Menguji Trah Bupati Polewali Mandar
Latar belakang dua kontestan yang maju dalam pilkada di Polewali Mandar, Sulawesi Barat, tahun ini mengukuhkan eksistensi politik dinasti.
Dalam dua dekade terakhir, pertarungan merebut kursi nomor satu di daerah yang sebelumnya bernama Polewali Mamasa ini hanya seputar perebutan kekuasaan keluarga.
Hanya dua pasang calon yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Polewali Mandar (Polman), yaitu petahana Andi Ibrahim Masdar (AIM)-Natsir Rahmat (NR) dan satu pasangan tandingan, Salim S Mengga-Marwan. Mengulang pertarungan politik pilkada tahun 2008, klan keluarga Masdar dan Mengga kembali berhadapan.
Pertarungan kursi nomor satu hanya seputar perebutan kekuasaan keluarga.
Di atas kertas, kekuatan dukungan politik terhadap pasangan calon petahana lebih unggul. AIM-NR diusung koalisi tujuh partai, yakni PDI-P, PKB, PAN, Gerindra, Golkar, PKS, dan PKPI dengan dukungan 29 kursi DPRD.
Sementara Salim dan Marwan didukung oleh koalisi PPP, Nasdem, dan Demokrat. Tiga dukungan parpol ini hanya mengantongi 12 kursi DPRD.
Selain selisih jumlah kekuatan kursi yang cukup jauh, posisi kakak AIM yang kini menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Barat bisa jadi modal yang sangat menguntungkan pasangan calon petahana.
Meski demikian, bagi kedua pasangan calon, modal dukungan riil bisa didapat dari faktor kekerabatan keluarga yang memiliki pengaruh besar di Polman. Klan Masdar dan Mengga adalah dua dari tiga klan bupati yang berkuasa di Polman secara bergantian.
Keluarga mantan bupati
Merunut ke masa sebelumnya, kepemimpinan Kabupaten Polman silih berganti. Tercatat sudah 12 orang yang pernah menjabat sebagai Bupati Polman sejak 1960.
Dalam rentang setengah abad pergantian bupati itu, terpantau peta politik di Polman dikuasai oleh tiga klan keluarga.
Ketiganya merupakan keturunan dari mantan-mantan bupati di Polman atau Polewali Mamasa (Polmas) sebelum pemekaran.
Klan keluarga pertama adalah keluarga Masdar. Tonggak kekuasaan di keluarga ini diawali oleh Andi Saad Pasilong yang pernah menjadi Bupati Polmas periode 1995-1998. Kemudian dilanjutkan Ali Baal Masdar (ABM) sebagai bupati periode 2004 -2008 dan 2008-2013.
Andi Baal Masdar merupakan keponakan dari Andi Saad Pasilong. Estafet kekuasaan dilanjutkan oleh Andi Ibrahim Masdar (AIM) pada periode 2013-2018. AIM adalah adik kandung ABM yang kini menjadi Gubernur Sulbar periode 2017-2022.
Klan keluarga kedua adalah keluarga Mengga. Kekuasaan keluarga ini dimulai dari S Mengga yang menjabat Bupati Polmas selama dua periode tahun 1980-1990. Ia memiliki dua putra, yaitu Aladin dan Salim. Keduanya aktif di dunia politik.
Aladin Mengga pernah menjabat sebagai Wakil Gubernur Sulbar mendampingi Anwar Adnan Saleh pada periode kedua (2011-2016).
Sementara Salim Mengga pernah menjadi anggota DPR dari daerah pemilihan Sulbar dan tahun ini turut serta dalam bursa pemilihan bupati Polman periode 2018-2023 sebagai penantang petahana.
Klan keluarga terakhir adalah keluarga Manggabarani. Bupati pertama Polmas berasal dari keluarga ini, yaitu Andi Hasan Manggabarani, pada periode 1960-1966.
