Larut dalam Drama dan Ketakutan di Bioskop
Film drama dan horor merupakan dua genre yang paling banyak diproduksi sepanjang perjalanan 20 tahun Reformasi. Tak hanya itu, kedua genre tersebut kerap menjadi langganan film laris di bioskop. Kemampuan kedua jenis film itu membuat penonton larut dalam film menjadi salah satu unsur penting pengakuan terhadap film drama dan horor.
Data yang dikumpulkan laman Filmindonesia.or.id memperlihatkan, tahun 2018 film-film terlaris berasal dari kedua genre itu. Urutan pertama adalah film Dilan 1990 (2018) yang merupakan film drama percintaan remaja. Film ini berhasil mengumpulkan 6.315.664 penonton hanya dalam beberapa bulan.
Peringkat kedua adalah film horor Danur 2: Maddah dengan jumlah penonton mencapai 2.572.133 orang. Urutan ketiga hingga kelima juga dipegang kedua genre tersebut, yaitu Si Doel The Movie, #Teman Tapi Menikah, dan Jailangkung 2, dengan jumlah penonton tiap film 1,4 juta hingga 1,6 juta orang.
Animo besar terhadap film bergenre drama dan horor juga bisa dilihat dari aspek produksi. Data di laman Filmindonesia.or.id menunjukkan, dari 1.201 judul film yang diproduksi sejak 1998 hingga 13 Juli 2018, film bergenre drama menduduki posisi terbanyak sebagai pengisi layar bioskop dengan proporsi 48,3 persen. Posisi berikutnya adalah film bergenre horor dengan proporsi 22,40 persen. Sementara itu, film dengan genre anak-anak, komedi, laga, dan thriller masing-masing tidak ada yang menyentuh angka 20 persen.
Kenyataan tersebut meneguhkan apa yang ditulis Ellen Meiksins Wood di bukunya, The Origin of Capitalism (1999), bahwa dalam masyarakat era kapitalisme modern, pasar merupakan sebuah keharusan (imperative), di mana produsen menyediakan barang yang dibutuhkan konsumen. Ketika barang tersebut laris, produsen akan terus menyediakan barang serupa atau bahkan memodifikasinya sehingga semakin laku.
Dengan demikian, bisa dikatakan film dengan kedua genre ini diminati masyarakat sehingga rumah produksi pun terus-menerus membuat film demikian. Sutradara dan rumah produksi juga memberikan variasi cerita tersendiri di kategori drama dan horor ini. Jika diperhatikan lebih detail, produksi film drama dengan tema percintaan mencapai 48,17 persen dari 573 film drama yang ada. Di bagian film horor, produksi tema mistis, baik bertema hantu maupun legenda urban, menguasai tema film dengan jumlah produksi 90,33 persen dari 269 film horor.
Baik genre drama maupun horor, keduanya mengalami perubahan seiring dengan bergantinya masa. Perubahan ini dilakukan agar tetap dapat menjaga penonton setia dari setiap genre ini. Lantas, sejauh manakah perubahan itu terjadi?
Transformasi drama
Menjelang berakhirnya Orde Baru, film-film drama percintaan mengalami dekadensi dan dipenuhi nuansa vulgar yang mempertontonkan sisi-sisi sensualitas dari pemainnya. Alur cerita monoton yang menyuguhkan romantika, konflik rumah tangga, hingga perselingkuhan menjadi hal yang dikesampingkan asalkan bungkusan sensual mampu menggiring penonton.
Bahkan, dari unsur judul saja beberapa film harus mengalami perubahan lantaran diksi yang dipakai terlalu vulgar. Misalnya deretan film drama di 1997, seperti Sensualitas Wanita diubah menjadi Belenggu Cinta (1997), Susan yang Seksi menjadi Sutra Biru (1997), dan Kekuasaan Seksual menjadi Kekuatan Seksual (1997). Perubahan judul ini penting karena unsur judul film termasuk dalam wacana teks yang signifikan membentuk persepsi publik tentang cerita dan adegan-adegan yang ada di dalam sebuah film (Foucalt, 1994).
Dekadensi tersebut terjadi dalam konteks ketika produksi film Indonesia mengalami masa tersulit. Produksi film Indonesia di periode menjelang turunnya Soeharto berada di angka yang rendah, hanya 20-an film dan bahkan hanya 4 judul film pada 1998. Oleh karena itu, resep paling mudah menarik penonton adalah menyajikan tema seksualitas yang vulgar. Untungnya, masa dekadensi itu segera berakhir.
