Laga Petahana di Kota Bandar Palopo
Pertarungan dua petahana Wali Kota dan Wakil Wali Kota Palopo akhirnya dimenangi petahana Wali Kota Palopo Judas Amir. Meskipun kemenangan Judas Amir tersebut menunjukkan kuatnya pengaruh petahana Wali Kota Palopo, pertarungan politik itu juga diwarnai tuntutan hukum, unjuk rasa di antara pendukung calon, serta pemecatan lima komisioner KPU Kota Palopo.
Pemilihan Kepala Daerah Kota Palopo 2018 diikuti dua pasang calon, petahana Wali Kota Palopo 2013-2018 Judas Amir yang berpasangan dengan Rahmat Masri Bandaso serta petahana Wakil Wali Kota Palopo 2013-2018 Akhmad Syarifuddin Daud yang berpasangan dengan Budi Sada. Dua sosok petahana ini pecah kongsi setelah lima tahun bersama mengarungi bahtera pemerintahan Kota Palopo.
Pecah kongsi tersebut membuat keduanya menggandeng sosok berbeda. Petahana Wali Kota Judas Amir kali ini menggandeng Rahmat Masri Bandaso yang pernah menjadi Wakil Wali Kota Palopo 2008-2013. Pasangan yang menggunakan slogan JUARA tersebut meraup 51.880 suara (60,42 persen).
Pasangan JUARA ini diusung koalisi gemuk sembilan partai politik dengan jumlah kursi dukungan mencapai 20 kursi atau 80 persen dari total kursi DPRD Kota Palopo, termasuk Partai Golkar yang telah memenangi pemilu legislatif selama empat kali sejak 1999. Partai lainnya adalah PDI-P, PPP, PKB, Demokrat, Nasdem, PBB, PAN, dan PKS.
Sementara petahana Wakil Wali Kota Akhmad Syarifuddin Daud menarik Budi Sada sebagai calon wakilnya. Budi Sada merupakan sosok baru dalam pertarungan politik meskipun ia telah berkarier lama di jajaran birokrasi sejak Palopo belum menjadi kota administratif sendiri.
Pasangan yang menyebut diri sebagai Ome-Bisa ini hanya diusung Partai Gerindra dan Hanura dengan dukungan 5 kursi atau 20 persen dari total kursi DPRD Kota Palopo. Suara yang berhasil diraih pasangan ini terpaut cukup jauh, selisih hampir 20 persen lebih sedikit, yaitu 33.991 suara (39,58 persen).
Sosok petahana
Di samping sebagai petahana Wali Kota Palopo, Judas Amir juga merupakan sosok tak asing dalam pertarungan politik memperebutkan kursi kepala daerah. Tak hanya di Palopo, Judas Amir juga pernah mengikuti perebutan kursi kepala daerah di Kabupaten Luwu Utara dan Luwu Timur (Sofyan Alimuddin, skripsi di Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Hasanuddin, 2016) sebelum akhirnya memenangi perebutan kursi Wali Kota Palopo 2013-2018.
Di Palopo, Judas Amir telah mengikuti pertarungan politik sejak pilkada langsung pertama kali dilaksanakan pada 2008. Pada saat itu, Judas Amir yang berpasangan dengan Juajir Sumardi harus mengakui ketangguhan petahana Wali Kota Palopo Tenriajeng yang menjabat sejak dipilih oleh anggota DPRD Palopo pada 2003.
Data di blog pribadi Judas Amir memperlihatkan karier birokrasinya dimulai sejak periode 1970-an sebagai kepala subdinas di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kotamadya Ujungpandang, lalu di Kabupaten Luwu, serta sebagai Camat di Larompong, Nuha, dan Malangke hingga akhir 1990-an.
