Penanganan Kemacetan di Ibu Kota Jakarta (I)

Jalan Hayam Wuruk, Jakarta, tempo dulu masih relatif lancar, tetapi sudah padat dan macet pada jam tertentu. Foto diambil pada 14 Juli 1975.
Kemacetan di Jakarta terus bertambah setiap tahun. Solusi instan dengan rekayasa lalu lintas dan menambah rambu-rambu lalu lintas serta kapasitas jalan terbukti tak mempan untuk mengatasinya.
Dibutuhkan upaya khusus untuk mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor dan menarik warga untuk menggunakan angkutan umum dengan penyediaan moda umum memadai.
Strategi transportasi push and pull tersebut membutuhkan proses berkesinambungan dan dilakukan bersamaan.
Kemacetan di Jakarta sudah terjadi sejak era 1960-an. Jika diandaikan seperti sebuah penyakit, kemacetan lalu lintas Ibu Kota saat ini sudah kronis dan sulit disembuhkan. Setiap gubernur yang memimpin Jakarta dari era Ali Sadikin hingga Anies Baswedan dihadapkan pada tantangan dan pekerjaan rumah yang sama dalam menyelesaikan stagnasi pergerakan kendaraan di jalan raya ini.
Penyebab kemacetan dari periode 1960-an hingga 1980-an tentu berbeda dari 1990-an hingga saat ini. Di periode 1960-1980 tersendatnya lalu lintas lebih karena adanya angkutan umum yang berhenti sembarangan ataupun angkutan umum yang parkir di badan jalan. Kemacetan juga sering terjadi di persimpangan jalan karena saat itu belum ada rambu lalu lintas untuk mengatur lalu lintas.
Penyebab kemacetan di periode 1960-an berbeda dengan saat ini.
Periode 1990 hingga sekarang, penyebab kemacetan lebih kompleks seiring dengan peningkatan jumlah kendaraan di jalan raya. Selain itu, faktor ketidakdisiplinan pengemudi kendaraan bermotor juga menyumbang penyebab kemacetan. Selain itu, volume lalu lintas juga tinggi yang lebih didominasi oleh kendaraan pribadi dan mobil.
Menilik lokasi, macet pun semakin banyak tidak hanya di persimpangan-persimpangan jalan, tapi juga di dekat pasar/pusat perbelanjaan, stasiun, terminal, hingga kawasan yang merupakan muara dari koridor jalur jalan Bodetabek menuju Jakarta. Bahkan, hujan pun bisa memicu kemacetan di penjuru Jakarta karena biasanya setelah hujan akan muncul genangan yang mengakibatkan kemacetan.

Terminal Lapangan Banteng dalam proses penataan dari yang semula semrawut. Tidak seperti pada 1970-an Lapangan Banteng oleh Gubernur DKI Ali Sadikin dijadikan terminal bus reguler dan bus antarkota dan antarprovinsi. Foto diambil pada 3 Oktober 1975.
Pola Jalan
Berdasarkan pemberitaan Kompas, kemacetan lalu lintas sudah dikeluhkan sejak 1965. Saat itu, kemacetan digambarkan dengan jarak antara Senayan dan Pintu Besar Selatan sejauh 12 kilometer ditempuh selama 14 menit dengan kecepatan 16 km per jam yang disamakan dengan kecepatan sepeda.
Diagnosis awal, jalan macet karena banyaknya kendaraan bermotor. Pada 1963, jumlah kendaraan yang melintas di jalan raya 11.667 unit, tetapi akhir 1964 menjadi 12.443 unit atau bertambah rata-rata 1.000 unit per bulan.
Namun, menurut Kompol Pamudji yang saat itu menjabat Kepala Polisi Lalu Lintas Jakarta, penyebab utamanya adalah pola jalan yang tidak memadai.
Pamudji membagi Jakarta menjadi tiga bagian: selatan (Kebayoran dan Jatinegara) merupakan kawasan permukiman, pusat (Jalan Merdeka, Lapangan Banteng, Gunung Sahari, Tanah Abang) sebagai kawasan perkantoran, dan utara (Glodok dan Tanjung Priok) kawasan perdagangan.
Tiga kawasan tersebut hanya dihubungkan dengan tiga jalan utama. Jalan yang menghubungkan Kebayoran-Glodok, Jalan Sudirman, Thamrin, Merdeka Barat, Gajah Mada/Hayam Wuruk.
Selanjutnya, jalan yang menghubungkan Jatinegara-Tanjung Priok, lewat Matraman, Salemba, Kramat Raya, Senen, Gunung Sahari, Ancol. Terakhir jalan yang disebut bypass terdiri dari Gatot Subroto dan Yos Sudarso.
