Geliat RRI Merawat Pendengar Setia
“Sekali di udara tetap di udara..” Slogan itu masih tergiang di telinga pendengar radio di era 1980-1990-an. Kini slogan Radio Republik Indonesia tersebut makin dibutuhkan untuk memperkuat persatuan bangsa. Di tengah persaingan berbagai platform dan konten media, RRI masih memiliki banyak pendengar.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada pekan lalu memberikan temuan menarik, di usia ke-73 RRI masih mendapatkan tempat di hati pendengarnya. Sebanyak 40,7 persen dari 663 responden yang diwawancara dalam jajak pendapat ini menyatakan lebih suka mendengarkan RRI daripada radio swasta.
Persentase tersebut hanya beda tipis dengan responden yang lebih menyukai mendengarkan radio swasta sebesar 46,5 persen. Dari angka 40,7 persen responden yang mendengarkan RRI tersebut, porsi terbesar berusia 41 tahun ke atas sebesar 66 persen, sedangkan pendengar berusia 17 – 40 tahun sebesar 34 persen.
Artinya, segmen pendengar RRI harus diakui porsi terbesarnya adalah pendengar dewasa dan kelompok usia lanjut. Mereka adalah generasi pendengar radio tahun 1970-1990 yang pada saat itu RRI menjadi sarana hiburan dan informasi ketika belum jumlah media massa belum sebanyak sekarang.
Menarik pula dari hasil jajak pendapat ini yang mengungkap mayoritas responden (84,5 persen) menyatakan setuju jika RRI disebut sebagai salah satu media pemersatu bangsa. Hal ini setidaknya terkait dua hal: sejarah panjang RRI dalam merebut kemerdekaan dari penjajah dan jangkauan siaran (coverage area) yang mencapai semenanjung perbatasan dengan negara tetangga.
RRI tetap bisa didengarkan hingga wilayah perbatasan karena terdapat pemancar RRI hingga wilayah pulau terluar. Masyarakat di wilayah perbatasan tetap bisa memantau perkembangan peristiwa di tanah air melalui siaran RRI.
Lembaga Penyiaran Publik
RRI ditetapkan pemerintah sebagai Lembaga Penyiaran Publik sejak tahun 2005. Peraturan Pemerintah No 12 tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (LPP RRI) mengamanatkan RRI sebagai lembaga penyiaran publik yang berbentuk badan hukum didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat.
PP No 12 tahun 2005 tersebut merupakan perpanjangan tangan dari UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Meskipun UU Penyiaran No 32 tahun 2002 tersebut masih akan direvisi, keberadaan LPP RRI sudah pada jalur yang tepat.
Di negara lain LPP juga ada, di Jepang misalnya ada NHK, di Inggris ada BBC, di Jerman ada Deutsche Welle (DW), di Australia ada ABC, di Malaysia ada RTM, dan masih banyak LPP di negara-negara lain.
Perbedaan antara penyiaran publik dan penyiaran komersial terdapat pada pada tataran sasaran khalayaknya. Media siaran komersial yang didukung oleh iklan cenderung hanya berkonsentrasi pada program-program yang merangsang daya tarik khalayak dalam jumlah yang besar. Sementara media penyiaran publik bergerak lebih jauh dari itu, karena harus melayani semua kelompok masyarakat.
Dengan fungsinya sebagai public service, konten siaran RRI bisa bersifat lebih independen dan tidak terpengaruh sebagai corong pemerintah sebagaimana terjadi di masa era mantan presiden Soeharto.
Segmen Pendengar RRI
Dari 663 responden yang berpartisipasi dalam jajak pendapat ini, konten siaran berita merupakan siaran yang porsinya paling banyak didengarkan oleh 67,3 persen responden, berikutnya program musik 13,6 persen dan sisanya program acara lain. Image atau kesan RRI merupakan radio berita ternyata masih melekat kuat di benak publik.
Ingatan publik 20 tahun silam sebelum reformasi masih cukup jelas jika pada saat itu hampir di setiap jam seluruh stasiun radio baik radio pemerintah (RRI) dan radio swasta wajib merelai siaran berita dari RRI. Setelah reformasi, radio swasta tidak wajib merelai siaran berita RRI.
Untuk mewadahi coverage usia pendengar yang lebih luas dan bersaing dengan radio swasta, maka RRI membuka 4 kanal programa (Programa 1, Programa 2, Programa 3, dan Programa 4). Setiap programa memiliki genre dan konten siaran yang khas dan berbeda-beda. Harapannya dapat melayani semua kebutuhan dan selera pendengar terhadap informasi dan hiburan.