Masa Reformasi ditandai oleh berbagai perubahan di banyak bidang, tak terkecuali tema film drama. Film drama yang berhasil mentransformasi perfilman Indonesia di awal Reformasi adalah film Ada Apa Dengan Cinta (2002). Film drama percintaan karya Rudi Soedjarwo ini digandrungi 2,7 juta penonton dan bahkan berhasil membuat mereka beberapa kali menontonnya di bioskop. Di samping mengembalikan penonton film Indonesia, film ini membuka lembaran baru pembahasan relasi perempuan dan laki-laki remaja dalam bungkus drama percintaan.
Film Ada Apa Dengan Cinta bahkan dibuat sekuel lanjutannya setelah 14 tahun. Ada Apa Dengan Cinta 2 (2016) yang digarap Riri Riza mendatangkan lebih banyak penonton, yaitu 3,6 juta orang. Kali ini, mereka yang datang menyaksikan tak terbatas pada usia remaja, tetapi juga kaum dewasa masa kini yang di awal 2000-an adalah remaja penonton Ada Apa Dengan Cinta.
Era keterbukaan politik turut memperluas spektrum tema-tema yang akan diangkat ke layar lebar. Film-film drama tak melulu membicarakan dinamika percintaan, tetapi sekaligus mempertanyakan nilai-nilai yang dianut agama tertentu dalam kaitannya dengan posisi perempuan. Film-film seperti Ayat-Ayat Cinta (2008), Ketika Cinta Bertasbih (2009), Perempuan Berkalung Sorban (2009), Surga Yang Tak Dirindukan (2015) adalah beberapa film yang menampilkan secara terbuka diskursus tentang posisi perempuan dalam relasinya dengan laki-laki.
Variasi tema turut disajikan oleh film drama percintaan pasca-Reformasi yang memperkaya isi dengan tambahan unsur tema lain, seperti komedi, keluarga, ataupun persahabatan. Penggarapan film di genre ini kian menampilkan keragaman dan perluasan pada ide cerita dan tema meskipun alur cerita yang disajikan tetap berakhiran sama, romantis atau tragis.
Di samping tema percintaan, tema-tema lain yang di masa Orde Baru hampir-hampir tabu untuk dibicarakan mulai diangkat menjadi narasi utama di masa kini. Film-film seperti Puisi Tak Terkuburkan (1999), Gie (2004), Soekarno: Indonesia Merdeka (2013), dan Di Balik 98 (2015) merupakan film drama dengan konteks sejarah yang bisa muncul di layar lebar pasca-Orde Baru.
Sebagaimana film adalah medium untuk berkreasi dan ekspresi, berbagai isu yang kerap diperdebatkan di masyarakat justru menjadi materi yang membangun cerita suatu film drama. Misalnya, film Lovely Man (2011) yang memperoleh tujuh penghargaan menyuguhkan tema cerita yang unik: religi dan transjender. Kisahnya, seorang anak perempuan yang mencari ayahnya ke Ibu Kota. Ketika bertemu, ia baru mengetahui bahwa ayahnya adalah seorang transjender.
Film Arisan! (2003) karya Nia Dinata membicarakan tentang drama kehidupan kelas menengah atas yang dibungkus dengan narasi tentang homoseksualitas, sebuah area yang belum pernah dielaborasi di masa sebelumnya. Film ini bahkan menampilkan adegan ciuman di antara dua pria yang belum pernah muncul dalam sejarah perfilman Indonesia. Arisan! bisa jadi merupakan simbol penting transformasi film drama di Indonesia dengan diboyongnya lima penghargaan tertinggi dalam Festival Film Indonesia 2004, termasuk kategori Film Terbaik.
Legenda urban
Selain drama, genre horor juga mengalami perubahan pada kedua zaman pemerintahan ini. Dalam Blood, Guts, and Bad Acting: Inside the Indonesian B Movies of the 1980s yang ada di laman Vice.com, sebuah media digital dan penyiaran yang bermarkas di AS, Charlet Duboc, pembuat film dari Inggris dan jurnalis VICE media, menuturkan bahwa genre horor berkembang di Indonesia setelah munculnya film Pemburu Mayat (1972) dan Ratu Ular (1972).
Tahun-tahun berikutnya, film horor kian bermunculan dan menampilkan kisah-kisah satanik horor yang bercampur dengan okultisme, sadisme, seks, dan komedi. Okultisme adalah kepercayaan pada kekuatan supranatural.