Semua kendaraan di Jakarta menggunakan tiga jalan utama tersebut untuk bergerak dari selatan ke utara, selatan ke pusat, ataupun utara ke pusat. Akibatnya, terjadi kemacetan di tiap waktu, tidak hanya jam berangkat dan pulang kantor.
Pemecahannya, arus lalu lintas yang melewati tiga ruas utama tersebut ke jalan-jalan lokal/lingkungan harus dibagi. Sebagai gambaran, kendaraan dari jurusan kota yang akan ke Jalan Majapahit dilarang melewati Simpang Harmoni, tetapi harus memutar.
Sebaliknya, kendaraan dari Jalan Hayam Wuruk diperbolehkan melewati Simpang Harmoni menuju Jalan Majapahit. Selain itu, Pamudji juga mengusulkan untuk mengubah pola jalan seperti sistem di Amerika, yakni pola grid (kotak-kotak). Jika satu ruas jalan macet, kendaraan bisa disalurkan ke jalur jalan lain yang berdekatan.

Gubernur Ali Sadikin sedang berdiskusi di Jembatan Latuharhari yang menghubungkan Jalan HOS Tjokroaminoto ujung di wilayah Jakarta Pusat dengan wilayah selatan Kali Ciliwung, Minggu. Foto diambil pada 21 Desember 1975.
Parkir sembarangan
Selain persoalan pola jalan, penyebab kemacetan di Jakarta adalah banyaknya kendaraan dan becak yang parkir di badan jalan serta PKL yang berjualan di trotoar. Hal itu banyak terjadi di kawasan Kalibesar Barat, Kalibesar Timur, Pasar Senen, dan Jatinegara, Gunung Sahari, dan Gajah Mada/Hayam Wuruk.
Hal ini karena tempat parkir di Jakarta sangat kurang. Sampai Juli 1965, hanya ada satu tempat parkir umum di Jakarta, yakni di halaman Komdak Jaya (Kompas, 5/7/1965).
Selanjutnya, Pemda DKI mulai membangun tempat parkir kendaraan bermotor, seperti di kawasan Kalibesar Barat dan Timur (Februari 1967), di depan Stasiun Kota (Januari 1969), dan di atas Kali Ciliwung di Jalan Gajah Mada-Hayam Wuruk dengan memasang plat baja (Februari 1969).
Terhadap kendaraan pribadi yang sering parkir sembarangan di pinggir jalan, Gubernur Ali Sadikin pada 1965 mengeluarkan aturan. Orang yang membeli mobil harus bisa menunjukkan bukti telah memperoleh atau mempunyai tempat parkir.
Pada 1965, seorang pembeli mobil harus mempunyai tempat parkir.
Terhadap becak yang sering parkir sembarangan serta PKL yang sering berjualan di trotoar dan jalur hijau, Ali Sadikin juga mengultimatum supaya becak dan PKL bersih dari badan jalan dan trotoar sebelum 1 Agustus 1970.
Ali menyebutkan jika sebelum 1 Agustus jalan protokol belum bersih, akan diambil tindakan tegas sesuai dengan hukum yang berlaku (1/8/1970).
Tindakan tegas tersebut diambil karena petugas sudah beberapa kali melakukan peringatan, tetapi tidak diindahkan. Bahkan, sebenarnya larangan berjualan di trotoar sudah tertuang dalam Peraturan Tata Tertib Umum Jakarta Raya yang dikeluarkan pada 1942.
Macet di persimpangan
Kemacetan di persimpangan jalan serta pelintasan kereta api juga menjadi momok tersediri bagi warga Jakarta saat itu. Seperti digambarkan, kemacetan selalu terjadi di pertigaan Jalan Enggano-Yos Sudarso-Sulawesi di kawasan Tanjung Priok pada 1971.
Lampu lalu lintas yang sudah terpasang pada akhir 1970 belum bisa dipergunakan karena lampu masih dioperasikan secara manual. Selain itu, persimpangan tersebut juga merupakan pelintasan sebidang kereta api.
Pertigaan tersebut harus ditutup selama setengah jam menunggu kereta lewat. Padahal, situasi tersebut berlangsung selama empat kali dalam sehari. Penutupan selama setengah jam tersebut jelas menimbulkan kemacetan.
Penutupan persimpangan kereta api bisa memakan waktu setengah jam.