Setelah itu, di era 2000-an, ia menduduki jabatan sebagai Asisten I Pemerintah Kabupaten Luwu sebelum akhirnya terjun ke politik dan menjadi anggota DPRD Kabupaten Luwu 2009-2014. Sebagai politisi, Judas Amir turut membesarkan Partai Persatuan Daerah di Palopo dan menjadi ketuanya sejak 2009. Ia pindah menjadi anggota Nasdem dan lolos sebagai Wali Kota Palopo periode pertama 2014-2018.
Wakil Wali Kota terpilih, Rahmat Masri Bandoso, juga bukan sosok asing dalam politik ataupun Pilkada Palopo. Sebagai kader Partai Golkar, ia pernah menjadi Ketua DPRD Palopo dan bertarung di pilkada Palopo 2008 sebagai calon wakil wali kota mendampingi Tenriajeng. Keduanya berhasil menduduki kursi Palopo 1 pada 2008-2013.
Pertarungan kedua Rahmat Masri Bandaso terjadi pada Pilkada 2013 di mana ia menjadi calon wali kota Palopo dengan menggandeng Irwan Hamid. Namun, keduanya gagal memasuki putaran kedua karena hanya meraup 16.097 suara, kalah dari Judas Amir-Akhmad Syarifuddin. Meskipun demikian, pada putaran kedua suara Rahmat Masri Bandaso-Irwan Hamid yang diusung Partai Golkar dilimpahkan kepada Judas Amir-Akhmad Syarifuddin.
Sementara itu, petahana Wakil Wali Kota Palopo Akhmad Syarifuddin masuk pertarungan pilkada pertama kali pada 2013 mendampingi Judas Amir. Saat itu, ia dianggap sebagai wakil kaum muda, berusia 34 tahun saat mencalonkan diri sebagai wakil wali kota mendampingi Judas Amir yang berusia 64 tahun. Kiprahnya di berbagai organisasi kemahasiswaan dan pemuda seperti HMI, KNPI, AMPI, dan Ansor memperkuat posisinya.
Pada pilkada tahun ini, Syarifuddin menggandeng Budi Sada, anak anggota DPRD Kabupaten Luwu dari Golkar, Sada. Keterlibatan Budi Sada dengan birokrasi dimulai sebagai tenaga honorer di Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Luwu hingga menjadi Kepala BPBD Kota Palopo pada 2012. Latar belakang serta dukungan mesin partai politik pasangan ini terbukti belum mampu mematahkan pasangan JUARA.
Tuntutan hukum
Jumlah peserta pilkada tahun ini termasuk yang paling sedikit dibandingkan dua pilkada sebelumnya. Pilkada 2008, yang merupakan pilkada langsung pertama di Palopo, diikuti empat pasang calon. Jumlah ini naik dua kali lipat pada Pilkada 2013. Sembilan pasang calon ikut berlaga memperebutkan kursi wali kota dan wakil wali kota Palopo.
Meski dalam pilkada tahun ini jumlah pasangan calon yang bertarung paling sedikit, kompetisi politik tersebut mengalami dinamika tersendiri. Berdasarkan pemberitaan sejumlah media daring nasional dan lokal, selama masa kampanye kedua calon mendapatkan tuntutan hukum dari Panwaslu Kota Palopo dengan kasus yang berbeda.
Saat kampanye pada Februari 2018, calon wali kota Palopo Akhmad Syarifuddin dituduh menghasut masyarakat Palopo dan menghina Pemerintah Kota Palopo. Tuduhan ujaran kebencian itu dibuktikan melalui video kampanyenya yang berlangsung di Kecamatan Wara, Kota Palopo.
Kasus ini melaju hingga Pengadilan Negeri Palopo dan Syarifuddin dinyatakan bersalah serta divonis 4 bulan penjara dengan 6 bulan masa percobaan dan denda Rp 1 juta. Dengan vonis tersebut, Syarifuddin tidak perlu menjalani hukuman badan, tetapi jika dalam kurun waktu 6 bulan terbukti melakukan pelanggaran, ia akan dibui. Syarifuddin juga tetap boleh mengikuti proses pilkada hingga akhir.