Memasuki era 1980-an, Badan Sensor Film (BSF) kala itu mengeluarkan Kode Etik Sensor Film yang melarang tayangan dengan unsur seksualitas dan kekerasan. Aturan ini tampaknya tak memberikan dampak terhadap produksi film horor tersebut. Bahkan, film horor semakin marak memasukkan kedua unsur tersebut, seperti tampak dari judul film-film berikut: Gairah Malam (1993), Godaan Perempuan Halus (1993), Godaan Membara (1994), Cinta Terlarang (1994), Pawang (1995), Bisikan Nafsu (1996), Mistik Erotik (1996), Birahi Perempuan Halus (1997). Adanya unsur tersebut tidaklah mengherankan karena film genre ini menyasar penonton kalangan kelas bawah yang turut dibuktikan dengan latar cerita dan penokohan yang dekat dengan kehidupan masyarakat di kelas itu.
Pergeseran latar terjadi di film horor pasca-Reformasi. Jika sebelumnya cerita yang diambil banyak menyorot seputar kehidupan masyarakat perdesaan berikut animismenya, di era ini latar bergeser ke daerah perkotaan dengan bangunan-bangunan tua, terowongan jembatan layang, rumah sakit, pemakaman umum, hingga pulau yang tidak berpenghuni.
Alur cerita yang dihadirkan bukan lagi tentang mitos yang hadir dari okultisme, melainkan para tokoh yang ”menjemput” kemistisan itu sendiri. Beberapa judul bisa disebut di sini, seperti Jelangkung (2001), Rumah Pondok Indah (2006), Hantu Jeruk Purut (2006), Terowongan Casablanca (2007), Suster Ngesot (2007), Mengejar Setan (2013), dan Sebelum Iblis Menjemput (2018).
Salah satu faktor pembeda yang cukup berpengaruh adalah situasi pemerintahan pada kedua zaman di atas. Pada masa Orde Baru, Undang-Undang Perfilman tahun 1992 memberikan pengaruh besar karena menjadi pintu masuk film-film asing untuk tayang di Indonesia. Akibatnya, film asing memonopoli pasar penonton dan film lokal semakin terimpit.
Dalam wawancara VICE, Joko Anwar, sutradara film laris Pengabdi Setan (2017), menjelaskan, di tengah banjirnya film impor yang tayang, produser film lokal berjuang keras agar filmnya dapat laku di pasaran. Hasilnya, film-film yang ada sering kali diwarnai dengan tema seputar drama dan horor yang saat itu memang masih dapat meraup massa.
Di masa Reformasi, terutama setelah 2006, berdasarkan penelusuran Litbang Kompas, jumlah film Indonesia yang diproduksi tak pernah berada di bawah angka 50 judul. Tahun 2016 dan 2017 bahkan berturut-turut mencapai angka 119 dan 116 judul film. Dengan angka ini, potensi mengeksplorasi tema-tema baru sangatlah besar, termasuk film-film bergenre horor.
Larut dalam film
Mengapa film drama dan horor disukai? Jawaban atas pertanyaan ini bisa dijawab dengan melihat apa yang sebenarnya diciptakan para pembuat film. Dalam buku Your Brain on Movies (2015), Jeffrey Martin Zacks menyimpulkan, indera penglihatan, indera pendengaran, dan otak bereaksi ketika muncul stimulus berupa gambar bergerak disertai suara yang muncul dari suatu adegan film. Menurut dia, pembuat film (sineas) yang bagus memiliki pengetahuan bagaimanakah itu persepsi, kognisi, dan emosi bekerja melalui karya yang ia ciptakan.
Ketika menonton sebuah film, unsur psikologis masing-masing penonton cenderung terlibat di dalamnya. Hal inilah yang kemudian senantiasa dikembangkan produser film, mulai dari alur cerita, plot, karakter para tokoh, adegan-adegan penting, teknis pengambilan gambar, hingga musik yang dihadirkan. Tak terkecuali film drama dan horor Indonesia yang semakin memperhatikan bagian ini secara menyeluruh.
Berbeda dari film dari genre lain, saat menonton film drama dan horor, konsentrasi penonton dibutuhkan sepanjang film. Konsentrasi ini dibutuhkan agar penonton tetap mengikuti alur cerita dan adegan-adegan penting di dalamnya. Kondisi inilah yang akhirnya membuat unsur emosi terlibat dalam diri penonton.
Sebagai contoh, film Dilan 1990 (2018) yang menduduki puncak klasemen jumlah penonton patut disorot sebagai perwakilan film drama percintaan. Film yang diadaptasi dari novel berjudul sama ini mampu merangkul lebih dari 6 juta penonton dengan alur cerita percintaan remaja di masa SMA.