Masa jabatan Andi tidak panjang karena merebaknya fenomena politik tiga serangkai antara Soeharto, ABRI, dan Partai Golkar. Andi yang merupakan orang sipil kemudian digantikan oleh Abdullah Madjid yang berlatar belakang ABRI dengan pangkat letkol.
Kekuasaan keluarga Manggabarani kembali bergaung pada awal masa reformasi ketika Hasyim Manggabarani, anak pertama Andi Hasan Manggabarani, berhasil menjadi Bupati Polmas periode 1998-2003.
Meski banyak klan keluarga yang tercatat pernah menduduki kursi nomor satu di Polmas, nyatanya hanya tiga keluarga ini yang masih eksis menunjukkan semangat kekuasaan.
Sejumlah mantan bupati lain tidak berhasil meneruskan kekuasaan karena lamban melakukan regenerasi dalam keluarga.
Hanya tiga keluarga ini yang masih eksis menunjukkan semangat kekuasaan.
Umumnya, setelah selesai satu periode, kekuasaan diambil alih klan keluarga lain. Walau demikian, masalah regenerasi ini tidak terlihat berlaku bagi keluarga Manggabarani.
Sengit di Pilkada 2008
Dalam Pilkada 2008, saat masyarakat Polman pertama kali memilih bupati dan wakil bupatinya secara langsung, ketiga trah bupati tidak ketinggalan memanfaatkan momen untuk bertarung merebut kekuasaan.
Dari keluarga Masdar muncul kakak beradik yang mencoba adu peruntungan, yakni ABM dan AIM yang bertarung dengan pasangannya masing-masing. ABM berpasangan dengan Najamuddin Ibrahim didukung koalisi 13 partai.
AIM berpasangan dengan Tasmin Djalaluddin diusung partai tunggal, Golkar. Sementara keluarga Mengga dan Manggabarani bersatu sebagai pasangan calon, yaitu Aladin S Mengga dan Amin Manggabarani. Pasangan ini diusung partai tunggal, PDI-P.
Dalam Pilkada 2008 tersebut, ABM berhasil mengalahkan adiknya sendiri, AIM, dan empat pasangan calon lain dengan perolehan suara mencapai 41,87 persen. Adapun Aladin S Mengga-Amin Manggabarani hanya berhasil meraih suara terbanyak kedua sebesar 31,69 persen.
Kemenangan ABM ini menjadikannya menjabat untuk periode yang kedua. Namun, kekuasaan keluarga Mandar bisa dilanjutkan oleh AIM yang meraih kemenangan dalam Pilkada 2013.
Melawan tujuh pasangan calon lain, AIM yang didampingi Muhammad Natsir Rahmat berhasil mengantongi 35,92 persen suara. Perolehan suara itu mengantarkan pasangan yang diusung Partai Golkar, PDI-P, PKS, PPPI, dan PIS ini merebut kursi nomor satu di Polman.
Dari delapan paslon yang bertanding dalam Pilkada 2013 juga terdapat klan keluarga dari mantan Bupati Polmas yang berpartisipasi.
Nadjib Abdullah Madjid, putra dari bupati kedua Polmas H Abdullah Madjid, yang didampingi Hikman Katohidar maju melalui jalur perseorangan. Namun, pasangan ini hanya mampu mencapai peringkat keempat dengan perolehan 13,15 persen suara.
Pilkada ulangan
Mengulang pilkada sepuluh tahun yang lalu, dalam Pilkada 2018 ini, klan keluarga Masdar dan Mengga kembali beradu. Pasangan calon petahana, Andi Ibrahim Masdar (AIM)-Natsir Rahmat (NR), bertemu dengan Salim S Mengga-Marwan.
Berasal dari trah bupati, kiprah AIM cukup aktif dalam membangun jaringan. Sebelum terjun di dunia politik, AIM aktif di sejumlah organisasi, seperti ketua di Gempita Polmas, Kosgoro Polmas, Ikatan Motor Indonesia Sulbar, hingga Orari Sulbar.
