Politik Kaum Emak Terasa Makin ”Galak”

Dengan membawa serta anaknya, seorang anggota jemaah mengikuti Istighosah Qubro yang diselenggarakan di Stadion Gelora Delta, Sidoarjo, Minggu (28/10/2018). Kegiatan yang diikuti ribuan warga Nahdlatul Ulama tersebut memanjatkan doa untuk keselamatan dan persatuan bangsa serta meneguhkan kembali untuk tetap menjaga NKRI.
Peran ”emak-emak” mungkin memang akan semakin penting dalam menentukan kemenangan pada Pemilu 2019. Entitas politik yang dulu tersubordinasi oleh kaum laki-laki ini sekarang kian menunjukkan kekuatannya sebagai basis politik yang otonom.
Kekuatan perempuan dalam politik semakin nyata setelah terbukti kedigdayaan mereka dalam Pemilihan Kepala Daerah 2018. Sebanyak 14 perempuan terpilih lewat pilkada serentak itu.
Sebanyak 10 wanita di antaranya yang menang berada di Pulau Jawa. Khofifah Indar Parawansa adalah salah satunya. Setelah dua kali kalah dalam pilkada sebelumnya, keuletannya menggarap Muslimat NU membuahkan hasil yang gemilang.
Di beberapa daerah, kemenangan kepala daerah laki-laki juga didukung oleh aksi nyata istrinya dalam menghimpun kekuatan perempuan di wilayahnya. Kemenangan Ridwan Kamil kerap disebut tak lepas dari peran istrinya. Di daerah lain, perempuan-perempuan yang dipasang sebagai wakil juga gigih dalam meningkatkan perolehan suara.
Jaringan perempuan NU yang digarap Ida Fauziyah di Jawa Tengah, misalnya, mampu meningkatkan suara pasangan Sudirman Zaid-Ida Fauziyah hingga tiga kali lipat meskipun akhirnya tetap kalah dari petahana.
Kekuatan kaum ”emak” menjelang Pemilu 2019 menjadi sebuah upaya yang cukup menantang untuk ditelusuri. Lewat survei Litbang Kompas terbaru, perempuan memperlihatkan sisi permukaan yang mirip dengan laki-laki dalam soal aspirasi politik. Namun, jika dilihat lebih detail, mulai tampak sejumlah perbedaan yang menarik, yang dapat menguak sisi-sisi yang bernilai strategis dalam kontestasi politik.
Proporsi pemilih perempuan yang mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf ataupun Prabowo-Sandiaga sama dengan proporsi laki-laki. Perempuan yang mendukung Jokowi-Ma’ruf sebesar 52,6 persen, sama persis dengan pemilih laki-laki. Perempuan yang mendukung Prabowo-Sandi juga tidak berbeda signifikan dengan laki-laki. Pada perempuan 32,9 persen dan pada laki-laki 32,6 persen.
Meski di permukaan terlihat sama, sesungguhnya terjadi dinamika yang cukup menarik jika kita telusuri lebih dalam, baik pada sisi demografis maupun kecenderungan-kecenderungan politiknya.

Sumber: Litbang Kompas/RFC
Perempuan lebih mudah berubah pilihannya terhadap capres daripada laki-laki. Jika pada laki-laki kemungkinan berubah 45 persen, pada kaum perempuan mencapai 49,5 persen. Ini mengindikasikan program-program atau visi misi calon akan lebih efektif jika terkait dengan kepentingan kaum emak-emak dibanding kepada kaum bapak-bapak.

Sumber: Litbang Kompas/RFC
Seperti halnya terhadap capres, perempuan juga lebih mudah berubah terhadap pilihan partai dibandingkan laki-laki. Pada kaum perempuan, 66,7 persen merupakan calon pemilih yang bisa berubah terhadap pilihan partai, sedangkan pada laki-laki 61,7 persen.
Meskipun mayoritas perempuan memilih partai yang sama dengan yang dipilih kaum laki-laki, yakni PDI-P, beberapa partai, seperti PKB, PPP, dan Golkar, lebih disukai kaum hawa dibandingkan laki-laki.

