Identitas dalam Politik (3): Mempertahankan Pluralisme Kota Jakarta
Pemilihan kepala daerah DKI Jakarta tahun 2012 hingga Pemilu 2014 menjadi titik penting dalam sejarah politik Indonesia, bukan hanya karena seorang Walikota Solo berhasil menjadi gubernur ibukota negara atau menjadi Presiden RI, namun karena kontestasi tersebut menjadi titik awal masuknya masyarakat Indonesia ke tahap liminal.
Pada tahap liminal, rasionalitas masyarakat dibawa ke kondisi, merujuk antropolog Victor Turner (1967), “betwixt and between,” “tidak di sini atau di sana.” Tahap liminal ini sampai pada puncaknya ketika Pemilu 2014, yang menempatkan masyarakat sebagai inisian yang dapat digiring ke sana-ke mari tanpa kebenaran absolut. Lewat teknologi informasi dan media sosial, realitas sekarang dan masa lalu ditinjau ulang dan ditentukan maknanya oleh kepentingan masa depan.
Kebangkitan kelas menengah Indonesia, yang awalnya bersemai di Jakarta, berbarengan dengan merebaknya fasilitas media sosial dan teknologi informasi. Fasilitas media yang kemudian membebaskan masyarakat pada ruang luas tanpa batas kultural. Identitas, status, dan lencana tradisional yang tadinya melekat sebagai bagian dari masyarakat dengan sistem terstruktur, terdiferensiasi, dan sering hierarkis dalam kerangka politik, hukum, dan ekonomi, ditanggalkan.
Interaksi kemudian sepenuhnya ditentukan oleh inisiator. Inisiator dunia baru ini adalah pemilik perangkat-perangkat media modern yang dapat menciptakan ruang tanpa sekat, menembus dari urat hingga pembuluh yang terkecil. Kekuatannya mampu menyingkap elemen-elemen kognisi yang tadinya tersaput tradisi, membuka kotak pandora yang membebaskan individu dari keterikatan terhadap pengetahuan yang submisif terhadap tatanan lama.
Seperangkat identitas “Solo” yang dibawa Jokowi ke Jakarta pun mendapat tantangan baru dengan masuknya labeling yang diintrodusir lawan-lawan politiknya. Perjalanan politik Jokowi tidak lagi dimaknai secara linier, namun menjadi multininear, tiap sisi identitas mendapat antitesanya.
Kebangkitan Kelas Menengah
Pemilihan kepala daerah DKI Jakarta tahun 2012 adalah proses politik yang menampilkan fenomena sosial baru. Ajang pilkada ini bukan saja pertarungan antarkandidat merebut dukungan rakyat, namun merupakan pergumulan eksistensi kelas menengah mempertahankan pluralitas. Pada pilkada inilah, kelas menengah merepresentasikan dirinya dalam bentuk kekuatan yang solid merebut hegemoni politik yang cenderung membentengi diri dengan primordialisme.
Hingga tahun 2012, Jakarta adalah kota di mana pluralitas masih menjadi landasan utama yang ingin dipertahankan oleh kelas menengah. Siapapun yang ingin mereduksi wajah kota ini dengan menariknya ke dalam sektarianisme atau primordialisme, sulit mendapat dukungan dari kelompok masyarakat kota ini.
Hal ini, setidaknya sudah dibuktikan dalam pilkada sebelumnya, tahun 2007.
Ketika itu, kandidat Fauzi Bowo (Foke) lebih menampilkan diri sebagai sosok yang tampak lebih terbuka terhadap berbagai kalangan, dibanding Adang Daradjatun, lawannya, yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Walaupun banyak orang yang tidak tahu apa sesungguhnya afiliasi politik Foke, namun kekhawatiran akan bayang-bayang bakal dipimpin oleh Adang yang diusung partai yang terkesan kurang bersahabat dengan pluralisme, membuat orang lebih memilih Foke daripada Adang. Kemenangan Foke pada 2007 mampu mempertahankan Jakarta sebagai kota dengan nafas plural.
Namun, ketika lima tahun kemudian, dalam Pilkada 2012, Foke menampilkan strategi menepiskan pluralisme dengan menggandeng sejumlah kelompok masyarakat yang mengusung primordialisme, dan menebarkan kampanye hitam yang mencoba mengusik keberagaman, ia harus berhadapan dengan massa kelas menengah Jakarta.
Masyarakat kelas menengah yang ingin mempertahankan semangat keberagaman kota, bertemu dengan sosok yang memberi angin segar perubahan. Sosok itu bernama Jokowi, walikota berbadan kurus bertampang “ndeso” dengan pakaian sederhana, pemimpin yang hobi “blusukan” ke kampung-kampung kumuh, jauh dari ingar-bingar model kepemimpinan yang glamor.
