Museum Berjuang di Era Disrupsi
Era disrupsi saat ini telah mengubah manajemen bisnis, termasuk museum. Museum di Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk berkolaborasi, lebih interaktif dan mendekatkan diri dengan masyarakat. Ada museum yang berhasil, namun tidak sedikit juga yang gagal.
Istilah disrupsi, merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai hal tercerabut dari akarnya. Adapun disrupsi, mengutip Rhenald Kasali, tidak hanya mengubah cara berbisnis. Disrupsi juga mengubah dasar dari suatu bisnis mulai dari struktur biaya, budaya, hingga ideologi. Disrupsi ini terjadi akibat perubahan cara-cara berbisnis yang dulunya sangat menekankan pentingnya kepemilikan menjadi saling berbagi peran dan kolaborasi sumber daya. (Kompas, 5/5/2017)
Disrupsi terjadi pada berbagai bisnis, termasuk museum. Mengutip Kresno Yulianto dalam bukunya berjudul Di Balik Pilar-Pilar Museum, eksistensi museum kini harus juga berebut pasar dengan institusi lain yang menawarkan hiburan waktu luang (leisure time). Museum kini mendapatkan tantangan untuk mengubah paradigma pemasaran tradisional ke pemasaran relasional.
Masih menurut tulisan Kresno Yulianto, pola pemasaran tradisional museum lebih menekankan pada promosi monolog, dilakukan hanya oleh bagian tertentu, fokusnya menarik konsumen dan berbasis transaksi. Sementara, pemasaran relasional lebih berfokus pada promosi dialog, pemasaran bisa dilakukan setiap orang, fokusnya mempertahankan konsumen dan berbasis hubungan baik dengan konsumen.
Kenyataannya, tidak sedikit pengelola museum yang terbata-bata menerjemahkan pemasaran relasional. Banyak dari mereka yang tidak mampu memasarkan dan mengkomunikasikan program-program yang mampu menarik pengunjung, apalagi mempertahankan pengunjung.
Perubahan Sejak Otonomi
Ketidaksiapan sebagian museum menghadapi perubahan pola pemasaran sejalan dengan tuntutan era disrupsi, lebih banyak dikaitkan dengan proses pengelolaan museum dalam jangka waktu lama.
Kendati bukan satu-satunya penyebab, perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi menjadi otonomi daerah menimbulkan persoalan bagi sebagian museum. Dedah Rufaedah Sri Handari, Kepala Sub Bidang Permuseuman, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Pendidikan dan Kebudayaan, menjelaskan kondisi tersebut.
“Sebelum 1999, semua museum provinsi berstatus di bawah UPT Direktorat Permuseuman. Begitu otda berlaku, mayoritas berada di bawah provinsi masing-masing” jelas Dedah. Sementara itu, Dedah melanjutkan, sesudah otonomi pemerintah pusat hanya mengelola enam museum di seluruh Indonesia.
Empat museum yang masih dikelola pemerintah pusat berlokasi di Jakarta yaitu Museum Nasional, Museum Sumpah Pemuda, Museum Basoeki Abdullah dan Museum Perumusan Naskah Proklamasi di Jakarta. Dua museum lainnya adalah Museum Benteng Vredeburg di Yogyakarta dan Museum Morotai Trikora di Maluku Utara.
Era otonomi yang dimulai sejak tahun 1999 mengubah pengelolaan sebagian besar museum. Tak hanya pengelolaannya yang berubah, secara kuantitas museum pun menjamur sejak otonomi daerah.
Merujuk data pada Agus Aris Muandar dkk dalam buku “Sejarah Permuseuman Indonesia”, sebelum era otonomi daerah tercatat ada 262 museum di seluruh Indonesia. Sejalan dengan otonomi, jumlah museum di Indonesia terus bertambah. Tahun 2016 tercatat ada 434 museum di seluruh Indonesia, bertambah hampir dua kali lipat sebelum era otonomi.
Perubahan pengelolaan museum dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah membawa konsekuensi pada perubahan sumber daya manusia dan anggaran.
Problem Sumber Daya
Sumber daya, baik manusia maupun anggaran, kemudian menjadi persoalan yang banyak diangkat sebagai persoalan sebagian museum. Menurunnya mutu sumber daya manusia antara lain dialami Museum Perjuangan Rakyat Jambi dan Museum Lambung Mangkurat.
Diresmikan pada 1997, terbentuknya museum Perjuangan Rakyat Jambi berawal dari hibah koleksi perjuangan dari Dewan Harian Daerah Angkatan 45 Provinsi Jambi, yang kemudian ditampung oleh Pemerintah Provinsi Jambi dalam bentuk museum. Tahun 2000, museum ini dialihkan ke Unit Pelaksana Teknis Daerah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata hingga sekarang.
