Identitas dalam Politik (5): Jurus Outdoor Jokowi dan Indoor Ahok
Pilkada DKI 2017 tidak saja menjadi arena kontestasi untuk memilih gubernur, namun juga arena membangun kekuatan baru, Islam politik. Di tengah kecamuk itu, terbentang dua sisi kepribadian yang membuka dan menutup episode pergelaran identitas dalam politik.
Pukul 11.40 WIB Presiden Joko Widodo keluar dari Istana Presiden, didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menkopolhukam Wiranto, Panglima TNI Gatot Nurmantyo, dan beberapa menteri kabinet. Dalam gerimis, mereka menuju kerumunan massa Bela Islam Jilid III yang sedang bersiap melaksanakan shalat Jumat di Monumen Nasional. Presiden melaksanakan ibadah itu bersama puluhan ribu orang yang sedang berdemontrasi menuntut Ahok diadili.
Tampaknya hari itu akan menjadi momen sejarah penting bagi Jokowi maupun sebagian massa Islam yang sedang terakumulasi meniti jalur keras.
Usai shalat, Jokowi menuju podium, panggung orasi yang sebelumnya dipakai oleh sejumlah tokoh Islam untuk menyuarakan tuntutannya. Di sana ada Habis Riziek Shihab, penggerak utama aksi massa 2 Desember 2016 atau yang kemudian dikenal sebagai Aksi 212 itu.
“Yang saya hormati, yang saya muliakan para ustad, hadirin, hadirot, para ulama, para kiai, para habib, para ustad, hadirin hadirot yang pada siang ini hadir. Pertama-tama, terimakasih atas doa dan dzikir yang telah dipanjatkan untuk keselamatan bangsa dan negara kita. Alahu Akbar! Alahu Akbar! Alahu Akbar! Yang kedua, saya ingin memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya, karena jemaah yang hadir tertib...dalam ketertiban, sehingga semuanya berjalan dengan baik. Alahu Akbar! Alahu Akbar! Alahu Akbar! Sekali lagi terimakasih dan selamat kembali ke tempat tinggal masing-masing. Terimakasih...”
Belum usai Presiden Jokowi mengucapkan salam terakhirnya, Habib Riziek yang juga memegang mikrofon langsung meneriakkan, “Takbir...! Takbir...!”
Seketika, ajakan itu disambut dengan teriakan “Alahu Akbar...! Alahu Akbar...!” dan dilanjutkan dengan lantunan teriakan massa, “Tangkap..tangkap...tangkap Si Ahok sekarang juga! Tangkap..tangkap...tangkap Si Ahok sekarang juga!” Soliditas massa dalam gema yang eskalatif terus berlangsung, sebelum akhirnya mereka satu-satu meninggalkan Monas.
Keberanian Jokowi untuk tampil di tengah aksi unjuk rasa dalam kondisi politik yang makin memanas, mendapatkan apresiasi banyak kalangan. Bahkan, orang-orang yang berada di lingkaran dalam istana dan para menteri kabinet cukup terkejut dengan keputusan Jokowi untuk tampil di tengah massa yang cenderung mengambil posisi politik sebagai pihak lawan. Terlalu berbahaya bagi seorang presiden untuk berada di tengah massa yang diliputi kemarahan. Namun, mengapa Jokowi justru melangkah ke sana?
Jika saja, tidak ada unggahan video pernyataan Ahok di Pulau Pramuka, mungkin Jokowi tidak harus berdiri menghadapi ribuan massa yang marah di pelataran Monumen Nasional ini. Tetapi sejarah telah ditorehkan. Duet karakter yang berbeda, Jokowi dan Ahok, akan menghadapi lingkar politik yang berlainan. Ahok harus menghadapi tuntutan dan berakhir di belik terali besi, sementara Jokowi masih harus mengampelas sisi yang telanjur melengkung oleh pijakan Ahok.
