Bola Panas Utang Negara
Pembiayaan pembangunan pemerintah kini semakin mengandalkan surat utang negara yang sebagian dimiliki oleh asing. Kondisi demikian menuntut pemerintah untuk siap menghadapi konsekuensi dari kondisi eksternal yang rentan bergejolak.
Kebijakan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) di masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)- Jusuf Kalla yang tetap bersifat ekspansif merupakan hal tak terhindarkan. Kebijakan fiskal ini merupakan salah satu intrumen penting dalam memandu arah jalannya pembangunan pemerintah.
Kebijakan ini bertujuan menciptakan pertumbuhan ekonomi dengan jalan mendorong belanja negara lebih besar dari pendapatannya. Dengan kata lain, anggaran bersifat defisit sehingga mendorong negara menutup kekurangannya dengan pembiayaan yang mayoritas bersumber dari utang.
Pemerintahan Jokowi-JK sejak awal rezimnya mengacu pada program Nawacita. Dalam program ini ada tiga hal yang menjadi fokus utamanya, yakni pembangunan infrastruktur, pembangunan manusia, dan kebijakan deregulasi ekonomi.
Upaya pemerintah tersebut memberikan hasil positif. Tingkat daya saing Indonesia di dunia internasional kian tinggi. Hasil survei The Global Competitiveness Index atau GCI 2017-2018 Indonesia menduduki peringkat ke-36 dari 137 negara yang menjadi sampel penilaian. Dalam laporan GCI 2017-2018, disebutkan bahwa Indonesia sedang menapaki tangga daya saingnya, bergerak maju lima tempat sejak tahun lalu. Mirip dengan Korea, Indonesia telah meningkatkan kinerjanya di semua pilar.
Secara peringkat, hasil kali ini boleh jadi lebih rendah dari rekor tertinggi daya saing Indonesia periode 2014-2015 yang mampu menduduki ranking 34 dunia. Namun, penilaian GCI 2017-2018 yang menggunakan sumber data tahun 2016 memiliki indeks tertinggi hingga saat ini yaitu sebesar 4,7.
Indeks itu lebih baik dari skor tahun 2013 sebesar 4,6 yang menjadi hasil akhir penilaian GCI 2014-2015. Dengan kata lain, daya saing Indonesia saat ini adalah yang terbaik setidaknya dalam kurun delapan tahun terakhir.
Adapun hasil GCI 2017-2018 juga menunjukkan Indonesia menduduki peringkat 52 dunia di sektor infrastruktur. Prestasi ini melonjak 10 peringkat dari penilai CGI 2015-2016 yang saat itu menduduki peringkat 62 dunia.
Skor indeks infrastruktur pada CGI 2017-2018 sebesar 4,5 adalah indeks rekor tertinggi Indonesia. Pencapaian ini merupakan bentuk apresiasi internasional atas kinerja pemerintahan terutama di sektor infrastruktur.
Profil Utang
Sejalan dengan pencapaian tersebut, hingga Desember 2017, total utang pemerintah hampir menyentuh Rp 4.000 triliun rupiah. Pada kurun 2015-2017, pembiayaan utang untuk menutup defisit APBN rata-rata berkisar Rp 400-an triliun per tahun.
Bila dikalkulasi, saat era Jokowi-JK utang pemerintah sudah bertambah lebih dari Rp 1.300 triliun. Tambahan utang ini tergolong banyak. Pasalnya, pada akhir 2014 dimana terjadi transisi peralihan kepemimpian dari Susilo Bambang Yudhoyono-Budiono (SBY-Budiono) ke Jokowi-JK, utang Indonesia masih pada kisaran Rp 2.600 triliun. Artinya, dalam waktu dua tahunan utang pemerintah sudah naik sekitar 50 persen dari posisi outstanding utang tahun 2014.
Kenaikan utang tersebut merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindari. Mengingat kebijakan anggaran Indonesia bersifat ekspansif. Utang akan selalu menjadi pilihan untuk menutupi kekurangan anggaran belanja.
Kendati demikian, alokasi utang pada rezim pemerintahan yang sebelumnya lebih banyak tersedot untuk keperluan sektor non-produktif yaitu subsidi bahan bakar minyak, tidak lagi dialokasikan pada pemerintahan Jokowi-JK. Alokasi utang pada pemerintahan saat ini lebih banyak untuk keperluan produktif.