Sampai saat ini juga, Museum Perjuangan Rakyat Jambi tidak kunjung mendapat pengelola yang memahami museum. Budi Prihatna, salah seorang staf koleksi di MPRJ menjelaskan, kondisi yang dialami MPRJ sekarang adalah organisasi tanpa kepala museum. Museum tersebut kini hanya dipimpin oleh Kepala Tata Usaha dan sejumlah kepala seksi.
Sejak era otonomi daerah, banyak pelayanan museum menurun karena banyak staf atau pejabat yang tak sesuai dengan kemampuan yang diperlukan dalam pengelolaan museum. “Banyak yang tidak mengerti museum, ya masuk aja, bahkan ada yang keluarganya juga dilibatkan. Jadi sekarang ini sudah semrawut semua,” ujar Budi Prihatna.
Museum Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan juga mengalami perubahan mutu sumber daya manusia sesudah berlakunya otonomi daerah. Museum yang diresmikan tahun 1979 itu dikelola oleh seorang kepala museum di bawah Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Selatan.
Namun, memiliki kepala museum bukanlah jaminan bahwa pengelolaan museum akan lebih baik. Menurut Kepala Museum Lambung Mangkurat Ikhlas Budi Prayogo, kondisi sumber daya manusia di museumnya berbeda antara sebelum dan setelah era otonomi daerah. “Sesudah otonomi, pembinaan personel, karir, kemampuan teknis SDM kami semakin tidak jelas dan buruk” Ujar Budi Prayogo.
Sementara, setelah era otonomi berjalan tidak sedikit juga museum yang mendapat anggaran yang kian minim. Anggaran belanja untuk Museum Lambung Mangkurat, menurut kepala museum Budi Prayogo, juga dikurangi. “Dulu, ketika pada masa jaya, alokasi perawatan museum hampir Rp. 9 miliar, tetapi sekarang hanya sekitar Rp. 3,8 miliar. Sehingga, rutinitas yang dijalankan hanya perawatan dan kegiatan museum masuk sekolah”, ujar Budi.
Kondisi yang lebih tidak menguntungkan dari sisi anggaran juga dialami Museum Perjuangan Rakyat Jambi. Museum Perjuangan Rakyat Jambi kini hanya menerima anggaran Rp 500 juta setiap tahun, dipotong untuk gaji pegawai Rp 200 juta.
Gagal Memasarkan
Sejalan dengan keterbatasan kualitas sumber daya manusia dan anggaran, Museum Perjuangan Rakyat Jambi semakin kesulitan memasarkan museumnya. Pengelola museum ini sebenarnya tetap mengupayakan program-program yang bersifat interaktif dengan masyarakat.
Program-program itu antara lain dengan mengadakan lomba kreativitas berupa melukis, baca puisi atau lomba lagu perjuangan untuk anak-anak mulai tingkat SD sampai SMA. Sayang, program interaktif itu juga baru bisa berjalan dengan catatan: jika ada anggaran.
Hal serupa juga dialami Museum Lambung Mangkurat. Sebelum otonomi daerah, Museum Lambung Mangkurat memiliki sejumlah kegiatan yang terbilang menarik dan interaktif. Misalnya, museum ini menyelenggarakan kemah budaya dan permuseuman. Dalam kegiatan tersebut, sejumlah sekolah diundang dalam sebuah perkemahan lalu diisi dengan ceramah, diskusi, outbound, kunjungan ke situs, dan tempat-tempat ibadah.
Museum Lambung Mangkurat sebelumnya juga mempunyai program sosialisasi tentang perjuangan rakyat Kalimantan untuk Pelindo dan Angkasa Pura, Peringatan Sejarah Divisi ALRI, Kalsel Expo, Pameran Regional Borneo, maupun pameran dan ceramah kebudayaan. Setelah otonomi daerah, program yang bersifat interaktif semacam ini justru hilang dari agenda rutin Museum Lambung Mangkurat.
Berubahnya mutu sumber daya manusia museum sejak pengelolaannya dipercayakan ke pemerintah daerah, juga menjadi faktor penyebab melemahnya interaksi museum dengan masyarakat. Museum Perjuangan Rakyat Jambi mengalami persoalan serius dalam hal ini.
Program museum masuk sekolah yang pernah ada di Museum Perjuangan Rakyat Jambi, perlahan menghilang sesudah otonomi daerah. Penyebabnya sederhana saja. Sesudah perubahan kewenangan, Program tersebut tidak ada lagi karena dianggap bukan lagi tugas yang dikhususkan bagi museum. Program museum masuk sekolah menjadi tugas dinas kebudayaan dan pariwisata secara umum, dijalankan oleh orang-orang yang tidak mempunyai pemahaman memadai tentang museum tersebut.