Tiga Jilid Aksi
Pilkada DKI Jakarta 2017 merupakan sebuah kontestasi pemilihan gubernur dengan warna politisasi identitas yang paling keras. Keperkasaan Ahok, pada akhirnya tumbang oleh kekuatan identitas baru yang berhasil dibangun oleh lawan politiknya. Atas nama penodaan agama yang dituduhkan kepadanya, elektabilitas Ahok yang demikian kokoh pun tersaput gelombang takbir.
Pidatonya di hadapan warga Kepulauan Seribu pada 30 September 2016 menjadi pintu masuk yang lapang bagi sejumlah kalangan, bukan saja untuk menggerogoti kekuatan Ahok, namun juga membentuk sebuah barisan dengan identitas baru. Cuplikan ucapan Ahok yang mengaitkan pilihan masyarakat dengan Surat Al-Maidah ayat 51, menjadi pintu masuk bagi lawan-lawan politiknya untuk menggempur pertahanan Ahok.
Dengan cepat, cuplikan video itu menjadi viral dan memunculkan sejumlah terminologi baru yang bermetamorfosis menjadi kekuatan massa meluruhkan elektabilitas pasangan Ahok-Djarot Saiful Hidayat. Seperangkat terminologi yang menjadi identitas pergerakan, di antaranya adalah Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI), Surat Al Maidah ayat 51, penistaan agama, Front Pembela Islam (FPI), Demo Bela Islam Jilid I, II, dan III serta Aksi 212. Lewat momen kasus ini, nama ulama juga mendapatkan tempat yang luas dan tinggi dalam khasanah politik kontemporer.
Kejadian itu bermula dari kunjungan kerja Ahok ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Di sana Ahok mengutip penggalan Surat Al Maidah ayat 51 untuk mengilustrasikan isu SARA yang digiring lawan politiknya demi mengalahkannya pada Pilkada Bangka Belitung.
Pernyataannya diliput dan direkam Dinas Komunikasi Informatika dan Kehumasan (Kominfomas) DKI Jakarta, yang kemudian memublikasikannya lewat akun YouTube Pemprov DKI. Pada 6 Oktober 2016, seorang netizen bernama Buni Yani mengunggah ulang penggalan video tersebut di halaman Facebooknya. Penggalan video itu diberi judul “Penistaan Terhadap Agama?”. Video ini merupakan editan dari video kunjungan kerja Ahok, dengan menonjolkan pernyataan yang ditengarai mengandung unsur penistaan terhadap agama Islam.
Video ini akhirnya ditonton oleh banyak orang dan menyulut emosi sebagian umat Islam. Beberapa ormas Islam kemudian mengirimkan pengaduan kepada kepolisian agar segera menindak lanjuti pernyataan Basuki tersebut. Pada 7 Oktober 2016 misalnya, Habib Novel Chaidir Hasan melaporkan Ahok ke kepolisian. Laporan Polisi Nomor LP/1010/X/2016 Bareskrim itu berisi aduan penghinaan agama yang dilakukan Ahok.
Perkembangan ini memaksa Ahok, pada 10 Oktober 2016, meminta maaf kepada publik karena telah menimbulkan kegaduhan. Beberapa tokoh Islam menyatakan menerima pernyataan maaf yang ia ajukan namun menambahkan bahwa proses hukum harus tetap berjalan.
Sehari kemudian, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan sikap terkait ucapan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menyinggung surat Al Maidah ayat 51. Dalam pernyataan sikap yang ditandatangani oleh Ketua Umum MUI Ma\'ruf Amin dan Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas pada Selasa (11/10/2016), disebutkan bahwa pernyataan Basuki Tjahaja Purnama dikategorikan: (1) menghina Al-Quran dan atau (2) menghina ulama yang memiliki konsekuensi hukum.
