Guncangan Perekonomian Kota Palu
Gempa yang berdampak terhadap kehancuran Kota Palu sedikit banyak berimbas pada perekonomian di Provinsi Sulawesi Tengah. Hal itu tak terhindarkan mengingat keberadaan Kota Palu berperan penting dalam perekonomian di bagian tengah Pulau Sulawesi ini.
Sebagai ibu kota provinsi, keberadaan Kota Palu menjadi urat nadi penggerak ekonomi. Salah satu contoh adalah keberadaan Bandar Udara Mutiara SIS Al-Jufrie dan Pelabuhan Pantoloan yang merupakan pintu gerbang lalu lintas orang dan komoditas di Sulawesi Tengah. Kota Palu juga menjadi lokasi kantor-kantor pemerintahan dan bisnis yang jadi pusat kegiatan perekonomian. Tidak heran, jika terjadi bencana di kota ini, pasti memiliki dampak terhadap ekonomi wilayah di sekitarnya.
Struktur perekonomian Kota Palu sendiri dari tahun ke tahun masih bertumpu pada sektor tersier. Sektor ini meliputi sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta sektor jasa-jasa.
Tahun lalu, kontribusi sektor yang produksinya bukan dalam bentuk fisik, melainkan dalam bentuk jasa tersebut menyumbang Rp 13,4 triliun atau 64,98 persen dari total produk domestik regional bruto (PDRB). Jumlah itu naik Rp 12,2 triliun dari tahun 2000 yang mencapai Rp 1,2 triliun.
Sadar akan kekuatan Kota Palu di sektor tersier yang merupakan jasa usaha, pemerintah kota tidak terlalu berharap banyak dari sektor sumber daya alam. Sekitar 34,63 persen penduduk usia kerja terserap di sektor jasa. Sementara itu, perdagangan, hotel, dan restoran menampung 28,84 persen penduduk usia kerja.
Data sensus ekonomi tahun 2016 dari Badan Pusat Statistik menunjukkan, jumlah perusahaan menengah besar di Kota Palu mencapai 1.468 unit atau 47 persen dari total 3.133 unit perusahaan skala menengah besar yang tersebar di seluruh Sulawesi Tengah.
Adapun nilai ekspor yang dicapai Kota Palu pada 2016 sebesar 16,75 juta dollar AS, sementara nilai impor berjumlah 10,08 juta dollar AS. Data-data ini menunjukkan bahwa Kota Palu menjadi salah satu daerah ekonomi andalan yang mencatat perdagangan luar negeri yang surplus.
Kawasan ekonomi khusus
Seiring dengan andil besar Kota Palu dalam perekonomian Sulawesi Tengah, khususnya di sektor industri dan perdagangan, kota ini menjadi salah satu kawasan ekonomi khusus (KEK) yang ditetapkan pemerintah pada 27 September 2017. Palu ditetapkan sebagai KEK lewat Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2014.
Dari sisi ekonomi, KEK Palu sangat strategis karena posisinya berada di jalur perdagangan nasional dan internasional. Kawasan seluas 1.500 hektar di Kecamatan Tawaeli, dekat dengan Pelabuhan Pantoloan, Palu, itu menghubungkan kota-kota di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Selain itu, letak KEK Palu juga menjadi jalur strategis perdagangan ke Malaysia dan Filipina
Setelah pembentukan KEK Palu, PT Bangun Palu Sulawesi Tengah (BPST) selaku Badan Usaha Pembangun dan Pengelola (BUPP) KEK Palu kemudian menjalin kerja sama dengan PT STM Tunggal Jaya. Kedua perusahaan akan membentuk ventura bersama dengan nilai investasi mencapai Rp 7,2 triliun. Kerja sama itu dimulai guna mendorong hilirisasi industri logam dan meningkatkan nilai tambah dari komoditas hasil alam unggulan di Sulawesi, seperti rotan, rumput laut, dan kakao.
Geliat KEK Palu tidak hanya berlanjut dengan masuknya PT Hong Thai Internasional. Perusahaan ini membangun pabrik kimia dasar berbasis pengolahan getah pinus dengan investasi senilai Rp 13,74 miliar. Produksinya berupa minyak terpentin dan gumrosin yang antara lain menjadi bahan baku bagi industri farmasi dan parfum. Ekspor terpenting Indonesia hingga awal tahun 2017 masih tercatat berada di urutan terbesar kedua di dunia setelah China.
Perusahaan lain, yakni PT Asbuton Jaya Abadi, juga memulai pembangunan pabrik fraksi bahan bakar padat. Nilai investasinya mencapai Rp 100 miliar dengan target produksi 100.000 ton per tahun untuk menyumbang kebutuhan aspal di Indonesia yang totalnya mencapai 1,2 juta ton per tahun.