Pria kelahiran Makassar, 54 tahun silam, ini juga pernah menjabat Ketua DPD Partai Golkar di Polman (2003-2009) dan anggota DPRD Sulbar (2004-2014).
Wakilnya, Natsir Rahmat, adalah seorang birokrat. Ia mengawali kariernya sebagai pemeriksa pembangunan di Inspektorat Polmas tahun 1984 hingga menjadi Sekretaris Daerah Polman sejak 2007.
Sementara itu, Salim S Mengga merupakan seorang purnawirawan TNI. Pria berusia 68 tahun ini mengawali dunia militernya sejak 1974 sebagai TNI AD dengan jabatan letnan dua hingga menjadi mayjen pada tahun 2003.
Selesai dari dunia militer, kemudian ia menjabat sebagai anggota DPR di bidang pertahanan, luar negeri, dan informasi periode 2009-2014. Tahun 2011 dan 2017, ia mencalonkan diri sebagai Gubernur Sulawesi Barat, tetapi tidak terpilih.
Adapun pendampingnya, Marwan, merupakan tokoh muda dan pengusaha. Putra Camat Wonomulyo tahun 1984-1989 ini dikenal sebagai pengelola banyak perusahaan, termasuk koperasi dan ekonomi kreatif di Polman.
Redupnya kota bahari
Kabupaten Polewali Mandar sebelumnya bernama Polewali Mamasa. Kabupaten ini berganti nama menjadi Polman pada 2006 setelah wilayah Mamasa memisahkan diri menjadi kabupaten tersendiri.
Karakteristik daerah Polman bisa digambarkan lewat sepotong syair lagu, ”Nenek moyangku seorang pelaut, gemar mengarung luas samudra”.
Polman pernah berjaya sebagai kota bahari. Namun, kini kehidupan masyarakatnya cukup merana. Tingkat kemiskinan dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kabupaten ini berada di urutan buncit di Sulawesi Barat.
Menurut data Sensus Penduduk 2010, mayoritas penduduk Polman adalah suku Mandar (69,8 persen), disusul suku Bugis 10,8 persen dan suku Pattae 6,2 persen.
Suku Mandar sudah terkenal dengan kehidupan baharinya sejak dahulu. Hal ini karena secara geografis wilayah ini berhadapan langsung dengan lautan dalam, yaitu Selat Malaka.
Jika suku Bugis terkenal dengan kapal pinisi, suku Mandar terkenal dengan perahu sandeq. Perahu ini memiliki panjang 7-11 meter dengan lebar 60-80 sentimeter.
Di bagian kanan dan kiri kapal dipasang cadik penyeimbang dari bambu. Walau terlihat rapuh, perahu ini terbukti telah menemani nenek moyang suku Mandar mengarungi lautan luas sejak dahulu kala.
Dengan layar berbentuk segitiga, perahu ini dapat melaju hingga 20 knot dan dapat mengejar kawanan ikan tuna.
Hingga kini, budaya bahari suku Mandar masih terjaga. Tahun 2015, BPS mencatat terdapat 7.331 dari 94.281 rumah tangga di Polman bekerja sebagai nelayan tangkap di laut dan budidaya ikan.
Hingga kini, budaya bahari suku Mandar masih terjaga.
Jumlah ini bertambah menjadi 8.461 rumah tangga pada tahun 2016. Produksi ikan di Polman tahun 2016 sebesar 38.010,73 ton (31 persen) dari total 121.650 ton se-Sulbar.
Angka ini berkontribusi terhadap perekonomian Kabupaten Polman sebesar 13,06 persen pada tahun 2016. Bersama pertanian dan kehutanan, lapangan usaha di bidang perikanan ini diketahui mendominasi produk domestik regional bruto (PDRB) di Polman sebesar 40,1 persen pada tahun 2016.