Deskripsi sederhananya dapat dilihat dari perbandingan utang antar rezim pemerintahan. Kementerian Keuangan membuat ilustrasi data mengenai utang dan sejumlah belanja penting terkait pembangunan infrastruktur dan pembangunan manusia antara pemerintahan SBY-Budiono 2012-2014 dan rezim Jokowi-JK 2015-2017.
Dari data dua periode pimpinan itu terlihat bahwa utang era Jokowi-JK sudah bertambah hingga kisaran 191 persen dari era SBY-Budiono di rentang waktu 2012-2014. Meskipun utang naik tinggi, tetapi sejumlah parameter belanja produktif juga naik dari periode sebelumnya. Sebut saja belanja infrastruktur naik 200 persen, pendidikan 120 persen, kesehatan 180 persen, perlindungan sosial 849 persen, dan dana alokasi khusus fisik dan dana desa bertambah 357 persen.
Walaupun dimanfaatkan untuk keperluan produktif, sebagian belanja pemerintah saat ini tidak dapat langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Sejumlah pembangunan oleh pemerintah saat ini baru dapat dinikmati hasilnya ketika rezim yang berkuasa saat ini sudah tidak menjabat lagi.
Sebagai contoh, proyek pembangunan pendidikan dan kesehatan baru dapat dinikmati hasilnya minimal 16 tahun ke depan saat generasi muda menyelesaikan pendidikan mereka, kondisi fisiknya sehat sehingga menjadi sumber daya manusia berkualitas tinggi.
Terkendali
Utang pemerintahan saat ini yang meningkat cukup drastis pun sebenarnya terbilang masih terkendali jika melihat indikator makro. Berdasarkan Undang-undang No 17/2013 Tentang Keuangan Negara, mengamanatkan defisit APBN terjaga kurang dari 3 persen PDB dan rasio utang kurang dari 60 persen PDB.
Kedua parameter yang diamanatkan undang-undang tersebut masih sesuai dengan kondisi APBN dan utang pemerintah saat ini. Pada kurun 2014-2017, rasio defisit APBN terhadap PDB Indonesia berkisar 2,45 persen per tahun. Untuk rasio utang terhadap PDB rata-rata berkisar 27,64 persen setahun.
Untuk tahun 2018 ini, diperkirakan defisit APBN sekitar 2,19 persen dan rasio utang naik menjadi 29,08 persen. Kedua parameter ini masih relatif jauh dari ketentuan UU Keuangan Negara.
Aspek lain yang terkait dengan penambahan utang pemerintah adalah keseimbangan primer, yang merupakan selisih antara total pendapatan negara dengan belanja negara. Keseimbangan primer yang negatif berarti pemerintah harus menerbitkan pokok utang baru. Jika suplus, pemerintah dapat menggunakan dananya untuk membayar atau mencicil utang.
Dari tahun 2015-2017, keseimbangan primer negatif rata-rata turun sekitar Rp 10 triliun per tahun. Melihat tren tersebut, dapat dikatakan bahwa kualitas pendapatan dalam negeri semakin membaik untuk membiayai komponen belanja negara.
Utang yang terkendali juga diperkuat oleh keyakinan pasar terkait kredibilitas pemerintah saat ini. Pengelolaan utang dan alokasi belanja pemerintah pada masa pemerintahan saat ini mendapat apresiasi positif dari dunia internasional. Tahun lalu, tercatat tiga lembaga pemeringkat utang terkenal yang telah menaikkan status peringkat utang Indonesia.
Pada 8 Februari 2017, Moody\'s Investor Services menaikkan peringkat Indonesia dari stabil menjadi positif. Adapun Pada 19 Mei 2017, Standard & Poor’s (S&P) menaikkan peringkat utang Indonesia dari sebelumnya positif menjadi level investment grade. Fitch Ratings juga menaikkan peringkat utang Indonesia dari BBB- menjadi BBB+ pada 21 Desember 2017,yang bermakna bahwa Indonesia sudah berada pada status layak investasi.
Sentimen dan Kondisi Pasar
Kategori dari lembaga pemeringkat utang menunjukkan bahwa Indonesia memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi dalam jangka panjang. Selain itu, memiliki risiko gagal bayar yang rendah dan termasuk dalam kelompok negara yang menjaga disiplin APBN serta konsisten menjalankan anggaran pendapatan dan belanjanya.
