Meredakan Tensi Politik Empat Lawang
Beberapa kali penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di Kabupaten Empat Lawang bertensi tinggi. Termasuk saat pilkada 27 Juni 2018 lalu. Bupati baru terpilih mengemban tugas berat tidak saja menyelesaikan persoalan-persoalan daerah, tetapi juga menyatukan pihak-pihak yang berselisih.
Salah satu yang khas kota di Sumatera yang peradabannya tumbuh di tepi sungai, pusat perekonomian Kabupaten Empat Lawang pun terletak di tepi Sungai Musi. Pasar Musi Tebing Tinggi menjadi pusat transaksi komoditas kebutuhan sehari-hari. Namun, kondisi pasar tampak memprihatinkan. Pedagang tumpah ruah di badan jalan dan menyebabkan kemacetan lalu lintas.
Empat Lawang, kabupaten yang diresmikan pada 20 April 2007 ini masih bergulat dengan persoalan kesejahteraan. Terletak di simpang jalan Trans Sumatera, kabupaten yang beribu kota Tebing Tinggi ini menyimpan ironi. Lokasi yang menjadi simpul Trans Sumatera ini tidak menunjukkan gemerlap layaknya kota transit.
Jumlah keluarga miskin terbanyak justru berada di Kecamatan Tebing Tinggi yang merupakan pusat perekonomian Empat Lawang. Tebing Tinggi yang memiliki posisi strategis rupanya tidak mampu menangkap peluang dari sisi ekonomi.
Pengentasan kemiskinan sebenarnya menjadi salah satu tujuan Empat Lawang memekarkan diri dari kabupaten induknya (Kabupaten Lahat). Saat Empat Lawang dinyatakan otonom, hampir seperempat penduduknya berada dalam kondisi miskin.
Di atas kertas, laporan Badan Pusat Statistik menunjukkan terjadi pengurangan persentase penduduk miskin di Empat Lawang dalam kurun 2008-2016, dari 23,5 persen menjadi 4,5 persen. Namun, kondisi ini justru menjadi perdebatan dan ajang serang-menyerang saat pilkada karena dianggap tidak sesuai fakta dan ada unsur manipulasi.
Disinyalir, manipulasi data kemiskinan di Empat Lawang dilakukan demi memoles citra Bupati Budi Antoni Aljufri yang memerintah periode 2008-2013 dan 2013-2014. Karena “keberhasilan” ini, Empat Lawang dikeluarkan dari daftar daerah tertinggal oleh Kementerian Desa.
Akibatnya, Empat Lawang tidak lagi mendapatkan dana pembangunan daerah tertinggal. Hal ini dianggap bisa menyulitkan pemerintahan periode 2018-2023 mendapatkan dana dari pemerintah pusat.
Setali tiga uang dengan masalah kemiskinan, perekonomian Kabupaten Empat Lawang masih lemah. Dibandingkan dengan kabupaten atau kota lain di Sumatera Selatan, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Empat Lawang menempati urutan kedua dari bawah. Tidak hanya nilainya yang kecil, pertumbuhan PDRB-nya pun tergolong rendah. Bahkan, sejak 2013 tren pertumbuhannya menurun.
Kombinasi antara berhentinya aliran dana pembangunan dari pusat dan minimnya pendapatan daerah menjadikan tantangan kepala daerah Empat Lawang untuk mengentaskan kemiskinan semakin terjal.
Konflik Politik
Laporan Bawaslu mengenai Indeks Kerawanan Pemilu Pemilihan Kepala Daerah 2018 menempatkan Kabupaten Empat Lawang sebagai daerah dengan tingkat kerawanan sedang, peringkat ke-29 dari 154 kabupaten dan kota.
Penilaian tersebut didasarkan pada riwayat penyelenggaraan pemilihan sebelumnya di daerah itu. Aspek kontestasi dengan skor 2,9 menjadi titik perhatian, terutama yang menyangkut gesekan antarpendukung pasangan calon.
Laporan ini seharusnya bisa menjadi deteksi dini untuk mengambil langkah-langkah antisipasi terhadap berbagai hal yang dapat mengganggu jalannya demokrasi. Sayangnya, beberapa kali kericuhan tetap terjadi di sini.
Deklarasi damai yang diselenggarakan pada 18 Februari 2018 berakhir ricuh. Bahkan, empat bulan kemudian, bentrok antarpendukung kembali terjadi di Desa Padang Tepong, Kecamatan Ulu Musi. Konflik fisik menggunakan senjata tajam dan senjata api tidak terelakkan yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan korban luka-luka.
