ohio, dan North Carolina, yang memiliki jumlah suara elektoral besar. Sementara dari kubu Demokrat menurunkan Barrack Obama, yang dua periode sebelumnya menjabat Presiden AS, untuk meraup dukungan masyarakat.
Dua isu yang diusung masing-masing kubu untuk meraup dukungan pemilih menjadi perhatian koran The Washington Post. Trump kembali menggunakan strategi andalannya, yaitu ancaman imigran bagi Amerika.
Di Minnesota kampanye Partai Republik bahkan menayangkan video kampanye berisi gambaran rombongan imigran berwajah khas Amerika Latin mengepalkan tangan berbondong-bondong datang ke AS.
Pendekatan berbeda ditunjukkan kubu Demokrat yang lebih menyasar kelompok yang kerap terpinggirkan, seperti kaum perempuan. Hal ini terlihat dari munculnya gerakan akar rumput, seperti LSM perempuan Pave it Blue, yang secara sukarela bergerak untuk membantu mendongkrak suara Partai Demokrat di Atlanta, Georgia.
Masifnya kampanye yang dilakukan dua kubu politik ini sedikit banyak mempengaruhi antusiasme warga. Koran LA Daily News mencatat, di wilayah California terdapat 19,6 juta warga yang telah terdaftar untuk memilih di pemilu sela kali ini. Angka tersebut naik hingga 1,9 juta dari pemilu paruh waktu sebelumnya yang diadakan pada 2014.
Antusiasme juga terlihat dari pengumpulan dana. Kampanye pemilihan senator tahun ini memecahkan rekor tertinggi. Penggalangan dana yang dilakukan Partai Demokrat mencapai 551 juta dollar AS, melampaui pengumpulan dana Partai Republik sebesar 368 juta dollar AS. Sementara untuk DPR, kubu Demokrat berhasil mengumpulkan 680 juta dollar AS, sedangkan Republik mendulang 540 juta dollar AS (Kompas 3/11/2018).
Partisipasi juga terlihat dari jumlah pemilih yang memberikan suara sebelum hari pemilihan. Hingga satu hari menjelang 6 November, tercatat 36,4 juta suara masuk dari mereka yang mengikuti pemungutan suara dini. Sebagai perbandingan, pada pemilu sela tahun 2014, total pemilih yang mengikuti pemungutan suara dini adalah 24 juta orang.
Denyut antusias publik AS dalam pemilu sela menjadi dahaga di ajang pemilu sela. Meningkatnya antusiasme warga dalam pemilu setidaknya dapat dimaknai dalam dua sisi.
Dari sisi internal pemilih, hal ini bisa ditangkap dalam konteks meningkatnya faktor kesadaran politik. Sedangkan dari sisi eksternal, membesarnya partisipasi di pemilu dapat dilihat sebagai bentuk kepercayaan kepada sistem politik.
Fenomena ini bisa dimaknai sebagai masih terjaganya tingkat kepercayaan pemilih terhadap sistem politik yang sedang berlangsung. Sebab, jika tidak memiliki modal kepercayaan terhadap sistem politik, partisipasi pemilih pasti ikut tergerus.
United States Election Project memberikan prediksi tingkat partisipasi di pemilu sela 2018 dapat mencapai 48 persen. Melihat data tingkat partisipasi dalam pemilu-pemilu sela sebelumnya, prediksi ini tergolong tinggi.
Jika benar prediksi tingkat partisipasi mencapai angka 48 persen, berarti memecahkan rekor partisipasi di pemilu sela sepanjang 48 tahun terakhir. Tingkat partisipasi tertinggi terakhir yang bisa dicapai pada pemilu sela 1970 sebesar 47,3 persen. Sesudahnya, hingga pemilu sela 2014, tingkat partisipasi tidak lebih dari 41 persen. (RANGGA EKA SAKTI/LITBANG KOMPAS)