Programa 1 RRI (Pro-1 RRI) berorientasi pada konten yang lebih umum (informasi, pendidikan, budaya, dan hiburan). Genre siaran ini kita kenal dengan RRI “zaman dulu” dengan beragam acara tumpah ruah dalam satu kanal. Programa 2 RRI (Pro-2 RRI) lebih menyasar ke pendengar muda. Konten siaran lebih banyak musik terkini dan gaya penyiar berita menyapa pendengar mirip radio swasta.
Programa 3 RRI (Pro-3 RRI) menyiarkan siaran berita dan informasi sepanjang hari. Selain reportase dari para petugas liputan RRI, keterlibatan warga dalam menyampaikan informasi juga dilakukan. Jurnalisme dari warga dan pandangan mata langsung warga dari lokasi kejadian memperkaya konten Pro-3 RRI. Radio swasta juga ada yang memiliki genre serupa Pro-3 RRI yakni grup Elshinta Radio dan Suara Surabaya.
Pro-4 RRI berorientasi menyiarkan konten budaya dan siaran yang bersifat lokal. Program acara wayang kulit semalam suntuk, misalnya, menjadi salah satu acara yang cukup dinantikan karena memiliki ceruk pendengar setia yang gemar wayang kulit.
Selain menyiarkan konten dengan bahasa Indonesia dan bahasa daerah, RRI juga membuka kanal siaran dengan bahasa lainnya (Inggris, Jerman, Perancis, Spanyol, Arab, Jepang, Mandarin). Siaran tersebut diwadahi dalam kanal Voice of Indonesia.
Konten ini berisi informasi, pendidikan, musik, dan hiburan lainnya yang dikemas dalam berbahasa asing tersebut. Strategi ini mirip yang diterapkan oleh Voice of America yang memiliki banyak bahasa dalam memancarkan program siarannya.
Era AM ke FM
Sejarah panjang medium frekuensi yang dipakai RRI tidak terlepas dari perkembangan teknologi radio pada masanya. Di awal era 1945 – 1980 jalur frekuensi yang digunakan RRI untuk memancarluaskan siarannya menggunakan spektrum frekuensi Short Wave (SW) dan Medium Wave (MW) / Amplitudo Modulation (AM).
Dengan menggunakan jalur frekuensi ini siaran RRI dapat ditangkap dari jarak yang sangat jauh. Sebagai contoh, di tahun 1980-an pendengar dari Yogyakarta yang ingin mendengarkan siaran langsung kejuaraan dunia bulu tangkis (karena tidak disiarkan TVRI) bisa mendengarkan RRI Jakarta pada jalur SW.
Jika radio transistor milik pendengar cukup peka daya tangkapnya, pendengar dari Yogyakarta menggunakan frekuensi AM/MW pun bisa menerima siaran yang dipancarkan langsung oleh RRI Jakarta tanpa relai dari RRI Yogyakarta.
Pendengar di Surakarta, misalnya, bisa mendengarkan siaran RRI Surabaya maupun RRI Palembang secara real time dengan radio transistor kala itu pada jalur MW/AM. Hal tersebut menjadi kelebihan RRI karena dengan didukung daya pancar yang kuat bisa menembus wilayah geografis beribu-ribu kilometer.
Hanya saja, kualitas audio yang diterima menggunakan frekuensi SW/MW/AM suranya bergelombang (naik turun level audionya) dan tidak sejernih radio yang beroperasi di jalur FM yang kualitas audionya stereo.
Awal tahun 1990 merupakan transisi era radio dari MW/AM beralih ke FM. Pada saat itu terjadi migrasi cukup besar radio swasta beralih ke jalur FM. Pada saat itu, RRI sudah lebih dahulu berada di jalur FM dengan Pro-1 dan Pro-2.
RRI cukup cerdik menyiasati beralihnya pendengar muda yang mulai gandrung dengan kualitas musik stereo yang dipancarkan oleh radio swasta di jalur FM. Pro-2 RRI di jalur FM lahir lebih awal dibanding radio swasta yang beralih ke FM.
Pro-2 RRI sangat populer dengan musik-musik yang bagus kala itu karena jumlah radio swasta belum sebanyak sekarang.