Sejumlah atribut yang melekat padanya menjadi gambaran ideal untuk mendobrak kemapanan saat itu. Campuran antara sikap tegas, pekerja lapangan yang tak kenal lelah, tak memupuk kekayaan dengan jabatan, dan dekat dengan rakyat, menjadi identitas model kepemimpinan baru yang diperlukan oleh sebuah kota yang plural. Terlebih, Jokowi berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), sehingga mencerminkan kemajemukan yang lebih kuat. Ahok, yang keturunan Tionghoa Belitung dan beragama Kristen, menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan minoritas Tionghoa Jakarta.
Namun, dalam Pilkada DKI Jakarta inilah, untuk pertama kalinya, keimanan Jokowi mendapat tantangan yang begitu serius. Lewat broadcast message (BM) layanan perpesanan BlackBery Messenger, beredar isu-isu yang mengandung unsur suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), yang terutama ditujukan kepada pasangan Jokowi-Ahok. Jokowi dikatakan Kristen, sementara kecinaan Ahok digaungkan untuk memperlemah euforia dukungan terhadap pasangan itu.
“Pencitraan” juga menjadi kata yang kemudian muncul untuk meruntuhkan prestasi, aktivitas, dan kebijakan-kebijakan Jokowi. Selain itu, seruan-seruan juga dilakukan untuk lebih memilih calon pemimpin yang seiman (Islam) daripada yang lainnya.
Seruan seperti ini bukan saja disuarakan oleh sejumlah ormas Islam, tetapi juga Majelis Ulama Indonesia (MUI), pedangdut Rhoma Irama, dan elemen-elemen masyarakat yang lainnya. Demo dan ajakan-ajakan agar etnis Betawi di Jakarta memilih Foke-Nara pun kerap beredar. Hasil riset Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, menunjukkan topik SARA mendominasi pemberitaan media, terlebih pada media online. Dari analisis terhadap 1.951 berita dari 16 media, isu SARA mencapai 324 berita.
Isu yang semula beredar di ranah privat, seperti pesan singkat dan Blackberry Messenger, pun berpindah ke ruang publik dalam bentuk spanduk. Hingga menjelang pilkada putaran kedua pemasangan spanduk berisi isu yang menyinggung suku, agama, ras, dan antargolongan masih marak. Situasi ini memaksa Panwas bersama Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) menggelar silaturahmi bersama kandidat gubernur pada 28 Juli 2012, untuk mengampanyekan stop tindakan berbau SARA.
Kontestasi Pilkada
Menjelang pilkada, posisi Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara), dari hitung-hitungan di atas kertas, sebenarnya sangat kuat. Ia didukung oleh koalisi tujuh partai politik termasuk Partai Demokrat, Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Amanat Nasional, dan Partai Kebangkitan Bangsa pada pilkada putaran pertama.
Pada putaran kedua, Partai Persatuan Pembangunan dan DPD I Partai Golkar DKI Jakarta merapatkan dukungan kepada mereka, sehingga koalisi besar pendukung Foke-Nara berjumlah 11 parpol. Sementara, Jokowi – Ahok hanya didukung oleh dua partai, PDI-P dan Gerindra. Besarnya dukungan partai seolah menjamin Foke dapat mengulang kemenangan seperti pada pilkada 2007. Saat itu, ia didukung oleh semua partai, kecuali PKS yang mendukung Adang Daradjatun.
Tanda-tanda kuatnya posisi dukungan Foke sebetulnya juga terbaca dari hasil survei sejumlah lembaga, termasuk Litbang Kompas. Hingga beberapa minggu menjelang pilkada, masih belum terlihat adanya perubahan drastis konfigurasi dukungan para calon pemilih terhadap enam pasang kandidat gubernur dan wakil gubernur. Hasil dua kali survei opini publik yang diselenggarakan Litbang Kompas terkait ajang kontestasi politik Pilkada DKI Jakarta menunjukkan posisi dukungan masyarakat Jakarta untuk Foke-Nara masih jauh lebih unggul daripada Jokowi-Ahok.
Pada survei pertama yang dilakukan pada 13-20 April Foke-Nara mendapatkan 34,6 persen suara dan Jokowi-Ahok 21,7 persen. Pada survei kedua 19-22 Mei, posisi dukungan masih stagnan. Foke-Nara 34,9 persen dan Jokowi-Ahok 20,2 persen. Dengan selisih sekitar 13-14 persen, sebetulnya sangat sulit bagi Jokowi untuk merebut dukungan dalam waktu tiga minggu.
Meski demikian, menurut hasil kalkulasi Litbang Kompas, hanya 60 persen responden yang sudah sangat yakin terhadap pilihannya. Sisanya (40 persen), masih mungkin untuk berubah. Mereka adalah kalangan yang ”tidak yakin” akan pilihannya, kalangan yang hingga kini ”belum memutuskan”, dan kalangan yang ”belum tahu” siapa yang akan dipilih.
