Mungkinkah Dominasi China, Korea, dan Jepang Tergantikan?
Sekalipun sudah 17 kali diselenggarakan, corak persaingan di antara 45 negara peserta Asian Games masih tidak kompetitif. Begitu pula pada Asian Games kali ini. Belum ada satu pun negara yang diprediksi mampu menggoyahkan posisi tiga besar China, Korea Selatan yang kali ini bergabung dengan Korea Utara, dan Jepang.
Sepanjang sejarah keikutsertaan dalam Asian Games, prestasi olah raga China, Korea Selatan, dan Jepang dominan. Pada setiap kali pesta olah raga negara-negara se Asia itu diselenggarakan, sekitar dua pertiga dari total medali emas, perak, dan perunggu yang diperebutkan, berhasil mereka kuasai. Sementara, hanya sepertiga bagian sisanya, diperebutkan oleh 42 negara peserta lainnya.
Penguasaan mayoritas medali tersebut belum termasuk capaian ketiga negara tersebut di saat mereka berperan sebagai tuan rumah penyelenggaraan. Dengan posisi sebagai tuan rumah, pundi-pundi medali menjadi lebih besar. Bahkan, dalam beberapa penyelenggaraan seperti di Seoul 1986 ataupun empat tahun kemudian di Beijing (1990), ketiga negara tersebut menguasai lebih dari tiga perempat medali emas yang diperebutkan.
Dengan kondisi demikian, selama ini peta persaingan perebutan medali Asian Games sebenarnya tidak lagi kompetitif. Sekalipun terjadi dinamika persaingan, hanya berputar di antara ketiga negara tersebut. Begitu pula perubahan ataupun pergeseran urutan posisi kemenangan hanya mungkin berlangsung di antara ketiganya. Akibatnya, pemenang lebih mudah tertebak.
Kondisi semacam ini pula yang diprediksikan terjadi dalam Asian Games ke-18 yang berlangsung di Indonesia. Dengan mengacu pada rekaman capaian prestasi ketiga negara tersebut dalam setiap ajang Asian Games, jika tidak terjadi suatu kondisi perubahan yang tergolong luar biasa, tidak sulit untuk meyakinkan bahwa ketiga negara masih menguasai persaingan perebutan medali.
Negara-negara peserta lainnya, termasuk negara tuan rumah yang selama ini cenderung diuntungkan, diprediksi tidak mampu menggantikan kedudukan tiga negara kawasan Asia Timur tersebut (Grafik 1).
Di antara ketiga negara, China masih menjadi negara yang paling layak diunggulkan. Peluang kemenangan negara berpenduduk hampir 1,37 milyar jiwa ini paling besar. Merunut jejak 15 kali keikutsertaan China dalam Asian Games, sejak di Manila, Filipina (1954) hingga terakhir di Incheon, Korea Selatan (2014), sudah 9 kali berhasil menguasai medali emas terbanyak.
Sebenarnya, prestasi yang diraih semenjak awal mula keikutsertaan China tidak terlalu gemilang. Namun, tanda-tanda kedigdayaan China mulai terlihat sejak Asian Games di Teheran, Iran (1974), yang mulai membayangi dominasi Jepang.
Akhirnya, pada Asian Games di New Delhi, India (1982), China mendepak Jepang. Sejak saat itu hingga kini China tampil sebagai pemenang. Artinya, sudah lebih tiga dekade prestasi China belum tergantikan.
Jika dikaji lebih dalam, jejak capaian China dari waktu ke waktu cenderung konsisten. Sekalipun pada Asian Games di Incheon, Korsel, 2014, lalu porsi penguasaannya agak menurun dibandingkan dengan Asian Games Guangzhao China, 2010, masih dapat dikategorikan sebagai suatu kewajaran dari efek sebagai tuan rumah. Oleh karena itu, secara keseluruhan analisis data tetap saja menunjukkan capaian medali emas, perak, dan perunggu China dalam tren yang positif (Grafik 2).
Gambaran rekam jejak China yang mampu menguasai sedikitnya 30 persen medali emas, kisaran 20 persen medali perak, dan di atas 10 persen medali perunggu yang ditunjukkan pada grafik di atas, menunjukkan kualitas prestasi olah raga China yang terbangun sedemikian kokoh.
Itulah mengapa pada Asian Games kali ini, jika China tetap menjaga tren positif penguasaan ketiga jenis medali yang diperebutkan, di atas kertas kemenangannya sangat sulit tergantikan.
Selain China, prestasi Korea Selatan menjadi negara kedua besar yang paling potensial. Semenjak pertama kali keikutsertaan Korea Selatan dalam Asian Games di Manila, Filipina (1954) hingga kini, negara berpenduduk sekitar 51,2 juta jiwa tersebut memang belum sekalipun tampil menjadi juara umum.