Masa reformasi tahun 1998 membuka gerbang baru bagi perkembangan dunia radio. Menteri Penerangan Muhammad Yunus Yosfiah (era Presiden BJ Habibie) membuka kran izin penyiaran radio. Membludaklah ratusan izin radio baru saat itu yang hingga kini radio baru tersebut tetap eksis mengudara.
RRI mulai surut jumlah pendengarnya karena pilihan stasiun radio yang didengarkan makin banyak dan beragam. Meski demikian semangat RRI sebagai pemersatu bangsa tidaklah redup.
Dari Analog ke Digital
Siaran analog AM/FM pun mulai mengalami pergeseran ketika internet mulai marak awal tahun 2000-an. Menjamurnya warung internet mengubah pola masyarakat mencari hiburan dan infomasi. Portal berita daring (online) baru juga marak bermunculan, sehingga RRI yang semula menjadi rujukan berita pun lambat laun tergeser. Pola konsumsi media bergeser ke digital.
Menghadapi fenomena digital, pada 2016 lalu RRI meluncurkan beberapa aplikasi “streaming” seperti “RRI Play” dan “BeYoung” melalui Android dan Apple iOS. Pada beberapa tahun sebelumnya, RRI juga sudah bisa diakses secara online lewat web streaming di portal RRI.
Saat ini, RRI memiliki tujuh stasiun di daerah perbatasan yang termasuk dalam 30 stasiun prioritas, yang didukung dengan pemancar berkekuatan rata-rata lima kilowatt (KW). RRI pun telah menjangkau 82% penduduk Indonesia lewat puluhan stasiun pemancarnya. Masih diperkuat lagi dengan menara transmisi pemancar di bukit-bukit untuk mengatasi blank spot area (wilayah tidak tercover siaran).
Penulis pernah mencoba memastikan apakah coverage area RRI mampu mengisi ruang blank spot area. Di kawasan perbukitan Bolaang Mongondow Utara, Provinsi Sulawesi Utara pada Januari lalu, ketika searching frekuensi radio FM yang diterima hanya RRI setempat. Wilayah tersebut konturnya pegunungan dan relatif jauh dari kawasan penduduk. Namun siaran RRI pada frekuensi FM bisa diterima cukup jernih.
Di wilayah perbukitan menuju Bukit Tinggi, Sumatera Barat dengan kontur tanjakan dan turunan yang cukup menantang pada tahun lalu, penulis juga mencoba searching frekuensi radio FM. Siaran yang tertangkap paling jernih adalah RRI Bukittinggi, sedangkan radio lain bisa dikatakan sinyalnya lemah. Setidaknya, hal ini membuktikan jika RRI telah menjangkau hampir seluruh blank spot area.
Di ulang tahun RRI ke-73 pada 11 September 2018 ini, RRI meluncurnya program RRI Net menjadi tanda salah satu tanda berkembangnya RRI. RRI Net menjadi salah satu cara bagi RRI untuk menjaring pendengar milenial. RRI Net siaran radio dengan menggabungkan gambar visual. Didirikan dengan tujuan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat melalui informasi dan meraih pendengar sebanyak-banyaknya. RRI mencoba menjaring pendengar milenial.
Beragam platform telah dimasuki oleh RRI sebagai radio pemersatu bangsa mulai dari frekuensi analog yang kini masih eksis mengudara (SW/AM/FM), siaran satelit yang bisa ditangkap menggunakan set top box (receiver) plus antena parabola, radio streaming via web, aplikasi RRI play via gawai, dan terakhir aplikasi RRI Net.
Semua platform tersebut bertujuan untuk menguatkan jangkauan siaran dari Sabang sampai Merauke, bahkan menembus mancanegara melalui siaran streaming web, siaran satelit dijangkau dengan parabola, dan aplikasi gawai.
Tagline “Sekali di Udara Tetap di Udara” kini bermetamorfosa menjadi “Dari Sini Indonesia Masih Ada, Dan Terus Ada”. Apapun tagline yang diusung RRI, pada hakekatnya RRI tetap eksis dan masih di hati karena nilai sejarah dan fungsinya sebagai public service tidak tergantikan oleh media lain yang cenderung komersial.
Fungsi RRI sebagai perekat sendi-sendi persatuan bangsa tetap diperlukan sampai kapanpun karena wilayah kepulauan Indonesia yang terbentang luas masih rindu akan hangatnya persatuan di era demokrasi saat ini. Dirgahayu RRI, Dirgahayu Hari Radio Nasional. (TOPAN YUNIARTO/LITBANG KOMPAS)