Dan, tampaknya memang massa mengambang inilah yang kemudian memperbesar peluang Jokowi-Ahok sehingga menang pada putaran kedua pilkada. Eskalasi dukungan yang demikian cepat mengalir dalam beberapa hari menjelang pilkada putaran pertama.
Dari enam pasangan yang bertarung, hanya Jokowi-Ahok yang mengalami perubahan sangat drastis, sementara perolehan suara pasangan lain relatif sama dengan hasil survei. Dalam survei Mei 2012, suara untuk Jokowi-Ahok diperkirakan berada di kisaran 21,7 persen, sementara suara untuk Foke-Nara 34,9 persen, Faisal Basri-Biem Benjamin 5 persen, Alex Noerdin-Nono Sampono 4,1 persen, dan Hendardji Soepandji-A Riza Patria 2,3 persen.
Jika dibandingkan dengan hasil pilkada putaran pertama 11 Juli 2012, kenaikan terbesar, dua kali lipat dari survei sebelumnya, hanya terjadi pada Jokowi-Ahok yang meraih 42,60 persen. Suara pasangan ini terpaut lebih dari 8 persen dengan Foke-Nara yang hanya mendapat 34,05 persen suara. Sementara, calon-calon lain relatif tidak mengalami perubahan yang signifikan.
Pada akhirnya, selisih suara antara Jokowi-Ahok dengan Foke-Nara tak mengalami perubahan signifikan pada pilkada putaran kedua. Jokowi-Ahok memperoleh 53,82 persen dan Foke-Nara mendapatkan 46,18 persen suara. Dengan hasil tersebut, pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta itu telah mempertontonkan sebuah upaya konsolidasi demokrasi yang mencoba meredam upaya-upaya penanaman benih-benih primordialitas dalam ajang pilkada.
Keunggulan Jokowi-Ahok juga memperlihatkan gerakan kelas menengah dan atas yang solid menggalang dukungan. Pasangan ini paling banyak mendapat dukungan dari kelas menengah atas dan atas. Hasil survei pasca-pemilihan (exit poll) yang dilakukan oleh Litbang Kompas memperlihatkan besarnya dukungan kelas tersebut kepada pasangan ini. Jika kepada pasangan Foke-Nara hanya 33,3 persen dari kalangan kelas menengah atas yang memberikan dukungannya, kepada pasangan Jokowi-Ahok dukungan yang diperoleh dari kelas ini mencapai 42,1 persen.
Pasangan Jokowi-Ahok juga mendulang dukungan sangat besar (58,8 persen) dari kelas atas jika dibandingkan dengan dukungan yang diperoleh Foke-Nara yang hanya 17,6 persen. Kelas menengah atas dan atas dalam penelitian ini adalah mereka yang dicirikan dengan berpendidikan sarjana-pascasarjana, memiliki pengeluaran keluarga di atas Rp 5 juta per bulan, atau rumahnya menggunakan listrik dengan daya di atas 2.200 watt.
Meskipun tidak tampak di permukaan, dalam beberapa kesempatan, kalangan ini memang aktif menggalang dukungan hingga ke akar rumput, baik lewat pengorganisasian langsung maupun melalui sarana telekomunikasi.
Identitas dukungan yang disimbolkan lewat baju kotak-kotak menjadi perangkat yang cukup ampuh untuk memperluas dukungan secara cepat, bahkan menuju ke euforia. Sehingga, sehari menjelang pemilihan, aura dukungan terhadap pasangan Jokowi-Ahok semakin eksplisit.
Tampaknya, gerakan kelas menengah atas ini ”menetes” ke bawah, menjadi model yang mencairkan kebekuan politik akar rumput yang sebelumnya terpapar oleh isu primordialitas yang mulai pekat. Pertarungan yang sebelumnya diprediksi akan dipenuhi oleh ikatan agama, sukuisme, dan kedaerahan pun sedikit terkikis, dan pada akhirnya pluralisme Kota Jakarta dapat dipertahankan.
Meski demikian, politisasi identitas telah disemai menjadi bibit yang kelak dalam skala yang lebih besar, Pemilu 2014, menjadi pohon yang berakar dalam dan luas di ranah kontestasi. Dan dibalik identitas yang menguatkan prestasinya menuju kekuasaan puncak, sosok Jokowi juga menyandang sejumlah label yang tak mudah hilang.
Kelak, label ini sangat berpengaruh dalam pemilihan calon wakil presiden pendampingnya dalam Pemilu 2019.(BAMBANG SETIAWAN/LITBANG KOMPAS) (BERSAMBUNG)