Sementara itu, sejumlah berita di media daring lokal menyebutkan Panwaslu Palopo menyatakan Judas Amir telah melanggar Undang-Undang Pemilu Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 71 Ayat 2 tentang ketentuan administrasi. Penilaian itu didasarkan pada kebijakan Judas Amir yang telah memutasi pejabat Pemerintah Kota Palopo enam bulan sebelum pelaksanaan pilkada.
Berita di media daring Tribun menyebutkan, Surat Keputusan Panwaslu Palopo tanggal 17 April 2018 meminta KPU Palopo untuk mendiskualifikasi pasangan Judas Amir-Rahmat Masri Bandaso. Keputusan Panwaslu tersebut memicu unjuk rasa pendukung JUARA.
Namun, KPU Palopo menolak menindaklanjuti rekomendasi Panwaslu tersebut. Pasangan calon Judas Amir-Rahmat Masri Bandaso tetap melanjutkan proses pilkada hingga akhir dan memenangi jabatan Wali Kota-Wakil Wali Kota Palopo.
Kasus pertentangan KPU dan Panwaslu tersebut sampai ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang kemudian memutuskan memecat lima komisioner KPU Palopo pada 25 Juli 2018 karena tidak menindaklanjuti rekomendasi Panwaslu. Namun, pemecatan ini tidak menganulir keputusan KPU atas rekapitulasi suara Pilkada 2018.
Pihak Ome-Bisa pun tak tinggal diam. Mereka menggugat KPU Palopo yang dinilai mengabaikan keputusan Panwaslu. Gugatan mereka dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, keputusan MK pada 9 Agustus 2018 menolak gugatan Ome-Bisa karena isi gugatan mereka dinilai MK tidak berkaitan dengan hasil Pilkada Palopo 2018 sehingga kemenangan JUARA dinilai MK tetap sah.
Riwayat kericuhan Pilkada Palopo tak hanya baru saja terjadi. Pilkada Kota Palopo 2013 merupakan pilkada paling keras yang pernah terjadi di kota ini. Bukan saja karena perolehan suara pasangan calon yang bersaing sangat ketat, melainkan juga karena diwarnai aksi pembakaran beberapa kantor pemerintah dan partai politik.
Kompetisi politik tahun 2013 tersebut diikuti sembilan pasang calon, jumlah terbanyak dalam sejarah Pilkada Palopo. Pada putaran pertama pertarungan, tidak ada pasangan calon yang berhasil memperoleh 30 persen suara untuk bisa menjadi pemenang. Saat itu, pasangan Judas Amir-Akhmad Syarifuddin menduduki peringkat kedua perolehan suara (19.489 suara), berselisih sangat tipis dengan pasangan Haidir Basir-Thamrin Jufri (19.561 suara). Dengan hasil tersebut, kedua pasangan calon maju ke putaran kedua.
Pada putaran kedua, Judas Amir-Akhmad Syarifuddin berhasil membalikkan posisi. Meski tetap dengan selisih tipis 738 suara, keduanya memenangi pertarungan dengan meraup 37.469 suara. Sementara Haidir Basir-Thamrin Jufri memperoleh 36.731 suara.
Rekapitulasi suara tersebut memicu kemarahan pendukung Haidir Basir yang kemudian melakukan aksi lempar batu dan bom molotov ke kantor KPU. Ketika aparat keamanan berusaha meredam keributan tersebut, sekelompok orang membakar kantor Wali Kota Palopo, DPD Partai Golkar, kantor Camat Wara, gedung Panwas Palopo serta harian Palopo Pos. Tampaknya pengalaman Pilkada Palopo tak bisa lepas dari silang sengketa dan saling gugat di antara para calon.
