Ketika Keterbatasan Berujung Prestasi
Prestasi atlet Indonesia terus merangkak naik sejak bergulirnya ajang Asian Para Games sewindu silam. Dua minggu lalu, para atlet disabilitas berhasil meraih capaian tertinggi. Dahaga prestasi pada sejumlah cabang olahraga juga berhasil diakhiri oleh atlet-atlet dengan segala keterbatasan yang dimiliki.
Torehan manis prestasi Indonesia dalam ajang Asian Games dua bulan lalu kembali terulang pada Asian Para Games. Atlet disabilitas Indonesia berhasil menyumbangkan 37 medali emas, 47 perak, dan 51 perunggu. Hasil ini membawa Indonesia menduduki peringkat kelima dari 44 negara peserta.
Capaian ini menjadi yang terbaik bagi Indonesia sepanjang pergelaran Asian Para Games. Secara perlahan, prestasi Indonesia terus meningkat. Penambahan raihan medali emas juga diiringi dengan naiknya peringkat Indonesia setiap kali pesta olahraga terbesar di Asia ini digelar.
Pada Asian Para Games pertama di Guangzhou, China, 2010, Indonesia memperoleh 1 medali emas, 5 perak, dan 5 perunggu. Hasil ini membawa Indonesia pada peringkat ke-14.
Pada gelaran Asian Para Games selanjutnya di Incheon, Korea Selatan, 2014, catatan prestasi Indonesia mulai merangkak naik. Atlet Indonesia berhasil meraih 9 medali emas, 11 perak, dan 18 perunggu. Dengan kekuatan 61 atlet, raihan ini mengangkat posisi Indonesia ke peringkat ke-9.
Peningkatan prestasi ini sejalan dengan raihan atlet disabilitas Indonesia pada pesta olahraga penyandang disabilitas tingkat regional Asia Tenggara, yaitu ASEAN Para Games. Di ajang ini, torehan prestasi atlet Indonesia juga cenderung meningkat setiap pergelaran.
Pada ASEAN Para Games 2009, misalnya, Indonesia masih berada pada peringkat ke-4 dengan raihan 29 emas, 25 perak, dan 19 perunggu. Catatan prestasi ini terus menanjak hingga Indonesia keluar sebagai juara umum pada tahun 2017 dengan raihan 126 emas, 75 perak, dan 50 perunggu.
Bagai tak terbendung, peningkatan prestasi ini terus berlanjut ke tingkat Asia. Pada Asian Para Games 2018, atlet Indonesia mampu melampaui target yang ditetapkan pemerintah. Bahkan, para atlet membuktikan mampu meraih lebih dari dua kali lipat medali emas dari target 16-18 medali.
Perbaikan prestasi ini sejalan dengan semakin banyaknya jumlah atlet Indonesia yang ikut serta dalam ajang Asian Para Games. Jika pada gelaran Asian Para Games yang pertama kontingen Indonesia hanya berjumlah 20 atlet, tahun 2018 jumlahnya bertambah menjadi 300 atlet.
Rekor baru
Melalui berbagai nomor pertandingan yang tersedia, atlet Indonesia mencoba mengalahkan keterbatasan demi mencatatkan prestasi. Keterbatasan yang dimiliki tidak menjadi penghalang bagi mereka.
Anggapan bahwa prestasi yang diraih berkat dari status Indonesia sebagai tuan rumah agaknya perlu dikesampingkan. Pasalnya, prestasi tersebut tidak diraih dengan mudah oleh para atlet.
Beberapa atlet bahkan berhasil memecahkan rekor Asia. Salah satunya adalah Sapto Yogo Purnomo, atlet cabang olahraga atletik nomor 100 meter dan 200 meter putra klasifikasi T37. Meski memiliki keterbatasan pada koordinasi gerak tubuh, ia sukses menyumbangkan dua medali emas bagi Indonesia.
Lebih dari itu, catatan waktu yang dicapainya telah mengantarkan Sapto Yogo menjadi pemegang rekor Asia saat ini. Pada nomor 100 meter putra, ia berhasil finis dengan catatan waktu 11,49 detik. Catatan waktu ini melampaui rekor Asian Para Games yang sebelumnya dipegang oleh atlet asal China, Shang Guang Xu, dengan catatan waktu 11,73 detik.
