Rudal S-300 Rusia di Konflik Suriah
Rusia memiliki sistem pertahanan dan persenjataan yang disegani. Gambaran kekuatan militernya dapat terlihat saat melakukan latihan perang dengan China dua pekan lalu di Telemba, wilayah perbatasan China (12/9/2018). Saat itu Rusia mengerahkan 300.000 orang tentaranya. Rusia juga membawa serta 1.000 pesawat militer termasuk pesawat tempur canggih Sukhoi Su-35, helikopter tempur, dan drone.
Dua armada angkatan laut juga disertakan dengan 80 kapal Fregat berikut rudalnya. Armada darat tidak ketinggalan, dikerahkan 36.000 tank dan kendaraan lapis baja seperti Tank T-80 dan T-90. Sebagai pamungkasnya, Rusia memamerkan rudal Iskander yang mempunyai kemampuan membawa hulu ledak nuklir yang mematikan.
Kemampuan lain yang memberikan efek gentar bagi negara-negara lain adalah sistem rudal pertahanan udara Rusia, S-300. Rudal ini bisa menembak jatuh pesawat tempur atau rudal yang diluncurkan pihak lawan. Kemampuan rudal tersebut dianggap setara dengan sistem rudal antirudal Patriot milik Amerika Serikat.
Dalam catatan Kompas, sistem rudal S-300 pertama kali dioperasikan pada 1978. Walaupun merupakan peninggalan sisa perang dingin era Uni Soviet, namun sistem persenjataan tersebut sudah menjalani proses modernisasi. Beberapa versi terbaru rudal itu, yakni S-300PM2 ”Favorit”, S-300VM “Antey 2500”, dan S-300V4. Tidak heran, rudal S-300 masih tetap menjadi sistem pertahanan udara yang bisa diandalkan saat ini.
Rusia memiliki lebih dari 900 rudal S-300 untuk menjaga wilayahnya yang sangat luas, 17 juta km persegi. Daya tempur rudal tersebut mampu mempertahankan suatu wilayah dari serangan udara massal pihak musuh. Berbagai bentuk serangan udara, mulai dari pesawat tempur atau pesawat pengebom, rudal jelajah, hingga rudal balistik, bisa dihancurkan oleh rudal tersebut (Kompas 14/6/2013).
Versi terbaru rudal itu, yakni S-300V4 memiliki hulu ledak seberat 150 kilogram dan memiliki jarak tembak hingga 400 kilometer, kurang lebih setara dengan jarak Jakarta ke Semarang. Dipadukan dengan kualitas radar yang baik, rudal ini mampu menembak berbagai sasaran, mulai dari yang terbang pada ketinggian serendah 10 meter di atas permukaan tanah hingga obyek yang terbang pada ketinggian 27 km.
Kemampuannya bisa menghancurkan target yang sedang bergerak dengan kecepatan hingga 10.000 kilometer per jam di udara. Sistem radarnya mampu mendeteksi 100 sasaran secara simultan, dan kemudian mengunci 12 sasaran di antaranya untuk dihancurkan secara bersama-sama. Dari sisi kecepatan waktunya, sistem rudal S-300 yang berbasis pada kendaraan yang mudah dipindah-pindahkan itu bisa disiapkan untuk menembak hanya dalam waktu lima menit.
Awal pekan ini, rudal S300 membuat tensi konflik di Timur Tengah sedikit menghangat. Rencana Rusia untuk mengirim sistem pertahanan udara S-300 ke Suriah menjadi perhatian berita utama sejumlah koran. Koran Kuwait Times, Arab News, Gulf News, dan The National, memberitakan rencana Moskwa yang akan menyerahkan sistem pertahanan S-300 ke Damaskus sesudah insiden yang terjadi di Laut Tengah. Saat itu, pesawat pengintai IL-20M berawak 15 orang milik Rusia tertembak jatuh.
