Runtuhnya Keperkasaan Petahana di Ciamis (2)
Sejarah Kabupaten Ciamis bisa dinarasikan dalam beberapa periodisasi zaman yang asal-muasalnya berawal dari berdirinya Kerajaan Galuh pada awal abad ke-7.
Periode ini dimulai ketika Wretikndayun mendirikan Kerajaan Galuh sebagai pusat pemerintahan baru, lokasinya kurang lebih terletak di Desa Karangkamulyan, Kecamatan Cijeunjing. Wrettikandayun dinobatkan menjadi raja pertama dari kerajaan yang kemudian diberi nama (Kerajaan) Galuh ini pada 23 Maret 612.
Tujuan Wretikandayun membangun pusat pemerintahan di daerah Karangkamulyan adalah untuk membebaskan diri dari kekuasaan Tarumanagara, yang saat menjadi negara adikuasa.
Namun, kesempatan untuk menjadikan diri sebagai kerajaan yang berdaulat penuh baru terjadi tahun 669 ketika Linggawarman, Raja Tarumanagara yang ke-12, wafat. Raja penggantinya mengubah Kerajaan Tarumanagara menjadi Kerajaan (negara) Sunda.
Kerajaan Galuh mulai pudar kekuatannya sejak tahun 1333 setelah pusat kekuasaannya terbelah kepada dua penguasa, yaitu Raja Ajiguna Lingga Wisesa atau Sang Dumahing Kending yang bertahta di Kawali, dan kakaknya Prabu Citragada atau Sang Dumahing Tanjung yang bertakhta di Pakuan Pajajaran.
Wilayah kekuasaan Kerajaan Galuh pada masa ini hanya melingkupi Kawali yang menjadi pusat kekuasaannya. Raja Ajiguna Lingga Wisesa (penguasa Galuh) berhasil mewariskan wilayah kekuasaan ini hingga generasi kelima melalui garis keturunan cucunya, Maharaja Linggabuana.
Maharaja Linggabuana mempunyai dua anak, yaitu Citra Resmi dan Wastu Kancana. Citra Resmi atau Diah Pitaloka gugur dalam Perang Bubat tahun 1357 bersama ayahnya, Linggabuana, Raja Galuh saat itu. Wastu Kencana yang baru berusia 9 tahun kemudian disiapkan untuk melanjutkan kekuasaan ayahnya, Maharaja Linggabuana, yang kelak digelari dengan Prabu Niskala Wastu Kancana.
Ahli waris takhta Raja Galuh ini kemudian menikahi dua perempuan, yaitu Larasati dan Mayangsari. Putra Sulung Wastu Kancana dari Larasati, Sang Halimun kemudian dinobatkan menjadi penguasa Sunda yang berkedudukan di Pakuan Pajajaran pada 1382 dengan gelar Prabu Susuk Tunggal.
Dari Mayangsari, Wastu Kancana mendapat 4 orang anak. Kekuasaan Wastu Kancana di Kawali diwariskan kepada putra sulungnya dari Mayangsari, Ningrat Kancana.
Sebelum bertakhta penuh sebagai raja, Ningrat Kancana diangkat menjadi Mangkubumi di Kawali dengan gelar Surawisesa. Ketika Wastu Kancana mangkat pada 1475 Ningrat Kancana dinobatkan sebagai Raja Galuh-Kawali dengan gelar Prabu Dewa Niskala.
Peralihan kekuasaan dari Wastu Kancana kepada putranya, Ningrat Kancana, menandai hilangnya wilayah kekuasaan Kerajaan Galuh. Pasalnya, Ningrat Kancana sebagai ahli waris terakhir takhta kekuasaan Galuh perlahan-lahan memindahkan pusat pemerintahan Galuh dari Kawali ke Pakuan Pajajaran di Bogor.
Kekuasaan Raja Galuh dileburkan Ningrat Kancana ke dalam kekuasaannya sebagai Raja Pakuan Pajajaran yang baru. Sejak saat itu Galuh Sunda dan Sunda Pajajaran menyatu ke dalam sosok Ningrat Kancana yang mendapat gelar baru Sri Sang Ratu Dewata atau yang populer dengan nama Prabu Siliwangi.
Kerajaan Menjadi Kabupaten
Nama Kerajaan Galuh muncul kembali tahun 1595 setelah satu abad tenggelam di bawah pengaruh Pakuan Pajajaran. Kerajaan Galuh pada saat itu terbagi menjadi beberapa pusat kekuasaan yang berada di wilayah Cibatu, Gara Tengah, Imbanagara, Panjalu, Kawali, Utama (Ciancang), Kertabumi (Bojonglopang ) dan Kawasen (Desa Banjarsari).