Panasnya kontestasi di Empat Lawang sudah dimulai sejak pilkada 2008. Gelombang unjuk rasa pernah terjadi menuntut perhitungan suara ulang di Tebing Tinggi. Saat penghitungan suara masih berlangsung, lima anggota panitia pemilihan kecamatan Tebing Tinggi menghilang selama dua hari.
Saat pilkada 2013 pun demikian. Panasnya persaingan ditunjukkan oleh upaya Budi Antoni Aljufri yang mengagalkan kemenangan Joncik Muhammad melalui gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Pada 2013, pasangan calon bupati Joncik Muhammad-Ali Halimi memenangi pilkada versi hasil rapat pleno KPU Kabupaten Empat Lawang. Tidak terima dengan hasil putusan KPUD, pasangan petahana, Budi Antoni Aljufri-Syahril Hanafiah melayangkan gugatan ke MK.
Putusan MK yang dibacakan pada 31 Juli 2013 oleh Akil Mochtar selaku Hakim Ketua kemudian memenangkan gugatan tersebut. Budi Antoni Aljufri dan pasangannya berhasil merebut tampuk pimpinan Empat Lawang periode 2013-2018. Berdasarkan hasil hitung ulang suara, Budi Antoni Aljufri-Syahril Hanafiah mendapat tambahan 52 suara. Sementara kubu Joncik-Ali Halimi kehilangan suara sebanyak 1.476. Joncik batal menduduki kursi Bupati Empat Lawang.
Pilkada 2018
Tidak patah semangat, Joncik Muhammad kembali maju di pilkada 2018 dengan menggandeng pasangan baru Yulius Maulana. Pasangan ini diusung oleh koliasi enam partai politik yaitu PPP, PDI-P, PAN, Partai Demokrat, PKB, dan PKPI yang menguasai 19 kursi di DPRD. Pilkada 2018 adalah ajang pilkada yang diikuti Joncik untuk yang ketiga kalinya.
Pesaing Joncik kali ini adalah pasangan calon David Hadrianto Aljufri – Eduar Kohar yang diusung oleh koalisi parpol Golkar, Gerindra, dan Nasdem (16 kursi di DPRD) dan pasangan calon Yulizar Dinoto – Kison Syahrir yang maju dari jalur perseorangan.
Meski di atas kertas dukungan partai terhadap pasangan calon Joncik Muhammad – Yulius Maulana dan David Hadrianto Aljufri – Eduar Kohar bisa dikatakan berimbang, kontestasi akhirnya dimenangkan oleh pasangan Joncik Muhammad – Yulius Maulana.
Joncik Muhammad – Yulius Maulana memenangkan pilkada Empat Lawang 2018 dengan meraih suara mayoritas yaitu 60,28 persen. Sementara pasangan David Hadrianto Aljufri – Eduar Kohar mendapatkan 34,79 persen suara. Pasangan Yulizar Dinoto – Kison Syahrir hanya kebagian 4,93 persen.
Kemenangan Joncik kali ini terdongkrak karena rekam jejak lawan yang sedikit banyak lebih menguntungkan posisinya. David Hadrianto Aljufri adalah saudara kandung mantan bupati Budi Antoni Aljufri, yang pernah mengalahkan Joncik di pilkada 2013. Masih melekat dalam ingatan masyarakat bahwa keluarga ini pernah tersandung kasus suap perkara gugatan hasil pilkada 2013 yang melibatkan Ketua MK Akil Mochtar.
Klan Aljufri sudah menjadi “penguasa” Empat Lawang sejak pilkada perdana 2008. Kala itu, pasangan Budi Antoni – Sofyan Jamal memenangi pertarungan. Petahana unggul kembali pada pilkada 2013. Majunya David Hadrianto di pilkada 2018 bisa dipandang sebagai upaya klan Aljufri untuk kembali berkuasa.
Selain itu, nuansa politik identitas turut mewarnai persaingan antara kubu Joncik dan David Hadrianto. Joncik Muhammad – Yulius Maulana dianggap representasi dari “anak pande” yang dalam bahasa setempat berarti rakyat jelata atau proletar. Sedangkan kubu lawan dari klan Aljufri representasi dari keluarga penguasa.
Kemenangan Joncik di kesempatannya yang ketiga kali ini dianggap sebagai kemenangan kaum "proletar". Kemenangan yang selanjutnya harus bisa membuktikan kinerja yang mampu mengangkat hidup orang banyak dari kemiskinan yang melilit. (YOHANES ADVENT/LITBANG KOMPAS)