Bencana kesejahteraan
Patut disayangkan, letak strategis Kota Palu dan dukungan modal agaknya belum berbanding lurus dengan kualitas perekonomian kota ini. Realisasi pendapatan dalam APBD Kota Palu 2016 mencapai Rp 1,39 triliun. Dari total penerimaan daerah itu, pendapatan asli daerah (PAD) hanya memberikan kontribusi sebesar Rp 284,5 miliar atau seperlimanya saja.
Minimnya PAD merupakan salah satu tantangan yang dihadapi Kota Palu sejak era otonomi daerah digulirkan. Perkembangan PAD dari tahun ke tahun kurang menggembirakan. Tahun 2000, PAD Kota Palu hanya mampu menyumbang senilai Rp 4,2 miliar atau 7,28 persen. Dalam rentang 18 tahun, kenaikan PAD hanya mencapai 3 kali lipat.
Kota Palu juga dihadapkan pada tantangan ketimpangan pendapatan dan lapangan kerja. Ketimpangan ini tecermin dari perhitungan indeks Williamson, yang menggunakan dasar perhitungan PDRB per kapita dalam kaitannya dengan jumlah penduduk per daerah. Nilai indeks mendekati 1 menunjukkan bahwa kesenjangan pendapatan antardaerah di suatu wilayah relatif besar. Adapun nilai indeks Williamson mendekati nol menunjukkan hal sebaliknya.
Data indeks Williamson 2016 pada 13 kabupaten/kota di Sulawesi tengah menunjukkan terjadinya ketimpangan pendapatan antardaerah di dalam wilayah administrasi Kabupaten Morowali Utara, Kabupaten Banggai, dan Kota Palu. Besaran indeks Williamson di tiga kabupaten itu mendekati nilai satu dengan rincian di Kabupaten Morowali Utara (1,35), Banggai (1,78), dan di Kota Palu senilai 0,76 sepanjang tahun 2016.
Sementara di 10 kabupaten lain besaran indeks Williamson cenderung mendekati nol, yang menunjukkan relatif meratanya pendapatan antardaerah di wilayah-wilayah kabupaten itu. Di tingkat provinsi, besaran indeks ini juga mencapai 5,09 yang menunjukkan terjadi ketimpangan pendapatan antar-kabupaten/kota di Sulawesi Tengah tahun 2016.
Sementara itu, tingkat pengangguran terbuka di daerah yang mengalami ketimpangan pendapatan, khususnya di Palu, masih relatif besar. Tahun 2016 tercatat tingkat pengangguran terbuka di Kota Palu mencapai 8,32 persen, dua kali lipat lebih tinggi dari persentase tingkat pengangguran terbuka Provinsi Sulawesi Selatan pada kurun waktu yang sama.
Sedikit banyak, ketimpangan pendapatan dan persoalan kesenjangan lapangan kerja yang terjadi antardaerah di Sulawesi Selatan dan Kota Palu turut berkontribusi pada persoalan-persoalan sosial. Pada saat bencana seperti saat ini, munculnya kasus penjarahan boleh jadi juga disebabkan oleh kesulitan hidup warga yang sudah mengendap sebelumnya.
Kini, bencana gempa turut meluluhlantakkan geliat industri dan kawasan khusus dan memperberat tantangan mewujudkan kesejahteraan di Sulawesi Tengah, khususnya Kota Palu. Kendati demikian, setidaknya harapan masih bisa diperoleh justru dari daya tahan masyarakat Palu sendiri.
Bagaimanapun Kota Palu juga mencatat besaran Indeks Pembangunan Manusia(IPM) yang relatif baik. Angka IPM memberikan gambaran menyeluruh mengenai tingkat pencapaian pembangunan manusia sebagai dampak dari kegiatan pembangunan yang dilakuan suatu negara/daerah. Semakin tinggi nilai IPM suatu negara/daerah menunjukkan pencapaian pembangunan manusianya semakin baik.
Dalam konteks ini, Kota Palu menempati peringkat IPM tertinggi di antara kabupaten lain di Sulawesi Tengah. Tahun 2016, tercatat besaran IPM Kota Palu adalah 79,73, sedangkan nilai IPM kabupaten lain di Sulawesi Tengah berada di bawah 70. Bahkan, IPM Kota Palu jauh lebih tinggi ketimbang IPM Sulawesi Tengah (67,47) di tahun yang sama. Modal pembangunan manusia ini akan menjadi salah satu faktor penting dalam percepatan pemulihan bencana di Kota Palu. (ANDREAS YOGA PRASETYO/LITBANG KOMPAS)