Setelah itu, suhu politik semakin panas. Soliditas massa penentangnya pun berlangsung eskalatif. Di tengah proses penanganan oleh kepolisian, demonstrasi dan desakan dari masyarakat bermunculan di berbagai wilayah. Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) dibentuk, dengan Bahtiar Nasir sebagai ketua dan Muhammad Rizieq Shihab (Ketua FPI) sebagai ketua pembina.
Pada 14 Oktober 2016, seusai shalat Jumat, ribuan ormas Islam yang dikomandoi oleh GNPF-MUI dan FPI melakukan aksi unjuk rasa di depan Balai Kota DKI Jakarta. Mereka menuntut agar penyelidikan atas kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama segera dilakukan. Habib Rizieq Shihab yang juga pimpinan FPI mengecam akan melakukan aksi yang lebih besar jika kepolisian tidak kunjung merespons kasus ini dalam tiga minggu berikutnya.
Tiga minggu kemudian, 4 November 2016, demonstrasi memang kemudian digelar lagi. Aksi ini dikenal sebagai Aksi Bela Islam Jilid II, Aksi 4 November, atau Aksi Damai 411. Pengunjuk rasa yang berasal dari Jakarta, Banten, dan Jawa Barat berduyun-duyun datang untuk menghadiri aksi yang dimulai usai shalat Jumat dan menjadikan posisi di depan Istana Negara sebagai pusatnya. Aksi ini berakhir dengan kericuhan. Selain di Jakarta, aksi serupa juga diadakan di beberapa kota lainnya di Indonesia.
Situasi ini memaksa Presiden Joko Widodo mengadakan konferensi pers di istana negara tepat tengah malam tanggal 5 November 2016 pukul 00.00 WIB, dan menyatakan sikapnya terkait kasus penistaan agama atas Basuki Tjahaja Purnama. Ia bersama kepolisian berkomitmen untuk menuntaskan kasus ini dalam waktu yang cepat dan juga secara transparan mungkin.
Setelah itu, penyelidikan pun mulai intensif dilakukan dengan memanggil saksi dari para pelapor dan pihak terlapor. Gelar perkara dilakukan pada 15 November 2016, untuk menentukan status hukum bagi Ahok. Pada 16 November 2016, kepolisian menetapkan Ahok sebagai tersangka kasus penistaan agama. Namun berdasarkan sejumlah pertimbangan, diputuskan bahwa Basuki tidak ditahan di penjara, hanya paspornya ditahan sehingga tidak bisa ke luar negeri.
Keputusan ini membuat geram sejumlah pihak, terlebih setelah dalam sebuah wawancara dengan beberapa media Ahok menuding para pendemo mendapatkan upah sebesar Rp 500.000,- untuk hadir dalam aksi unjuk rasa terakhir. Hal ini menimbulkan persoalan baru karena banyak kalangan terutama para pendemo tidak terima terhadap tuduhan yang dilontarkan Basuki. Di media sosial, adu argumen yang lebih hebat terjadi antara mereka yang mendukung aksi dan mereka yang mendukung Ahok. Aksi besar-besaran itu berimplikasi pada ditolaknya Ahok saat kemudian berkampanye Pilkada DKI 2017 di sejumlah wilayah Jakarta.
Menandingi politisasi agama dalam masa pilkada Jakarta, pada 19 November 2016 beberapa kelompok masyarakat mengadakan parade Bhinneka Tunggal Ika di sepanjang jalan Sudirman – Thamrin, Jakarta. Parade ini diikuti oleh ribuan orang dari berbagai macam kalangan dan agama. Mereka mencoba mengingatkan masyarakat agar membebaskan diri dari isu SARA yang makin berkembang. Sejumlah kalangan menanggapi parade ini sebagai unjuk rasa tandingan dari Aksi Bela Islam II, meskipun panitia pelaksana menegaskan tidak memiliki kaitan dengan aksi tersebut.
