Pemilih Bimbang Punya Siapa?
Keberadaan pemilih bimbang atau belum menentukan suara (undecided voter) sering kali membuka peluang bagi kontestan politik untuk tetap berharap limpahan dukungan saat pemilu nanti.
Kelompok pemilih ini tidak saja berada di luar pemilih yang sudah menetapkan suaranya, tetapi juga ada di dalam setiap pemilih yang sudah menetapkan suara. Kelompok pemilih mengambang inilah yang menjadi rebutan semua kontestan politik.
Hasil survei Kompas mencatat, baik pilihan terhadap partai politik maupun pilihan terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden, pemilih bimbang atau swing voter muncul sebagai bagian dari ekspresi pilihan politik.
Meskipun angkanya jauh di bawah pemilih yang sudah menentukan suara, potensi kelompok ini tetap menjadi perhatian serius bagi banyak kalangan yang berkepentingan, terutama bagi partai politik ataupun pasangan kandidat di pemilihan presiden.
Mengapa demikian? Karena potensi kekuatan suara yang ada dalam undecided voter atau kelompok mengambang tetap besar. Dari kelompok pilihan partai politik, pemilih bimbang atau belum menentukan pilihan politik tercatat sebanyak 20,4 persen.
Angka ini sebenarnya menurun dibandingkan dengan survei-survei sebelumnya yang digelar Litbang Kompas. Pada survei April 2018, misalnya, angka pemilih bimbang mencapai 28,8 persen, bahkan di survei pertama sejak berakhirnya Pemilu 2014, yakni Januari 2015, angka pemilih mengambang tercatat 30,2 persen.
Perbandingan dengan survei sebelumnya ini menunjukkan ada gejala semakin mendekati pemilu, angka pemilih mengambang memang cenderung menurun. Salah satunya tentu terkait kepastian jumlah dan nama-nama partai politik yang menjadi peserta Pemilu 2019.
Meskipun demikian, angka 20,4 persen ini potensinya akan bertambah terutama dari kelompok pemilih partai politik yang mengaku pilihannya hanya sementara. Artinya, masih terbuka peluang untuk mengubah pilihan partainya saat pemungutan suara 17 April 2019.
Jika dijumlahkan dengan potensi pemilih mengambang dari pemilih partai politik, tentu angkanya lebih dari 20,4 persen. Rata-rata pemilih yang mengatakan akan bisa berubah pilihan ini masing-masing mencapai 41 persen dari semua responden pemilih partai politik. Artinya, jika dijumlahkan dengan pemilih yang belum menentukan pilihan, angkanya mencapai 60 persen dari pemilih.
Menariknya, partai-partai besar seperti PDI-P, Gerindra, dan Golkar, yang sejauh ini elektabilitasnya tinggi, angka pemilih bimbangnya tercatat juga tinggi, berkisar 45-50,6 persen dari jumlah pemilihnya. Artinya, separuh responden pemilih partai-partai ini masih bimbang dan membuka peluang untuk berubah atau memutuskan tetap memilih partai tersebut.
Hal yang sama terjadi pada pemilih pasangan calon presiden-wakil presiden. Dari pilihan responden, sebanyak 14,7 persen adalah kelompok responden yang belum menentukan suaranya akan diberikan kepada pasangan mana. Jumlah undecided voter relatif lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pemilih bimbang pada pilihan partai politik.
Hal ini menjadi potret memilih dalam pemilihan presiden relatif lebih diminati dan tentu lebih mudah bagi pemilih. Bayangkan saja, dari segi jumlah, kontestan dalam pemilihan legislatif jauh lebih banyak dibandingkan dengan kontestan pada pemilihan presiden.
Faktor lainnya tentu tingkat popularitas kontestan. Hal ini tidak lepas dari mudahnya publik mengakses informasi terkait profil pasangan calon presiden-wakil presiden dibandingkan dengan memahami puluhan ribu calon anggota legislatif dari 16 partai politik nasional yang akan berlaga di Pemilu 2019.
Apalagi keterbukaan informasi terkait kontestan lebih mudah bagi publik untuk mencari informasi terkait pasangan calon presiden-wakil presiden dibandingkan profil calon anggota DPR. Hal ini tidak lepas dari adanya sejumlah calon anggota DPR yang tidak bersedia biodata lengkapnya dibuka kepada publik. Tentu, hal ini menjadi salah satu batasan bagi publik untuk mengenal lebih jauh sosok calon anggota legislatifnya.
Sama halnya dengan swing voter dalam pemilihan legislatif, pada pemilu presiden pun, angka pemilih bimbang juga ditemukan di setiap kelompok pemilih Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandiaga. Rata-rata sebanyak sepertiga pemilihnya mengatakan masih terbuka peluang untuk mengubah pilihannya.