Dari segi isi, karakter para tokoh utama, yaitu Dilan dan Milea, digambarkan sebagai sosok yang kuat tetapi juga rapuh, dan ini adalah poin penting yang mendekatkan dengan tokoh di dalam novel. Salah satu faktor larisnya film ini ialah kedekatan cerita yang dikonstruksi dalam film ini dengan realitas yang dihadapi sehari-hari para penontonnya. Bagaimanapun, film (khususnya drama) menjadi medium yang strategis untuk mengenali wajah serta berempati terhadap kondisi hidup orang lain, tak terkecuali persoalan romantika di dalamnya.
Dari sisi teknis, film ini mendapat pujian dari laman Kincir.com. Mulai dari pengambilan gambar hingga properti yang digunakan dinilai tepat sesuai tahun 1990-an di sepanjang film ini. Begitu pula dengan dialog yang digunakan beserta lelucon-lelucon khas zaman itu.
Untuk perwakilan film horor, Pengabdi Setan (2017) patut dicatat karena menempati posisi pertama dalam film terlaris 2017 dengan 4.206.103 penonton. Dari segi isi cerita, plot linear yang disajikan memudahkan penonton untuk merasakan nuansa menyeramkan tanpa harus berpikir sulit mengenai alur ceritanya. Dalam segmen horor, film ini mendasarkan cerita pada okultisme yang tidak lagi terlalu mengandalkan unsur religi sebagai solusi seperti di versi terdahulunya. Ritual yang menjadi dasar tragedi di film ini terus disampaikan hingga adegan akhir film.
Film buatan ulang dari Pengabdi Setan (1980) ini mampu menghadirkan suasana tahun 1980-an yang ditunjukkan mulai dari latar, pakaian dan aksesori pemain, hingga alunan lagu ”Kelam Malam” yang diputar pada gramafon klasik. Tentu, sensasi menyeramkan juga terbangun melalui bunyi khas lonceng milik sosok ”ibu” yang ikonik di film ini. Sementara itu, pergerakan kamera dan penataan suara di sepanjang film patut diakui mampu menyajikan konsep mise-en-scène (telling the story) film.
Bisa dikatakan, para sineas Indonesia saat ini mengembangkan unsur teknis dalam film yang akhirnya mendukung alur cerita yang mampu membangkitkan emosi penonton. Sebagai contoh, film drama Marlina: Pembunuh dalam Empat Babak (2018) karya Mouly Surya. Meskipun di Tanah Air hanya mendapat perhatian 126.929 penonton, film ini sukses meraih tujuh penghargaan lokal dan ditayangkan di empat festival film international.
Film ini menunjukkan teknis pengambilan gambar yang berbeda dari film-film drama yang biasa beredar. Mouly Surya yang berlatar belakang master of film and TV dari Universitas Bond, Australia, menyuguhkan tampilan visual yang simbolik untuk membangun emosi penonton. Film yang bercerita tentang perjuangan perempuan Sumba di tengah budaya patriarki ini tidak terlalu banyak menggunakan efek suara atau musik untuk menunjukkan kekuatan visualnya.
Setidaknya ada dua simbol visual dari pengambilan gambar yang digunakan. Pertama, posisi pemeran yang berada di tengah atau di depan pemeran yang lain untuk menggambarkan bahwa tokoh tersebut sedang berada dalam posisi yang lebih kuat dari yang lain. Kedua, visual pencahayaan yang terlihat dari api yang membara digunakan untuk menunjukkan suasana hati para tokoh (terutama tokoh wanita) yang sedang bergejolak.
Indikator bagus atau tidaknya film drama sering disederhanakan ketika penonton tidak merasa bosan saat menonton film tersebut. Sama halnya dengan film horor, penonton merasa ketakutan saat muncul adegan menyeramkan. Indikator sederhana itu dapat diraih para sineas dengan memadukan antara isi cerita dan teknik yang andal dalam pembuatan film sehingga membangkitkan emosi penonton.
Dengan demikian, tantangan ke depan bagi sineas lokal adalah mengembangkan ide cerita dan memperluas wawasan mengenai teknik-teknik penggarapan film. Memang, tidak bisa dimungkiri, penonton Indonesia sudah menjadikan film-film Hollywood sebagai standar film mereka. Akan tetapi, paparan data di atas mengenai animo penonton tentu bisa menjadi tantangan, sekaligus peluang sineas untuk lebih berkreasi secara berkualitas. (YOHANES MEGA HENDARTO/LITBANG KOMPAS)