Saat itu Kerajaan Galuh dipimpin oleh Ujang Meni (putra Prabu Haur Kuning) yang berpusat di Cimaragas. Ketika Ujang Meni digantikan oleh Ujang Ngekel, pusat pemerintahan Kerajaan Galuh dipindahkan ke Gara Tengah (Cineam, Tasikmalaya). Ujang Ngekel yang juga putra dari Ujang Meni memerintah pada 1595-1606 dengan gelar Prabu Galuh Cipta Permana.
Pada masa pemerintahan Ujang Ngekel inilah Kerajaan Mataram menapakkan kekuasaannya di Galuh dan Priangan. Sebagai daerah mancanegara dari Mataram, semua wilayah kekuasaan di Priangan memiliki status yang sama dengan koloni-koloni Mataram yang lain.
Pusat-pusat kekuasaan yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh diturunkan statusnya menjadi kabupaten. Kekuasaan para penguasanya pun diturunkan sehingga setara dengan bupati atau adipati.
Berubahnya sistem Kerajaan di Galuh menjadi ”kabupatian” merupakan efek langsung dari kuatnya pengaruh Kerajaan Mataram. Wujud dari transisi tersebut adalah gelar para penguasa di Galuh dihapus semua dan diganti dengan gelar dari Mataram. Para penguasa Galuh dengan gelar Prabu, Raja, Sang, atau Susuhunan diubah menjadi Adipati atau Tumenggung.
Penguasa Galuh pertama yang menerima imbas pengaruh Mataram ini adalah Ujang Ngoko, putra dari Prabu Galuh Cipta Permana yang naik takhta tahun 1606. Tradisi pemberian gelar Prabu yang harus diterima dalam upacara penobatan dihentikan.
Sebagai gantinya, Ujang Ngoko mendapat gelar Adipati Panaekan yang memerintah atas nama Sultan Mataram. Adipati Panaekan merupakan Bupati Galuh pertama yang memerintah hingga tahun 1625.
Bupati kedua adalah Ujang Purba, putra dari Adipati Panaekan yang mendapat gelar Mas Dipati Imbanagara. Nasib Dipati Imbanagara sebagai bupati Galuh sama seperti yang terjadi pada ayahnya. Tahun 1636 bupati Galuh ini dijatuhi hukuman mati oleh penguasa Mataram. Jabatan bupati selanjutnya diteruskan oleh Mas Bongsar anak dari Imbanagara.
Bupati ketiga Kabupaten Galuh ini diangkat pada 6 Agustus 1636 dengan gelar Raden Panji Aria Jayanegara. Untuk mengenang jasa-jasa ayahnya, Kabupaten Galuh diubah namanya menjadi Kabupaten Imbanagara. Pada masa ini Imbanagara merupakan salah satu pusat kekuasaan di Galuh selain Kertabumi dan Kewasen.
Setelah tahun 1641, penguasa Mataram beberapa kali melakukan penciutan wilayah di mancanagara barat. Wilayah Galuh dipecah menjadi 5 kabupaten, yaitu Imbanagara, Bojonglopang, Utama, Kawasen, dan Banyumas.
Ketika Amangkurat I berkuasa, komposisi wilayah di mancanagara barat kembali diubah menjadi 12 kabupaten. Ke-12 kabupaten tersebut adalah Sumedang, Bandung, Parakanmuncang, Sukapura, Karawang, Imbanagara, Kawasen, Wirabaya (Bojonglopang), Sekace, Banyumas, Ayah, dan Banjar.
Kebijakan Bupati Jayanegara terkait dengan wilayah kekuasaannya adalah upayanya dalam memindahkan ibu kota kabupaten dari Gara Tengah. Sejarah mencatat, selama berkuasa, Jayanegara telah memindahkan ibu kota Imbanagara sebanyak 3 kali, yaitu ke Calingcing, Bendanegara (Panyingkiran), dan Barunay (antara Cikoneng dengan Kota Ciamis). Akhirnya, Barunay-lah yang ditetapkan sebagai Ibu Kota Kabupaten Imbanagara.
Seiring dengan penetapan sebagai pusat pemerintahan, pada saat yang sama nama Barunay juga diganti menjadi Imbanagara. Berdasarkan catatan sejarah, peristiwa ini terjadi pada 12 Juni 1642. Peristiwa inilah yang menjadi dasar pemikiran para ahli dan Pemerintah Kabupaten Ciamis memilih tanggal 12 Juni sebagai hari lahir Kabupaten Ciamis.