Kini, Museum Perjuangan Rakyat Jambi hanya melakukan kegiatan-kegiatan yang lebih bersifat sosialisasi searah. Bentuk sosialisasi searah tersebut adalah, pihak museum hanya mengirim surat dan brosur kunjungan museum. Kegiatan sosialisasi interaktif diadakan tanpa agenda jelas dan teratur. Hanya kadang-kadang saja ada pengelola museum masuk ke sekolah, kemudian memberikan kuis berhadiah cinderamata.
Menjawab Disrupsi
Melihat problem yang dihadapi museum, masih adakah museum yang mampu bertahan atau bahkan semakin besar? Museum Benteng Vredeburg di Yogyakarta dan Museum Sejarah Jakarta adalah dua contoh museum lain yang terbukti mampu bertahan dan bahkan semakin dikenal.
Mulai resmi beroperasi pada 1987, tak berlebihan jika Museum Benteng Vredeburg merupakan contoh ideal pengelolaan museum di Indonesia. Menurut Kepala Museum Benteng Vredeburg Christiari Ariani, museum yang dikelolanya tidak terpengaruh masalah anggaran.
Sesudah otonomi daerah, status museum ini tetap berada di bawah pemerintah pusat melalui Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Ditjenbud, Kemendikbud. Anggaran yang diterima museum ini dari pemerintah pusat juga terus meningkat setiap tahun. Tahun 2016 Vredeburg menerima anggaran Rp 15 miliar dan tahun lalu menerima Rp 17 miliar.
Sementara, Museum Sejarah Jakarta juga mendapatkan anggaran yang cukup walaupun pengelolaannya kini di bawah pemerintah provinsi DKI Jakarta. Menurut Basarudin, Kasatlak Edukasi dan Informasi Unit Pelaksana Museum Kesejarahan Jakarta, sejak 1974 hingga 2004 anggaran dan program museum masih mengacu pada Dinas Pariwisata DKI Jakarta.
Sejak tahun 2005, museum berada di bawah kewenangan Pemprov DKI Jakarta. Setiap tahun, Museum Sejarah Jakarta memperoleh dana pengelolaan rata-rata Rp 20 miliar.
Walaupun di bawah kewenangan Pemprov DKI Jakarta, museum ini memiliki kebebasan untuk mengusulkan berbagai program, baru kemudian keputusannya ada di tangan pemrov. Artinya, tidak tertutup kemungkinan anggaran untuk museum setiap tahun bisa lebih besar sejalan dengan kebutuhannya.
Kondisi ini berkebalikan dengan yang dialami Museum Lambung Mangkurat. “Acuannya adalah pagu (batas tertinggi), jadi jika terima dananya sekian yang diterima, ya kami menjabarkan saja. Yang sulit itu jika kami minta lebih,” ungkap Kepala Museum Budi Prayogo.
Dukungan dana untuk Museum Sejarah Jakarta dan Vredeburg diikuti perbaikan museum. Sepanjang tahun 2012-2014, Museum Sejarah Jakarta melakukan konservasi, penataan dan tata pamer koleksi. Sementara, Vredeburg menciptakan ruang-ruang umum untuk ber-swafoto atau foto pre-wedding.
Kedua museum juga mengadakan kerjasama dengan berbagai komunitas, atau mengadakan kegiatan-kegiatan kolaboratif. Benteng Vredeburg mempunyai kegiatan jelajah malam museum, peringatan Serangan Umum 1 Maret 1949, Vredeburg Fair, atau acara temu komunitas. Kegiatan semacam itu diselenggarakan rutin setiap tahun dengan melibatkan berbagai komunitas dan museum lain.
Museum bekas benteng Belanda ini juga membangun perpustakaan yang sudah terkoneksi dengan Kemendikbud, sehingga bisa dimanfaatkan pengunjung untuk keperluan akademis seperti skripsi dan lainnya. Vredeburg juga memiliki situs sendiri yang dikelola dengan baik, ideal dengan kebutuhan digital masyarakat di era disrupsi.
Sementara, Museum Sejarah Jakarta juga mempunyai agenda rutin yang bersifat kolaboratif seperti Festival Jazz Kota Tua, Batavia Art Festival, atau Jelajah malam museum bekerjasama dengan komunitas Historia. Museum ini juga berkolaborasi dengan pemerintah DKI Jakarta dengan menyediakan sistem e-ticketing bekerjasama dengan Bank DKI. Dengan sistem ini, pengunjung tak perlu lagi antre hanya untuk membeli tiket masuk.
Pengalaman Museum Sejarah Jakarta dan Vredeburg menunjukkan bahwa anggaran yang besar tidak serta-merta menjamin daya tarik. Upaya-upaya kedua museum melakukan kolaborasi, berkomunikasi dengan masyarakat dan mempertahankan konsumen dilakukan oleh seluruh sumber daya museum mulai dari pintu masuk pengunjung, meninggalkan museum dan bahkan di berbagai ruang di luar museum. Kedua museum itu hanya sebagian kecil bukti bahwa museum mampu berjalan bahkan berselancar di atas disrupsi. (Litbang Kompas)