Namun, aksi itu kemudian mendapatkan tandingan yang lebih besar lagi dari GNPF MUI. Organisasi yang dibentuk oleh sejumlah ulama dan diketuai Ustadz Bachtiar Nasir ini kembali menggalang massa pada tanggal 2 Desember 2016. Setealh dalam aksi sebelumnya terjadi keributan antara massa dengan aparat, Ketua FPI Habib Rizieq yang menjadi tokoh penggerak utama menyampaikan bahwa aksi ini akan berlangsung dengan super damai karena diadakan dalam bentuk ibadah bersama, berupa berdoa dan melakukan shalat Jumat bersama. Namun, dalam orasi-orasinya, mereka lebih menampakkan seruan untuk segera menangkap Ahok. Acara yang kemudian dikenal sebagai Aksi 212 ini berakhir dengan hadirnya Presiden Jokowi di hadapan massa.
Persidangan perdana Ahok akhirnya dilangsungkan pada 13 Desember 2016, beragendakan pembacaan dakwaan Ahok. Ia didakwa dengan dakwaan alternatif antara Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP karena diduga menodakan agama. Dakwaan itu ditanggapi kubu Ahok dengan nota keberatan atau eksepsi.
Akan tetapi, Ahok kembali membuat blunder ketika dalam persidangan ke delapan (31/1/2017) Ia mengancam akan memproses hukum Ma\'ruf Amin. Ahok menilai, Ma\'ruf menutupi latar belakangnya yang pernah menjadi Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pernyataan ini segera mendapatkan respons negatif dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi massa Islam terbesar di Indonesia. Selain sebagai Ketua MUI, Ma’ruf Amin adalah Rais Aam, posisi tertinggi dalam kepengurusan NU.
Meski demikian, pada sidang ke-19, Kamis, 20 April 2017, JPU menuntut Ahok bersalah. Atas nama hukum, jaksa meminta majelis hakim menghukum Ahok 1 tahun penjara dengan masa percobaan selama 2 tahun.
Ahok yang terkurung oleh identitas yang ditempelkan padanya sebagai “penista agama” tak memiliki ruang gerak untuk membangun perlawanan. Hanya mengandalkan kekuatan kerja nyata, ketegasan, dan sikap anti kurupsi sebagai identitas yang melekat padanya, Ahok tak mampu mengatasi munculnya massa besar yang menyandang identitas baru. Hasil Pilkada DKI putaran kedua yang diumumkan KPU 30 April 2017 menunjukkan kemenangan diraih pasangan Anies-Sandiaga dengan 57,96 persen, mengalahkan pasangan Basuki-Djarot yang memperoleh 42,04 persen suara.
Tak hanya kalah dalam pilkada, Ia juga kalah dalam persidangan dan terpaksa harus masuk penjara, ketika Selasa 9 Mei 2017 majelis hakim menghukum Ahok 2 tahun penjara. Ahok dinyatakan terbukti bersalah melakukan penodaan agama karena pernyataan soal Surat Al Maidah ayat 51 saat berkunjung ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Vonis ini lebih berat dari tuntutan jaksa. Dalam sekat, dalam indoor, ingar-bingar kepribadiannya diredam.
Dua Sisi Kepribadian
Adalah Ahok, pemain indoor piawai yang terpeleset ketika bermain di lapangan outdoor. Kasus penistaan agama yang dilakukannya adalah bukti bahwa Ahok gagap ketika berada di arena terbuka. Sebaliknya, penampilan Jokowi di panggung demonstrasi menunjukkan dua sisi kepribadian Jokowi: cermat dalam kalkulasi bertindak dan penguasaan yang lugas di lapangan terbuka.
Jika menilik pada perjalanan hidupnya, Jokowi selalu menggarap langkah-langkahnya dengan presisi. Hidup dalam sebuah dunia pertukangan sejak lahir –ayahnya adalah pengrajin kayu– langkah-langkahnya selalu terukur. Kekeliruan dalam hitungan milimeter bisa berdampak pada hasil yang fatal. Sejak SMP, menurut penuturan Nurhayati, salah satu gurunya, pekerjaan sekolah selalu ia kerjakan dengan rapi. “Dari mulai mengerjakan, cara menulis, Jokowi selalu tertib,” katanya dalam sebuah reuni dengan Jokowi di Solo (20/08/2012).