Pemindahan pusat pemerintahan dari Gara Tengah ke Barunay memiliki arti yang strategis dalam perjalanan sejarah dan dinamika daerah Imbanagara sebagai daerah yang berdaulat. Peristiwa tersebut memperjelas batas teritorial dan terbentuknya sentralisasi pemerintahan. Adipati Jayanegara mampu menyatukan wilayah Kabupaten Galuh yang merdeka dan berdaulat tanpa kekerasan.
Antara tahun 1642 dan 1815 Kabupaten Kertabumi, Utama, Kawasen, Panjalu dan Kawali dilebur ke Imbanagara yang membuat wilayah kabupaten ini semakin luas. Wilayahnya terbentang dari Sungai Cijolang di utara sampai ke pantai selatan dan dari Sungai Citanduy di sebelah timur sampai ke Sukapura di barat.
Wilayah Imbanagara bahkan terus meluas hingga di sebelah timur Sungai Citanduy, seperti Dayeuhluhur, Nusa Kambangan, Cilacap, dan Banyumas. Keempat daerah ini dijadikan wilayah perwalian Kabupaten Imbanagara.
Dengan bentangan tersebut, wilayah kekuasaan Kabupaten Imbanagara hampir menyamai luas Kerajaan Galuh, yang membuat Imbanagara sebagai wilayah yang paling tinggi kedudukannya di Galuh.
Bupati Zaman Kolonial
Tanggal 19-20 Oktober 1677, Kerajaan Mataram mengadakan perjanjian dengan VOC terkait pembagian kekuasaan di Priangan Timur. Hasil perjanjian tersebut membuat kekuasaan di Priangan Timur jatuh ke tangan VOC. Mataram menyerahkan salah satu wilayah mancanagara baratnya kepada VOC sebagai balas jasa atas bantuan maskapai dagang asal Belanda ini dalam perebutan kekuasaan di Mataram.
Pada masa transisi kekuasaan ini bupati yang memerintah Imbanagara adalah RA Angganaya (1678-1693). Kedudukan bupati dalam struktur pemerintahan di Priangan Timur tetap diteruskan oleh VOC sebagaimana yang diterapkan pada masa kekuasaan Mataram. VOC malah memperluas fungsi bupati dari sekadar pemimpin politik menjadi agen perdagangan.
Fungsi ini mulai diterapkan kepada RA Sutadinata (1693-1706) bupati pengganti Angganaya. VOC memanfaatkan kedudukan dan kuasa Bupati Sutadinata sebagai agen penyerahan wajib tanam komoditas perdagangan seperti cengkeh, pala, lada, kopi, dan tebu. Pada masa pemerintahan RA Kusumadinata I, bupati pengganti Sutadinata, VOC mulai menggalakkan penanaman kopi di Priangan Timur.
Selama menguasai Priangan Timur VOC telah menempatkan 6 bupati di Imbanagara. Pengangkatan para bupati ini masih mempertahankan hubungan darah antara bupati lama dan penggantinya seperti yang berlaku pada masa Kerajaan Galuh dan Mataram. Meskipun demikian, para bupati yang hendak diangkat harus mendapat persetujuan atau restu dari VOC.
RA Natadikusumah merupakan Bupati Imbanagara terakhir yang ditunjuk VOC sebelum maskapai ini dibubarkan pada awal tahun 1800-an. Natadikusumah yang naik takhta pada 1801 ini menjadi bupati ketika pemerintahan Hindia Belanda yang berada di bawah kekuasaan Daendels menjadi penguasa de facto di Priangan.
Pemerintah Hindia Belanda tetap memanfaatkan para bupati sebagai agen lokal untuk mengoperasikan kepentingan Belanda yang ada di Priangan Timur. Berbeda dengan VOC, Pemerintah Hindia Belanda menunjuk bupati-bupati baru tidak lagi berdasarkan keturunan. Belanda juga membatasi masa jabatan setiap bupati dari seumur hidup menjadi beberapa tahun saja.
Surapraja merupakan Bupati Imbanagara pertama yang bukan berasal dari trah penguasa Galuh. Surapraja yang memerintah dari tahun 1806-1811 ini berasal dari Limbangan, Garut. Selanjutnya, Bupati RT Natanagara berasal dari Cirebon dan Bupati Pangeran Sutajaya berasal dari Gebang Cirebon juga tercatat tidak memiliki hubungan darah dengan trah Galuh.