Bahkan, di persimpangan lain sejumlah pengguna jalan belum mengerti aturan lampu lalu lintas. Misalnya, saat lampu kuning menyala, mereka mengira harus segera melewati garis stop. Akibat salah pengertian ini sering terjadi tabrakan beruntun.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F09%2F19741015V001_1537949426.jpg)
Untuk melayani arus penumpang dari Jakarta ke luar kota yang hendak berlebaran, Gubernur DKI Jaya Ali Sadikin menyediakan 320 bus tambahan melengkapi bus-bus luar kota yang telah ada. Sebagian dari 320 bus kota tersebut di Parkir Timur, Senayan, menunggu perintah memasuki Lapangan Banteng. Foto diambil pada 15 Oktober 1974.
Selain itu, ada pula pengendara yang menaati lampu lalu lintas jika ada polisi saja. Saat itu warga mempunyai presepsi bahwa tak ada gunanya kendaraan berhenti karena dikendalikan lampu lalu lintas. Sementara sejumlah warga lain justru merasa waswas jika berhenti di persimpangan akan terjadi kriminalitas.
Meski demikian, keberadaan lampu lalu lintas pada akhirnya berfungsi dengan baik untuk mengatur kemacetan lalu lintas di persimpangan. Setelah lampu lalu lintas dibuat otomatis dari sebelumnya manual, kemacetan di Bundaran HI mulai berkurang.
Sejumlah pengendara mulai menyesuaikan diri dengan keberadaan lampu lalu lintas tersebut dan cukup terbantu.
Kapasitas jalan tak memadai
Persoalan kemacetan di persimpangan sedikit banyak terselesaikan dengan keberadaan lampu lalu lintas. Namun, kemacetan tetap saja terjadi karena tidak hanya terjadi di kawasan persimpangan.
Kemacetan baru tercatat terjadi di arah Harmoni, Glodok, Kebayoran Baru, Senen, Salemba, dan Pasar Baru. Sebagai gambaran, kawasan Salemba seharusnya bisa ditempuh setengah jam tetapi karena macet menjadi 1 jam.
Kemacetan tersebut dikeluhkan oleh pengguna jalan, tak hanya karyawan, pelajar, atau mahasiswa yang sering bermobilitas, tapi juga oleh ibu-ibu rumah tangga yang waktu memasaknya menjadi berkurang karena perjalanan berangkat dan pulang ke pasar tersendat oleh kemacetan.
Kemacetan tak hanya terjadi saat hari kerja, tapi juga saat akhir pekan,khususnya di daerah menuju luar kota, seperti Puncak.
Pemerintah menyadari penyebab kemacetan di sejumlah titik tersebut karena kapasitas jalan di Jakarta kurang memadai untuk menampung padatnya arus lalu lintas.
Sesuai catatan Kompas pada 1972, panjang jalan di Jakarta masih 1.000 kilometer dan kurang jika harus menampung sekitar 300.000 kendaraan. Oleh karena itu, Pemda DKI meningkatkan kuantitas jaringan jalan untuk mengurangi kepadatan lalu lintas. Jakarta masih membutuhkan 2-3 kali panjang jalan yang ada.

Gubernur Ali Sadikin meresmikan lapangan Monas Utara seluas 13 hektar yang kini jadi terang di malam hari karena sinar 148 lampu setinggi tiga meter. Air mancur dan lampu taman terpasang apik menjadikan taman Monas gemerlap. Foto diambil pada 28 Juni 1975.
Selain solusi tersebut, sudah mulai muncul wacana penggunaan angkutan umum massal, anjuran untuk menggunakan angkutan umum. Saat itu pemerintah menganjurkan masyarakat untuk membiasakan diri naik bus kota untuk beraktivitas.
Masyarakat kelas atas disarankan untuk menggunakan taksi. Intinya adalah mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Anjuran pemerintah pada 1971 tersebut tetap diteruskan oleh Gubernur Tjokropanolo yang mengusulkan untuk menggunakan angkutan massal bus gantung dan kereta metro.
Pembatasan kendaraan menjadi solusi untuk mengurangi kemacetan karena peningkatan penggunaan kendaraan pribadi meski pada 1971 masih berupa ide saja.
Saat jam-jam sibuk, kendaraan pribadi tidak boleh memasuki area rawan macet, kecuali membawa penumpang penuh. Disebutkan, satu sedan wajib diisi lima orang. Jika ide terwujud, 4.000 mobil bisa ditekan separuhnya.
Kemacetan pada periode 1965-1980 teratasi dengan rekayasa lalu lintas, penggunaan rambu-rambu lalu lintas, serta peningkatan kapasitas jalan.
Solusi tersebut sedikit menjawab persoalan karena saat itu jalan-jalan protokol Jakarta terbatas yang menjadi tumpuan mobilitas warga dari segala penjuru. (M. PUTERI ROSALINA/LITBANG KOMPAS) (BERSAMBUNG)