Raihan Sapto Yogo itu sekaligus memecahkan rekor Asia yang dipegang atlet asal China, Yongbin Liang, yang mencatatkan waktu 11,51 detik pada Paralimpiade 2012 di London, Inggris.
Menariknya, catatan waktu Sapto Yogo nyaris menyamai rekor dunia milik atlet Afrika Selatan, Charl Du Toit, saat Paralimpiade 2016 di Rio de Janeiro, Brasil. Saat itu, catatan waktu Charl Du Toit adalah 11,42 detik, selisih 0,07 detik dari capaian Sapto Yogo pada Asian Para Games 2018.
Catatan waktu Sapto Yogo nyaris menyamai rekor dunia milik atlet Afrika Selatan, Charl Du Toit, saat Paralimpiade 2016 di Rio de Janeiro, Brasil.
Masih dari cabang atletik, rekor lain juga berhasil dipecahkan oleh Putri Aulia pada nomor 100 meter putri klasifikasi T13. Dengan catatan waktu 12,49 detik, Aulia berhasil mengalahkan rekor sebelumnya yang dipegang Lin Zhu yang memiliki catatan waktu 13,13 detik. Rekor itu diraih Lin Zhu saat Asian Para Games 2014 di Incheon, Korea Selatan.
Menariknya lagi, bukan hanya Putri Aulia yang berhasil mengalahkan catatan waktu Lin Zhu. Atlet Indonesia pada nomor yang sama peraih medali perak dan perunggu juga berhasil melewati rekor Lin Zhu. Ni Made Arianti Putri, peraih medali perak, mencatatkan waktu 13,00 detik. Sementara Endang Sari Sitorus, peraih medali perunggu, mencatatkan waktu 13,07 detik.
Meski memiliki keterbatasan penglihatan, ketiganya menyapu bersih semua medali pada nomor 100 meter putri klasifikasi T13. Lagu ”Indonesia Raya” pun berkumandang di Gelora Bung Karno yang diiringi kibaran tiga bendera Merah Putih.
Rekor yang tercipta selanjutnya adalah dari cabang olahraga atletik nomor lari 100 meter putri klasifikasi T42/T63. Memiliki keterbatasan pada organ tubuh bagian bawah, Karisma Evi Tiarani sukses finis di depan pemegang rekor Asia, Kaede Maegawa. Ia mencatatkan waktu 14,98 detik dan mengalahkan rekor Kaede sebelumnya, 16,74 detik. Karisma Evi bahkan mendekati catatan rekor dunia milik atlet asal Italia, Martina Caironi, dengan catatan waktu 14,61 detik.
Selain di cabang lari, atlet Indonesia pada cabang olahraga tolak peluru dan lompat jauh juga berhasil memecahkan rekor. Tak hanya rekor Asian Para Games, Suparniyati dan Rica Oktavia juga berhasil memecahkan rekor Asia yang tercipta pada sejumlah ajang internasional.
Suparniyati memecahkan rekor pada cabang olahraga tolak peluru putri klasifikasi F20 dengan mencatatkan lemparan sejauh 10,75 meter. Catatan ini mengalahkan rekor lemparan di ajang Asian Games milik atlet Jepang, Hiromi Nakada, sejauh 10,17 meter.
Selain itu, ia bahkan mengalahkan rekor lemparan milik Ramlan Nursuhana asal Malaysia sejauh 10,71 meter yang dicatatnya ketika Paralimpiade 2012, di London, Inggris.
Sementara itu, Rica Oktavia juga berhasil memecahkan rekor Asia pada cabang olahraga lompat jauh klasifikasi T20. Ia mencatatkan lompatan sejauh 5,25 meter dan mengalahkan rekor Asian Games milik Mirai Kurauchi sejauh 4,57 meter.