Namun, apakah parameter-parameter yang ada sudah cukup untuk memastikan utang Indonesia ada di posisi aman? Jawabannya tentu sudah jelas. Tidak ada jaminan bahwa Indonesia akan berlenggang menghadapi persoalan utang negara. Penyebab utamanya, adalah masih besarnya ketergantungan perekonomian kita pada faktor eksternal, termasuk dalam urusan utang.
Porsi utang sejak tahun 2005 lebih mengandalkan surat utang negara (obligasi) ketimbang pinjaman lunak dari lembaga kreditur atau negara lain. Kecenderungan tersebut terus menguat sepanjang enam tahun terakhir. Tahun 2012, tercatat sekitar 69 persen dari total utang negara senilai Rp 1.978 triliun bersumber dari surat utang negara. Tahun lalu, persentase surat utang negara mencapai 81 persen dari total utang negara senilai Rp 3.939 triliun.
Sementara, peran investor asing di surat utang negara tidak bisa dibilang kecil. Data Bloomberg per 22 Agustus menunjukkan, kepemilikan investor asing di surat utang negara masih mencapai 37,5 persen. Sementara itu, hingga awal Mei 2018 tercatat penurunan kepemilikan surat utang negara senilai Rp 46 triliun.
Banyaknya obligasi yang dipegang asing akan mengurangi kedaulatan pemerintah atas ekonominya. Perubahan kondisi global yang berimbas pada pelemahan rupiah juga berpengaruh pada beban obligasi pemerintah.
Salah satu buktinya, kenaikan suku bunga acuan The Fed mengakibatkan dana asing keluar dari pasar obligasi. Perbankan juga melakukan perpindahan modal sejak suku bunga acuan BI naik dua kali pada Mei lalu.
Saat ini, perang dagang AS-China berpengaruh signifikan terhadap pelemahan mata uang negara-negara di Asia. Perang dagang yang panas membuat investor tidak nyaman sehingga mereka memilih meminggalkan aset-aset berisiko di negara-negara berkembang Asia.
Perilaku pelaku pasar yang menghindari risiko (risk aversion) membuat penurunan aliran modal di negara-negara Asia, termasuk Indonesia, sehingga terjadi pelemahan mata uang.
Kenaikan suku bunga acuan The Fed dan perang dagang membawa perubahan signifikan pada aliran modal asing dan modal perbankan. Singkatnya, perubahan kondisi global akhirnya menimbulkan tekanan pada pasar obligasi nasional karena masih besarnya ketergantungan pasar obligasi terhadap investor asing.
Selain menghadapi tekanan arus keluar modal, pemerintah juga dihadapkan pada tantangan tingginya imbal hasil (yield) surat utang negara. Pelemahan Rupiah mendorong Bank Indonesia menaikkan suku bunga sekaligus mendorong kenaikan yield surat utang negara.
Kenaikan yield surat utang negara sebenarnya bisa membawa dampak positif. Pasalnya, kenaikan yield tersebut akan menghasilkan selisih alias spread yang melebar antara yield surat utang Indonesia dengan surat utang AS (US Treasury). Rata-rata spread Yield SUN dengan US Treasury tahun ini hanya 395 basis poin. Sementara, pada 31 Agustus 2018 yield SUN tenor 10 tahun tercatat 7,95 persen dan US Treasury 2,88 persen pada tenor yang sama sehingga terdapat spread yield 507 basis poin.
Melebarnya selisih yield akan menyebabkan nilai surat utang Indonesia menjadi lebih menarik dan berdampak positif untuk mendorong masuknya dana asing. Hanya saja, patut diingat bahwa yield surat utang negara yang terus naik juga berbanding lurus dengan biaya pendanaan (cost of fund) pemerintah yang membengkak.
Tekanan lain yang secara tak langsung mempengaruhi beban utang adalah dari sisi penerimaan negara, khususnya ekspor. Beberapa waktu belakangan, neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit seiring pelemahan rupiah dan dampak perang dagang AS-China. Transaksi berjalan tercatat defisit 8 miliar Dollar AS pada Triwulan II-2018, sedangkan neraca perdagangan Januari-Juli 2018 defisit 3,09 miliar Dollar AS (Kompas, 4/9/2018).
Tekanan pada penerimaan negara akan berimbas pada melebarnya defisit keseimbangan primer dan akhirnya memaksa pemerintah menerbitkan utang baru. Bola panas kini berada di tangan pemerintah, untuk mengatasi sentimen pasar dan tekanan global yang sulit dikaburkan oleh indikator-indikator utang yang terlihat aman. (Budiawan Sidik/Litbang Kompas)