Dengan posisi sebagai tuan rumah pun belum pernah mengantarkan negara ini sebagai pemenang lantaran kokohnya dominasi China. Sebagai tuan rumah Asian Games di Seoul, 1986, misalnya, hampir saja Korea Selatan menjadi juara umum, menggeser China, jika mampu menambahkan dua keping medali emas dari total 93 medali emas yang sudah terkuasai. Akan tetapi, nasib belum berpihak. China tetap unggul, dengan selisih satu medali emas.
Sekalipun belum pernah menjadi peraih medali terbanyak, performa olah raga Korea Selatan patut dibanggakan. Sepanjang keikutsertaan dalam Asian Games, Korea Selatan mampu menunjukkan tren peningkatan prestasi yang tercermin dari tiap-tiap medali yang diperebutkan.
Terbukti, dari sisi kualitas capaian, terjadi peningkatan yang ditunjukkan oleh peningkatan proporsi medali emas maupun perak dari keseluruhan cabang olah raga yang dipertandingkan. Sebaliknya, kecenderungan terjadi sedikit penurunan pada medali perunggu, terutama semenjak Asian Games 1986 (Grafik 3) .
Dominasi tiga negara dalam Asian Games tidak semuanya memiliki catatan tren positif. Dibandingkan China dan Korea Selatan, Jepang menjadi negara yang kini dihadapkan pada ancaman “krisis” prestasi olah raga.
Pada Asian Games terakhir, 2014, Jepang berada pada posisi ke-3 perolehan medali. Saat itu, sebanyak 47 medali emas yang berhasil dikuasai dari total 439 keping emas yang diperebutkan. Jumlah emas yang diraih masih di bawah kemampuan Korea Selatan dengan 79 emas, dan hanya sepertiga bagian dari emas yang dikumpulkan China (151 medali emas).
Menjadi ironis bagi Jepang, jika pada era sebelumnya semenjak pertama kali Asian Games diselenggarakan, selalu bercokol sebagai pemenang dengan penguasaan yang terpaut jauh dengan para pesaing terdekatnya. Pada Asian Games I diselenggarakan di New Delhi, India, 1951, misalnya, setidaknya 42 persen medali emas dikuasai Jepang.
Sebagai tuan rumah di Tokyo, Asian Games 1958, Jepang mencatatkan rekor, menguasai 6 dari tiap 10 satuan emas yang tersedia (60,1 persen). Hingga Asian Games di Bangkok, Thailand, 1970, penguasaan Jepang masih berlanjut dengan menguasai lebih dari separuh medali emas yang diperebutkan.
Hanya, semenjak tahun 1970 itu prestasi Jepang mulai terancam. Sekalipun masih menjadi juara umum hingga dua penyelenggaraan Asian Games sesudahnya, namun kebangkitan China dan Korea Selatan mulai mengusik. Pada Asian Games 1982 di New Delhi, India, Jepang takluk pada China.
Pukulan beruntun terjadi pada Asian Games selanjutnya, 1986, tatrkala Korea menggantikan kedudukan Jepang di posisi kedua. Setelah periode tersebut, nyaris Jepang tidak berkutik, dan hanya terpaku di posisi ketiga.
Tren penurunan penguasaan Jepang dalam Asian Games tercermin nyata dari setiap penyelenggaraan. Tren penurunan tidak hanya terjadi pada perolehan medali emas, namun juga pada medali perak dan perunggu. Kondisi demikian mengindikasikan tidak hanya pada hitungan kuantitas, namun pada kualitas pun menjadi persoalan bagi Jepang (Grafik 4).
Dengan keterpurukkan semacam ini, pertanyaannya apakah posisi Jepang kemudian waktu semakin terancam tergantikan oleh negara-negara lainnya?
Jika data rekor pencapaian tiap-tiap negara selama penyelenggaraan Asian Games dijadikan dasar prediksi, kemungkinan dapat saja terjadi. Akan tetapi, dalam jangka waktu yang pendek sulit terjadi. Pasalnya, sekalipun catatan sejarah penguasaan medali Jepang tampak menurun, namun semenjak Asian Games 1990 di Beijing, China, hingga kini cenderung stabil.
Baik medali emas, perak, maupun perunggu yang dikuasai pada kisaran di atas 10 persen namun maksimal masih di bawah 20 persen. Artinya, Jepang tetap berupaya menjaga agar keterpurukkan tidak semakin dalam dan tetap bercokol di posisi ketiga.
Di samping itu, negara-negara para pesaing Jepang pun tampak masih kurang spektakuler capaian prestasinya. Pada Asian Games terakhir, 2014 lalu, hanya dua negara yaitu Kazakhstan dan Iran yang berada pada urutan setelah posisi Jepang.
Namun jika dicermati dari sisi jumlah medali yang dikuasai oleh masing-masing negara nyatanya masih terpaut jauh, separuh dari peroleh Jepang. Dengan kondisi demikian, disimpulkan masih terlalu sulit menggantikan Jepang. Terlebih posisi Korea Selatan dan China yang kian menjulang. (BESTIAN NAINGGOLAN/LITBANG KOMPAS)