Hasil lompatan Rica juga mengalahkan rekor Asia milik atlet asal Malaysia, Siti Noor Radiah Ismail. Sebelumnya, Siti Noor memecahkan rekor Asia dengan jarak lompatan 5,20 meter pada Paralimpiade 2016 di Brasil.
Secara total, atletik menyumbangkan 6 emas, 12 perak, dan 10 perunggu. Dengan total 28 medali, atletik menjadi cabang olahraga penyumbang medali terbanyak bagi Indonesia.
Oasis prestasi
Selain atletik, cabang olahraga lain juga mencatatkan prestasi yang membanggakan Indonesia. Beberapa di antaranya bahkan menjadi oasis di tengah surutnya prestasi pada sejumlah cabang olahraga.
Salah satu cabang olahraga yang sukses mendulang medali emas adalah renang. Atlet Indonesia berhasil meraih tiga medali emas pada cabang 100 meter gaya dada putri klasifikasi SB14, 100 meter gaya dada putra klasifikasi S9, dan 200 meter gaya ganti putri klasifikasi SM14.
Raihan ini seolah menjadi pemuas dahaga prestasi Indonesia pada cabang olahraga renang di level Asia. Pasalnya, cabang olahraga ini telah cukup lama surut prestasi. Sebelumnya, Indonesia memang pernah berjaya pada cabang olahraga renang. Pada ajang Asian Games 1962, misalnya, Indonesia meraih satu medali emas melalui atlet Lanny Gumulya dari nomor loncat indah 3 meter putri.
Bahkan, Indonesia pernah menjuarai Invitasi Renang Asia Pasifik pada 1990 dengan raihan 40 medali emas. Atlet Indonesia saat itu mampu mengalahkan raihan medali emas China sebanyak 25 medali. Hanya saja, prestasi Indonesia pada cabang ini perlahan meredup. Hingga Asian Games 2018, renang masih belum mampu mengalahkan dominasi negara-negara di Asia Timur.
Namun, lagu ”Indonesia Raya” kembali berkumandang di Stadion Akuatik tahun ini. Medali emas berhasil diraih oleh Syuci Indriani dan Jendi Panggabean. Penyandang tunagrahita, Syuci Indriani, bahkan berhasil meraih dua medali emas dari gaya dada dan gaya ganti putri.
Torehan ini seolah mengulang catatan manis pada Asian Para Games 2014 di Incheon, Korea Selatan. Saat itu, atlet renang Indonesia juga sukses mendulang medali emas. Dahaga prestasi dari cabang olahraga renang berhasil dilunasi oleh atlet disabilitas Indonesia.
Sukses atlet Indonesia menyumbangkan medali pada cabang olahraga bulu tangkis dan balap sepeda di Asian Games berhasil diteruskan oleh atlet-atlet di Asian Para Games.
Selain renang, cabang olahraga tenis meja juga menjadi oasis bagi prestasi Indonesia. Indonesia berhasil meraih empat medali emas pada cabang ini di Asian Para Games. Medali emas diraih pada nomor tunggal putra, ganda campuran, dan ganda putra.
Salah satu atlet yang menjadi bintang pada cabang ini adalah Dian David Mickael Jacobs. Meski memiliki keterbatasan pada gerakan tangan kanan, David Jacobs sukses membuktikan kemampuan dirinya sebagai atlet unggulan. Ia berhasil meraih medali emas dari nomor tunggal putra dan nomor ganda putra klasifikasi TT10.
Capaian ini menjadi angin segar bagi cabang olahraga tenis meja Indonesia di tengah dominasi China. Setelah gagal pada Asian Games 2018, Indonesia sukses meraih medali pada cabang Asian Para Games.
Semangat kesetaraan juga berhasil dibuktikan para atlet dalam ajang Asian Para Games. Sukses atlet Indonesia menyumbangkan medali pada cabang olahraga bulu tangkis dan balap sepeda di Asian Games berhasil diteruskan oleh atlet-atlet di Asian Para Games.
Atlet disabilitas dari cabang olahraga bulu tangkis bahkan berhasil menyumbangkan enam medali emas bagi Indonesia. Bulu tangkis memang menjadi satu-satunya cabang olahraga yang selalu menyumbangkan medali emas bagi Indonesia sejak Asian Para Games 2010.