Ibu-ibu anggota Sekolah Perempuan di Desa Sukadana, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, berkumpul dan berbicara tentang sekolah perempuan di sebuah berugak yang ada di tengah permukiman mereka di Dusun Segenter, Kamis (26/7/2018). Berugak merupakan tempat berkumpul masyarakat setempat, sekaligus berfungsi sebagai tempat acara adat musyawarah persiapan perkawinan.
Pemilih PKB yang berencana akan memilih Jokowi-Ma’ruf lebih banyak dari kaum perempuan daripada laki-laki. Sebaliknya, pemilih PKB yang memilih Prabowo-Sandi didominasi kaum lelaki. Hal ini berkebalikan dengan pemilih Golkar. Pada Golkar, pemilih laki-laki lebih banyak (53,7 persen) akan mencoblos Jokowi-Ma’ruf, sedangkan pemilih perempuan lebih banyak (61,3 persen) yang akan memilih Prabowo-Sandi.
Sebagaimana diketahui, PKB dan Golkar merupakan partai koalisi pengusung Jokowi-Ma’ruf. Dengan demikian, jika kedua partai tersebut diperbandingkan, PKB lebih mampu memberikan pengaruh kepada kaum perempuan, sementara Golkar lebih sulit menjaga kaum perempuan agar tidak lari ke Prabowo-Sandi.
Dalam hal latar belakang yang mendasari pilihan mereka terhadap capres-cawapres, terdapat perbedaan pandangan antara perempuan yang memilih Jokowi-Ma’ruf dan yang memilih Prabowo-Sandi.
Pada kelompok pendukung Jokowi-Ma’ruf, mereka memilihnya lebih karena alasan kepribadian Jokowi yang merakyat (21 persen), kerjanya nyata (16,8 persen), cocok dengan kepribadiannya (10,2 persen), dan pembawaannya sederhana (6,7 persen).
Adapun perempuan yang memilih pasangan Prabowo-Sandi karena didasari penilaian bahwa Prabowo tegas (23 persen), ingin ganti presiden (16,8 persen), cocok dengan kepribadiannya (8,7 persen), dan visi misi calon (5,6).
Ketertarikan mereka pada visi misi Prabowo-Sandi cukup membersitkan sebuah tanda tanya. Terlebih, hanya 1 persen perempuan pendukung Jokowi-Ma’ruf yang tertarik memilih pasangan Jokowi-Ma’ruf karena visi misinya. Pertanyaannya, apakah pada Jokowi-Ma’ruf tidak ada visi-misi yang kuat sehingga alasan tentang hal itu justru muncul lebih kuat di sisi pendukung Prabowo-Sandi?
Apakah memang saat ini tidak ada agenda baru yang lebih menarik untuk dikampanyekan tim pasangan Jokowi-Ma’ruf sehingga mereka lebih tertarik pada visi misi atau sejumlah iming-iming yang disampaikan Prabowo-Sandi? Berikutnya, apakah karena aspek kepribadian dan kinerja Jokowi yang lebih menonjol di mata mereka sehingga aspek visi-misi tak begitu penting dalam ingatan pertama publik?
Apa pun jawabannya, di balik itu, fenomena ini juga menyingkap sebuah alam bawah sadar kaum emak, bahwa menyajikan mimpi-mimpi itu tetap penting untuk menarik perhatian mereka.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise (berbaju merah), didampingi Deputi Perlindungan Hak Perempuan KPPPA Vennetia R Danes, Rabu (26/9/2018) siang, menemui 20 calon pekerja migran Indonesia di Ciracas, di Rumah Perlindungan Trauma Center/Panti Sosial Tenaga Kerja Indonesia Kementerian Sosial di Jakarta Timur. Mereka diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang karena akan diberangkatkan ke luar negeri tanpa dilengkapi dokumen resmi.
Perempuan juga memainkan peranan penting dalam peta kekuatan geopolitik. Di Jakarta, yang akan memilih Jokowi-Ma’ruf lebih banyak perempuan daripada laki-laki. Pada perempuan 39,1 persen dan pada laki-laki 30,4 persen.
Sebaliknya, laki-laki yang akan memilih Prabowo-Sandi lebih besar daripada perempuan, dengan persentase 43,5 persen berbanding 34,8 persen. Hal ini menunjukkan, meskipun di Jakarta dominasi laki-laki yang memilih Prabowo lebih besar, hal itu mendapat perlawanan yang cukup kuat dari perempuan yang akan mendukung Jokowi-Ma’ruf.
Kaum perempuan juga menjadi kekuatan yang mampu mengimbangi kekuatan politik laki-laki secara keseluruhan di Pulau Sumatera. Jika laki-laki lebih condong ke pasangan Prabowo-Sandi, perempuan mengimbanginya dengan lebih banyak memilih Jokowi-Ma’ruf.
Pemilih milenial
Perempuan juga menjadi penyeimbang dari pergerakan pemilih pemula yang cenderung memilih Prabowo-Sandi. Perempuan berusia di bawah 22 tahun yang memilih Jokowi-Ma’ruf sebesar 44,4 persen, sedangkan yang memilih Prabowo-Sandi 33,3 persen. Sebaliknya, laki-laki pada kelompok pemilih milenial yang akan memilih Jokowi-Ma’ruf hanya 33,3 persen dan terbanyak (58,3 persen) akan memilih Prabowo-Sandi.
Di kalangan pelajar/mahasiswa, perempuan juga memberikan perimbangan yang cukup berarti terhadap kecenderungan laki-laki. Jika pelajar/mahasiswa laki-laki lebih condong memilih Prabowo-Sandi, sebaliknya perempuan memiliki preferensi yang lebih besar ke Jokowi-Ma’ruf.
Dengan semua fenomena di atas, tak dapat dimungkiri, kaum emak terasa semakin galak di panggung politik Pemilu 2019. (LITBANG KOMPAS)

Sumber: Litbang Kompas/RFC
Metode Penelitian
Pengumpulan pendapat melalui wawancara tatap muka ini diselenggarakan Litbang Kompas pada 24 September-5 Oktober 2018. Sebanyak 1.200 responden dipilih secara acak menggunakan metode pencuplikan sistematis bertingkat di 34 provinsi di Indonesia. Menggunakan metode ini, pada tingkat kepercayaan 95 persen, margin of error penelitian +/- 2,8 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana. Meskipun demikian, kesalahan di luar pemilihan sampel dimungkinkan terjadi.