Kota bandar
Kota Palopo sejak lama dikenal sebagai kota bandar di tanah Luwu. Posisinya yang berada di pesisir Teluk Bone membuat daerah ini strategis sebagai tempat persinggahan kapal-kapal dagang dari berbagai wilayah dan menjadi sentra perdagangan di utara Sulawesi Selatan. Saat masih menjadi bagian dari Kabupaten Luwu, sebagai kota bandar, pada 1986 Palopo dinobatkan sebagai kota administratif sekaligus ibu kota Luwu Raya.
Masa reformasi mendorong masyarakat Palopo untuk menjadikan Palopo sebagai kota otonom. Usulan tersebut akhirnya dikabulkan pemerintah pusat pada 2002. Palopo resmi menjadi kota otonom, terpisah dari Kabupaten Luwu, wilayah induknya. Perubahan ini secara perlahan ikut mempercepat gerak ekonomi Palopo.
Data BPS Palopo menunjukkan pertumbuhan ekonomi kota ini pada 2002 berada di angka 5,24 persen. Tiga tahun setelah menjadi kota otonom, angkanya bergerak naik menjadi 7,72 persen. Proporsi tersebut mendudukkan Palopo di posisi keempat tertinggi di seluruh Sulawesi Selatan. Meskipun agak berfluktuasi, angka pertumbuhan ekonomi Palopo relatif tak beranjak jauh dari angka 7-8 persen pada periode 2005-2013.
Tahun 2017, pertumbuhan ekonomi Palopo berada di angka 7,19 persen. Jika dibandingkan secara regional dengan wilayah Luwu Raya (Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Kota Palopo), angka pertumbuhan ekonomi Palopo menempati posisi di bawah Kabupaten Luwu Utara (7,6 persen), tetapi masih di atas Kabupaten Luwu (6,79 persen) dan Kabupaten Luwu Timur (3,07 persen).
Indikator lainnya adalah pendapatan per kapita penduduknya. Pada 2002, pendapatan per kapita penduduknya berdasarkan harga berlaku baru mencapai Rp 3.647.971. Lima tahun kemudian, angkanya naik menjadi Rp 8.441.540. Pada 2014, angkanya sudah melonjak menjadi Rp 28,8 juta per tahun dan tahun lalu mencapai Rp 37,03 juta.
Dengan luas wilayah 24.752 hektar, sebagian besar wilayah Palopo (89,15 persen) merupakan lahan non-sawah. Meskipun demikian, di awal penetapannya sebagai kota otonom, sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar bagi PDRB Palopo, yaitu 23,40 persen, sedangkan sektor perdagangan 21,43 persen. Namun, secara perlahan, posisi penyumbang terbesar pada PDRB diambil alih oleh sektor perdagangan.
Tahun 2007, pertanian masih memberi kontribusi 34,10 persen, sedangkan perdagangan 17,87 persen. Perubahan terjadi pada periode 2010, sumbangan pertanian terhadap PDRB mulai turun, sementara sektor perdagangan sebaliknya. Pada 2010, sumbangan pertanian turun menjadi 25,79 persen, sementara perdagangan meningkat ke angka 21,79 persen.
Saat ini, proporsi per sektor sudah berubah. Sektor perdagangan memberi sumbangan paling tinggi bagi PDRB Palopo. Sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan motor menyumbang 23,62 persen, sedangkan pertanian, kehutanan, dan perikanan 17,60 persen. Sektor lainnya adalah konstruksi yang memberi kontribusi 15,98 persen serta jasa keuangan dan asuransi 8,17 persen.
Namun, Kota Palopo masih harus menghadapi sejumlah masalah, yaitu tingkat pengangguran terbuka yang masih dua digit (10,96 persen) pada 2017 serta persentase penduduk miskin yang hampir 9 persen.
Angka ini masih cukup tinggi mengingat jumlah penduduk Palopo termasuk yang terkecil keempat di Sulawesi Selatan setelah Kepulauan Selayar, Kabupaten Barru, dan Kota Parepare. Kondisi ini juga menunjukkan keuntungan perdagangan tampaknya belum bisa memeratakan kesejahteraan masyarakat Palopo. (LITBANG KOMPAS)