Pada 15 Januari 2015 Pangeran Sutajaya menyerahkan jabatan Bupati Imbanagara kepada Tumenggung Wiradikusumah. Pada saat itu juga Kabupaten Imbanagara berganti nama menjadi Kabupaten Galuh. Ibu kotanya pun dipindah dari Imbanagara ke Ciamis. Peristiwa ini diakui juga secara resmi oleh pemerintahan Belanda. Momen ini juga menandakan kembalinya keturunan Galuh ke atas tampuk kekuasaan Galuh.
Sejak berkuasa di Priangan Timur tahun 1801, Pemerintah Belanda telah menempatkan 10 bupati hingga tahun 1945. Di antara 10 bupati tersebut, RAA Kusumadiningrat merupakan bupati yang disebut-sebut memiliki prestasi yang gemilang dalam membangun Kabupaten Galuh.
Kusumadiningrat yang bergelar Kanjeng Prebu mulai menjabat tahun 1839. Dari tahun 1842-1862, Kanjeng Prebu berhasil membangun sistem pengairan mulai dari saluran air Gandawangi, Cikatomas, Wangundireja hingga Dam Tanjungmangu atau Nagawiru.
Kanjeng Prebu juga membangun beberapa gedung di pusat ibu kota Ciamis, seperti Gedung Kabupaten, Tangsi Militer, dan Masjid Agung. Pada masa pemerintahannya juga Belanda harus mengeluarkan biaya yang besar untuk membangun jembatan Cirahong dan Karangpucang agar kereta api dapat melewati Galuh.
Selain infrastruktur, Kanjeng Prebu juga sukses dalam membangun pendidikan di Ciamis, yang dimulai dengan pendirian sekolah Sunda di Ciamis dan Kawali sebagai karya kepeloporan pendirian sekolah di Jawa Barat.
Di bidang pertanian, Kanjeng Prebu berhasil membawa Ciamis sebagai lumbung kelapa karena sukses menggalakkan penanaman pohon kelapa di Galuh. Namun, karya terbesar Kanjeng Prebu sebagai bupati adalah menghapus sistem kultur stelsel dari Tatar Galuh Ciamis.
Selain Kanjeng Prebu, nama Tumenggung Sastrawinata juga memiliki peran yang besar terhadap sejarah dan dinamika Kabupaten Galuh. Sastrawinata diangkat Belanda sebagai Bupati Galuh pada 1914.
Sebagai Bupati Galuh yang berasal dari luar keturunan trah Galuh, usulan Sastradinata untuk mengubah nama Kabupaten Galuh menjadi Kabupaten Ciamis merupakan merupakan tindakan yang luar biasa.
Pasalnya, sejak tahun 1916 nama Kabupaten Galuh secara resmi hilang dari peta wilayah Jawa Barat. Sebagai gantinya, muncul nama Ciamis sebagai nama baru yang disetujui juga oleh Belanda. Sejak saat itu nama Ciamis digunakan sebagai nama kabupaten yang melingkupi wilayah Kabupaten Galuh hingga sekarang.
RT A Sunarya merupakan Bupati Ciamis terakhir pada masa pendudukan Belanda. Bupati yang memerintah dari tahun 1935 ini menjadi saksi masa-masa transisi menuju Indonesia merdeka. Meskipun jabatannya berakhir tahun 1944, Sunarya berhasil meletakkan sistem pemerintahan daerah yang stabil menjelang kemerdekaan.
Salah satu prestasi Sunarya di ujung pemerintahan Belanda adalah bergabungnya wilayah Kabupaten Sukapura seperti Banjar, Banjarsari, Pangandaran, dan Cijulang ke wilayah Kabupaten Ciamis.
Bupati Masa Kemerdekaan
Struktur kekuasaan bupati di Kabupaten Ciamis ketika Indonesia merdeka masih sama seperti masa kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Penggantian bupati baru masih ditunjuk oleh pemerintah pusat sehingga kedudukan bupati menjadi wakil pemerintah pusat yang ada di kabupaten. Raden Mas Ardiwiangun merupakan Bupati Ciamis pertama ketika Indonesia merdeka. Dia memerintah dari tahun 1944–1946.
Setelah Ardiwiangun, masih ada 8 bupati lagi yang memerintah Kabupaten Ciamis hingga tahun 1960. Perubahan dalam sistem pemerintahan daerah mulai terjadi tahun 1951 seiring dengan keluarnya UU No 1 Tahun 1951 tentang Kepala Daerah Swatantra. Perubahan tersebut memengaruhi kepemimpinan di Kabupaten Ciamis.