Pada kelompok responden pemilih Jokowi-Ma’ruf, sebanyak 30,7 persen masuk kelompok pemilih bimbang atau masih ragu dengan pilihannya. Sementara untuk pemilih Prabowo-Sandiaga tercatat 34, 2 persen. Tentu, angka ini menambah angka 14,7 persen jumlah responden yang masuk kategori belum menentukan pilihan. Artinya, potensi pemilih bimbang tersebut berkisar di angka 35-50 persen yang masih terbuka lebar untuk berubah pilihan.
Inilah pasar yang terus menjadi garapan kedua pasangan calon pada pemilihan presiden nanti. Apalagi survei Kompas juga menangkap, dari kelompok pemilih mengambang ini, mayoritas mereka mengatakan akan berubah sikap menjelang pemilihan nanti. Tentu ini menjadi angin segar bagi semua kontestan, baik pada pemilu legislatif maupun pemilu presiden, untuk sama-sama memiliki peluang menambah dukungan suara.
Gejala ”swing voter”
Jika dibandingkan antarsurvei, jumlah pemilih bimbang atau pemilih belum menentukan suara ini cenderung menurun mendekati hari pemungutan suara. Tentu hal ini tidak lepas dari faktor sosialisasi dan kampanye kontestan pemilu yang menambah referensi dan informasi bagi pemilih. Tentu, selain variabel waktu menjelang pemilu yang menentukan angka pemilih mengambang, ada sejumlah faktor yang turut memengaruhinya.
Setidaknya, hasil Andreas Ufen (2008) merekam sejumlah jawaban terkait studinya soal perilaku politik aliran. Menurut Ufen, analisis politik aliran masih relevan diterapkan dalam studi kepartaian dan pemilih di Indonesia yang dia sebut sebagai modified aliran approach.
Ufen menyebut salah satu faktor yang memengaruhi angka swing voter adalah penjelasan mengenai fakta dealignment atau keterputusan afiliasi antara partai politik dan pendukungnya yang disebabkan tiga hal. Ketiga faktor itu adalah perubahan pola hubungan antara kelas kapital dan kelas politik, perubahan pola pendidikan, dan semakin pentingnya peran media massa.
Ketiga faktor tersebut diyakini ikut mendorong semakin rendahnya keterikatan warga dengan partai politik. Logikanya, semakin kuat gejala dealignment akan mendorong semakin besarnya angka swing voter. Artinya, dinamika perubahan suara begitu tinggi.
Hal itu yang membuktikan bagaimana perubahan perolehan suara antarpartai politik, misalnya, begitu besar terjadi. Setidaknya, jika kita melihat hasil pemilu pasca-Reformasi, pada setiap pemilu terlihat sekali perubahan yang drastis dari perolehan suara antarpartai.
Lemahnya partai mempertahankan dominasi suara pada pemilu inilah yang juga menjadi salah satu potret renggangnya keterikatan pemilih dengan partai (Party ID). Lemahnya Party ID juga semakin menguatkan anggapan banyak orang bahwa pemilih Indonesia adalah corak pemilih yang tidak loyal meskipun jumlahnya tidak sebanyak ceruk pemilih yang sudah menjadi pasar tetap sejumlah partai politik tertentu.
Namun, inilah yang menjadi karakter kuat swing voter. Pilihan yang berubah-ubah juga menjadi ladang subur berkembangnya pragmatisme politik dan di sinilah pintu masuk bagi praktik politik uang yang semakin membuat pemilih kita menjauh dari identitas kepartaiannya.
Lalu, milik siapa swing voter nanti? Jika merujuk pada survei Kompas, dari 14,7 persen pemilih, kedua pasangan calon presiden sebenarnya sama-sama berpotensi meraih limpahan suara dari kelompok pemilih yang belum menentukan suara ini. Sebanyak 24,3 persen dari mereka akan cenderung memberikan dukungan kepada pasangan Jokowi-Ma’ruf.
Sementara 13,6 persen lebih condong menjatuhkan pilihan kepada pasangan Prabowo-Sandiaga. Hal yang sama terjadi pada pilihan ke partai politik yang sama-sama berpeluang meraih tetesan suara dari pemilih bimbang ini meskipun antusiasme pemilih lebih banyak dipengaruhi oleh hiruk-pikuk pemilu presiden dibandingkan pemilu legislatif.
Tentu, swing voter akan terus mengalkulasi sejauh mana kampanye efektif memengaruhi sikap mereka. Upaya mengalkulasi dan menimbang ini wajar karena sebagian besar kelompok pemilih bimbang ini adalah mereka yang secara ekonomi berada di kelas menengah dan secara pendidikan juga berada di kelompok pendidikan menengah.
Menariknya, separuh lebih dari mereka masuk kategori responden yang relatif moderat dan terbuka. Tentu, karakter seperti ini masih terbuka lebar bagi siapa pun untuk bisa merebut suara mereka guna mendulang elektoral dalam pemilu. (YOHAN WAHYU/LITBANG KOMPAS)