Pembawaan itu kian matang ketika kemudian Ia menggeluti pekerjaan sebagai eksportir mebel. Menjadi produsen dan eksportir perabotan kayu selama 23 tahun membuatnya harus sangat cermat mengukur output dari hasil kerjanya bersama anak buahnya.
Jokowi mengakui, kebiasaan tertib seperti ini ia dapatkan dari pembeli-pembelinya dari luar negeri. “Ya mungkin ada bawaan (lahir), tapi diperkuat lagi oleh itu (pengalaman ekspor). Itu standar-standar yang saya pakai. Dua puluh tiga tahun saya di ekspor, satu mili saja jelek ya reject. Ekspor itu kalau (terkait) kualitas, satu mili pun tidak boleh cacat, (kalau) cacat out. Finishing merah, ya (harus) merah betul. Kebiasaan itu kan kenceng-kenceng (harus dipatuhi) betul. Saya biasa ke karyawan begini, kursi saya cek enggak bener, saya ancurin di depan mereka. Enggak guna kursi seperti itu, ini enggak masuk kualifikasi, untuk apa diterusin,” kata Jokowi di Loji Gandrung, Solo (20/08/2012).
Berbeda dengan Jokowi yang selain memiliki konstruksi berpikir cermat juga suka berada di lapangan, Ahok merupakan pekerja indoor, yang membangun sistem dari dalam. “Saya orang kantoran yang sudah biasa kerja seperti orang gila. Beda. Dia bukan orang kantoran. Orang tidak bisa membandingkan saya apple to apple dengan Jokowi, karena memang beda. Seorang Ahok nggak bisa blusukan ketemu rakyat...aku nggak bisa. Menurut aku, untuk apa kayak gitu. Tapi, menurut Jokowi, dengan cara itu dia bisa menggerakkan kerja. Kan beda. Nggak masuk akal? Masuk akal, kok. Dia bisa menggerakkan kerja,” kata Ahok dalam sebuah perbincangan dengan penulis di Balai Kota DKI Jakarta, tiga tahun sebelum Aksi Bela Islam Jilid Tiga (16/10/2014).
Jokowi juga dinilai oleh rekan dekatnya seringkali memiliki ketepatan rasa untuk apa yang dilakukannya. “Kelebihan Jokowi, karena Ia punya feeling,” ungkap Ahok yang pernah menjadi wakilnya memimpin Jakarta. “Ia tahu pilih orang, pilih teman untuk kerjain apa yang dia mau. Itu pemimpin. Dia kalau sudah percaya ini, oke sudah. Saya enggak tahu itu namanya talenta atau karunia. Makanya Ia bisa menjadi presiden. Orang bisa jadi presiden kan pilihan Tuhan. Suka enggak suka, kalau dia bisa terpilih berarti ada sesuatu yang istimewa dibanding orang lain,” lanjut Ahok.
Feeling atau ketajaman perasaan inilah yang mungkin memang tidak dimiliki Ahok. Kenisbian intuisi yang pada akhirnya menghentikan langkahnya menjadi kepala daerah dalam Pilkada 2017. Kelugasan kata, pilihan diksi, dan keberaniannya dalam menghadapi segala tantangan dengan keras, justru memukul balik langkah politiknya. Kokohnya karang kepribadian yang melekat pada identitas Ahok justru menjadi pijakan bagi lawan politiknya untuk mendaki puncak kekuasaan dengan cepat. Kata-katanya yang kerap meluncur tajam justru menjadi anak panah yang menusuk jantung pertahanannya sendiri, manakala diramu oleh lawan-lawan politiknya. (BERSAMBUNG). (BAMBANG SETIAWAN/LITBANG KOMPAS)