Bupati Ciamis yang memerintah ketika UU ini berlaku adalah Raden Gahara Wijayasurya. Pada masa ini di Kabupaten Ciamis terdapat 2 pejabat kepala daerah, yaitu bupati dan kepala daerah swatantra. Bupati bertanggung jawab kepada bidang ekonomi dan keamanan, sedangkan kepala daerah swatantra bertanggung jawab atas pajak dan pembangunan daerah.
Tahun 1960, terjadi revolusi dalam pemilihan bupati. Sistem turun temurun di masa kerajaan Galuh dan kekuasaan Mataram, yang dilanjutkan dengan sistem penunjukan pada masa kolonial diubah dengan sistem pemilihan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Raden Udia Kartapruwita merupakan orang pertama yang dipilih oleh DPRD Kabupaten Ciamis untuk menjadi bupati. Kartapruwita yang memerintah dari tahun 1960-1966 merupakan bupati pertama yang mendapat sebutan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Ciamis.
Ketika rezim Orde Baru berkuasa, sistem pemilihan bupati tetap menggunakan DPRD sebagai saluran untuk regenerasi kepala daerah tingkat II. Namun, dominasi Golkar dan kuatnya kepentingan rezim membuat intervensi pemerintah dalam pemilihan bupati sangat kuat.
Hasilnya, Bupati Ciamis yang terpilih hampir semuanya merupakan sosok TNI yang identik dengan kekuasaan rezim Orde Baru. Kondisi ini berlaku hingga tahun 1999 seiring dengan jatuhnya Soeharto sebagai penguasa utama rezim Orde Baru.
Bupati Masa Reformasi.
Kolonel Kav. Dedem Ruchlia merupakan bupati Orde Baru terakhir yang memimpin Kabupaten Ciamis. Dedem memerintah Ciamis dari tahun 1993-1998. Dalam kurun waktu tersebut, guncangan terhadap kekuasaan Soeharto sedang hebat-hebatnya.
Dedem digantikan oleh Oma Sasmita pada 1999. Seiring dengan keberhasilan gerakan reformasi menumbangkan Soeharto kehadiran Oma Sasmita di tampuk kekuasaan Ciamis membuat sosoknya dikenang sebagai Bupati Ciamis pertama di masa reformasi.
Sistem pemilihan bupati mendapat sentuhan reformasi seiring dengan berlakunya UU Otonomi Daerah Tahun 2001 yang mengamanatkan, pemilihan kepala daerah harus dilakukan secara langsung melalui DPRD. Kedudukan bupati benar-benar sebagai kepala daerah, bukan lagi wakil pemerintah pusat.
Tahun 2003 merupakan momen pilkada pertama di Kabupaten Ciamis. Pasangan Engkon Komara – Iing Syam Arifin tampil sebagai pemenang berdasarkan hasil pemilihan dari anggota DPRD Kabupaten Ciamis. Engkon yang tercatat sebagai Bupati Ciamis yang ke-37 ini merupakan bupati yang terpilih secara demokratis berdasarkan UU Otonomi Daerah yang baru.
Pemilihan Bupati Ciamis tahun 2008 lagi-lagi membawa perubahan dalam sistem pemilihan kepala daerah. Bupati Ciamis dipilih secara langsung oleh rakyat, sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Walhasil, pasangan paket calon petahana Engkon Komara - Iing Syam Arifin terpilih kembali untuk memimpin Ciamis hingga tahun 2013. Kemenangan ini memberi penegasan, Engkon – Iing merupakan Kepala Daerah Ciamis pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat.
Perjalanan sejarah Kabupaten Ciamis yang sangat panjang sejak abad VII menunjukkan pergolakan yang dinamis antara penguasa lokal dengan para penguasa kolonial terkait eksitensi wilayah dan kekuasaan para penguasanya. Kerajaan Mataram telah menghapus eksistensi Kerajaan Galuh sekaligus mendegradasikan kekuasaan para rajanya menjadi bupati.
Jabatan bupati di Ciamis sudah eksis sejak abad XVI ketika Mataram menaklukkan Galuh. Suksesi para bupati sepanjang sejarah merefleksikan kemapanan jabatan ini yang diwariskan secara terus menerus melintasi berbagai zaman dan sistem regenerasinya. Dimulai dari sistem turun temurun, penunjukan Belanda, penunjukan pemerintah RI, pemilihan melalui DPRD, hingga pemilihan langsung oleh rakyat. (SULTANI/LITBANG KOMPAS)