Insiden bermula saat pesawat F-16 Israel yang sedang menyerang Latakia, wilayah Suriah dekat Laut Tengah, terbang di balik pesawat angkut IL-20M milik Rusia. Manuver itu dilakukan untuk menghindari rudal sistem pertahanan Suriah. Dengan manuver itu, IL-20M menjadi sasaran rudal Suriah.
Insiden tersebut membuat Rusia berang dan langsung bertekad memperkuat sistem rudal Suriah. Sokongan Rusia ini diyakini menambah kemampuan militer Suriah untuk meningkatkan pengamanan wilayah darat dan udaranya.
Peta baru konflik
Namun jika dicermati lebih mendalam, pengiriman S-300 ke Suriah ini sebenarnya merupakan sebuah pesan balasan Rusia terhadap Israel. Rusia menganggap jatuhnya pesawat oleh rudal Suriah merupakan skenario Israel. Pesawat Rusia itu dijadikan tameng oleh jet-jet tempur F-16 Israel.
Pesan balasan terhadap Israel ini tergambarkan dari penyataan otoritas Rusia yang menyatakan informasi yang diberikan oleh militer Israel bertentangan dengan temuan Kementerian Pertahanan Rusia. Kremlin menambahkan bahwa tindakan pilot Israel telah menyebabkan pesawat Rusia menjadi sasaran tembak sistem pertahanan udara Suriah.
Argumentasi kedua adalah komentar Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu yang menyebut kecelakaan pesawat yang menewaskan 15 anggota militer Rusia, telah memaksa Rusia untuk mengambil "langkah-langkah pembalasan yang memadai" untuk menjaga pasukannya tetap aman.
Dua hal tersebut dipertegas dengan pembicaraan telepon antara Presiden Vladimir Putin dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Putin mengatakan kepada Netanyahu bahwa langkah-langkah strategis telah diambil Rusia untuk mencegah ancaman apapun terhadap pasukan Rusia di Suriah.
Israel memiliki kepentingan memantau perkembangan militer Suriah. Israel sangat khawatir jika senjata-senjata modern yang dilibatkan dalam konflik Suriah jatuh ke tangan Iran atau milisi Hezbollah di Lebanon yang selama ini berseberangan dengan Israel. Tidak heran, jika sejak tahun 2010 Israel cemas dan terus membujuk Rusia agar tak mengirimkan rudal S-300 ke Suriah.
Israel juga terlibat dalam operasi militer ke Suriah, dengan tujuan utamanya menghadang pasukan Iran dan milisi pendukungnya agar tidak mendekat ke perbatasan Israel. Selain itu, tentu saja mencegah transfer senjata ke Iran dan Hezbollah. Karenanya, dalam operasi militer di Suriah, Israel lebih banyak melancarkan serangan untuk membatasi pergerakan pasukan Iran dan Hezbollah.
Kini dengan hadirnya S-300 di Suriah, bola keberuntungan mengarah ke Iran dan Hezbollah. Gerakan Iran dan Hezbollah di Suriah yang selama ini menjadi sasaran empuk pesawat tempur Israel akan mendapat perlindungan dari sistem canggih S-300.
Sedangkan pihak yang kurang diuntungkan dari kebijakan Rusia adalah Israel dan Turki. Pesawat tempur Israel tak leluasa lagi masuk wilayah udara Suriah, karena terancam pantauan rudal S-300. Demikian juga dengan Turki yang memiliki basis pasukan darat di wilayah Suriah utara. Pesawat tempur Turki juga tidak bebas lagi melindungi pasukannya lantaran terancam S-300.
Selain sisi keuntungan dan kerugian dari pihak-pihak yang berkonflik di Suriah, hadirnya rudal S-300 menimbulkan kekhawatiran baru terhadap masa depan perang Suriah. Berita-berita utama yang ditampilkan koran juga mengingatkan kedatangan S-300 berpotensi meningkatkan eskalasi konflik di Suriah. Israel, Turki, dan juga AS pasti tidak tinggal diam menghadapi amunisi baru yang tidak menguntungkan mereka. Jika ini terjadi, cerita akhir perdamaian di Suriah masih cukup panjang untuk dilalui. (LITBANG KOMPAS)