Beragam keterbatasan yang dimiliki para atlet berhasil diruntuhkan dan menjadi inspirasi bagi Indonesia dan Asia. Catatan prestasi ini seolah menggambarkan tak ada sekat antara keterbatasan dan prestasi.
Antusiasme penonton
Rangkaian keberhasilan atlet disabilitas Indonesia juga menjadi magnet bagi masyarakat. Secara perlahan, area pertandingan kembali dipenuhi oleh gema dukungan penonton. Dukungan diberikan pada berbagai cabang olahraga, baik di area Gelora Bung Karno maupun di arena pertandingan lainnya.
Yang menarik, dukungan juga diberikan penyandang disabilitas dengan caranya masing-masing. Pada cabang olahraga atletik, misalnya, penonton dari kalangan disabilitas berbaur dengan penonton lain untuk memberikan dukungan bagi atlet Indonesia. Bahkan, saat nyanyian dukungan dilantunkan, penonton tunawicara pun turut serta berpartisipasi dengan cara bertepuk tangan sembari berdiri di area tribune stadion.
Antusiasme masyarakat perlahan memang mengalami peningkatan jelang Asian Para Games berakhir. Sejumlah tiket pertandingan yang dijual secara daring pun habis, seperti tiket terusan dan tiket pada cabang olahraga bulu tangkis.
Pada hari kerja, antrean bahkan tampak beberapa kali mengular di sejumlah arena. Salah satunya adalah arena renang pada Kamis, 11 Oktober 2018. Antrean mengular pada pintu masuk tribune barat yang menjadi tujuan penonton setelah penuhnya area tribune timur Stadion Akuatik. Hingga malam, penonton terus berdatangan untuk memberikan dukungan kepada sejumlah atlet renang Indonesia di partai final.
Tak hanya itu, antusiasme juga terlihat pada cabang olahraga lainnya, seperti atletik. Jelang malam, penonton pada cabang ini terus memadati area Stadion Gelora Bung Karno untuk menyaksikan sejumlah perlombaan pada partai final.
Hal ini membuktikan, pendukung Indonesia tak hanya memikirkan kemenangan semata, tetapi juga bertujuan memberikan dukungan moral kepada para atlet.
Antusiasme ini juga berbanding lurus dengan apresiasi yang diberikan pendukung Indonesia kepada para atlet. Wujud apresiasi salah satunya terlihat saat pertandingan renang pada cabang estafet 4 x 100 meter putri. Indonesia yang finis pada peringkat keempat dan gagal merebut medali tetap memperoleh apresiasi dari penonton yang memadati Stadion Akuatik. Nyanyian dukungan dan tepukan tangan penonton menghidupkan suasana Stadion Akuatik malam itu.
Penghargaan juga terlihat saat atlet Indonesia bertanding pada cabang olahraga bulu tangkis. Para atlet yang gagal pun tetap memperoleh dukungan dari publik di Istora Senayan. Hal ini membuktikan bahwa pendukung Indonesia tak hanya memikirkan kemenangan semata, tetapi juga bertujuan untuk memberikan dukungan moral kepada para atlet.
Dukungan dan apresiasi bahkan juga diberikan penonton Indonesia untuk atlet negara lain. Salah satunya adalah ketika pelari asal Iran, Omid Zarifsanayei, menyentuh garis finis pada nomor lari 400 meter klasifikasi T13. Atlet dengan keterbatasan penglihatan ini meraih penghargaan dari penonton yang hadir di Stadion Utama Gelora Bung Karno berupa standing applause.
Inspirasi Asia terlihat nyata dari perjuangan atlet dan dukungan penonton. Meski tak menjadi juara umum, Indonesia mampu mencatatkan torehan manis dalam dua hal, yaitu catatan prestasi dan dukungan publik. Kini, saatnya Indonesia menatap kelas yang lebih tinggi, Paralimpiade 2020 di Tokyo, Jepang. (DEDY AFRIANTO/LITBANG KOMPAS)