Aktivitas ekonomi ini sudah berlangsung sejak lama, jauh sebelum tahun 2002, ketika Polman masih bernama Polmas dan bersatu dengan Kabupaten Mamasa.
Ada kemiripan kegiatan ekonomi di Mamasa dan Polman. PDRB Kabupaten Mamasa yang bersebelahan langsung dengan Kabupaten Tana Toraja di Sulawesi Selatan ini juga didominasi oleh lapangan usaha pertanian, perkebunan, dan kehutanan.
Tahun 2016, sektor ini masih mendominasi di Kabupaten Mamasa hingga sebesar 33,1 persen. Hingga sekarang, Polman dan Mamasa saling melengkapi. Produk perikanan yang beredar di Mamasa berasal dari Polman. Sebaliknya, produk perkebunan yang dijual di Polman sebagian diambil dari Mamasa.
Pengembangan perikanan
Perhatian pemerintah daerah terhadap potensi perikanan dan nasib nelayan di Polman cukup baik. Sejumlah bantuan telah diberikan kepada kelompok-kelompok nelayan. Salah satunya kartu asuransi nelayan yang diluncurkan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Polman.
Kepala DKP Polman Budi Sulityo, mengatakan sudah ada 5.000 kartu asuransi yang diterbitkan hingga tahun 2017.
Dengan asuransi ini, nelayan yang mengalami kecelakaan hingga menyebabkan luka atau bahkan meninggal akan menerima santunan maksimal Rp 160 juta.
Sejumlah program lain juga telah diupayakan Pemkab Polman, seperti bantuan 12 kapal penangkap ikan berukuran kurang dari 3 gros ton dari APBD 2017.
Selain itu, pembangunan dermaga di Desa Tangnga-Tangnga, Kecamatan Tinambung, tahun 2017. Tahun 2015 dilakukan pembangunan penyimpanan ikan berpendingin dengan kapasitas 50 ton dan Pasar Rakyat Luyo, Kecamatan Luyo.
Meski aktivitas ekonomi dengan sektor unggulan perikanan terus ditingkatkan, dampaknya terhadap kesejahteraan dan kondisi sosial masyarakat belum sesuai harapan. Dari indikator IPM, Polman tercatat memiliki angka paling rendah dibandingkan kabupaten/kota lain di Sulbar.
Tahun 2016, data BPS menyebutkan, IPM Sulbar sebesar 63,6, sedangkan Polman hanya 61,51. IPM tertinggi ada di ibu kota Mamuju, sebesar 65,65, disusul Mamuju Utara 65,17, kemudian Majene, Mamasa, Mamuju Tengah, dan terakhir Polman. Kondisi ini tidak jauh berbeda dibandingkan kondisi tahun 2013.
Di balik rapor IPM yang berada di urutan buncit, pendapatan asli daerah (PAD) Polman justru bertengger di peringkat paling atas. Tahun 2015, PAD Polman mencapai Rp 106,9 miliar. Disusul Kota Mamuju Rp 50,5 miliar, Majene Rp 46,5 miliar, Mamuju Utara Rp 21,9 miliar, Mamasa Rp 19,6 miliar, dan terakhir Mamuju Tengah Rp 12,5 miliar.
Dengan PAD yang cukup besar itu, seharusnya Polman bisa menjadi kota yang lebih maju dan masyarakatnya dapat hidup lebih sejahtera dibandingkan kabupaten/kota lain di Sulbar.
Kondisi ini menjadi tantangan bagi bupati baru. IPM Polman yang masih berada di bawah rata-rata provinsi menjadi rapor merah kepala daerah dan harus diperbaiki. Selain itu, masih ada masalah kemiskinan. Penduduk miskin Polman tercatat sebagai yang tertinggi di Sulbar dari tahun ke tahun.
Tahun 2011, persentase penduduk miskin di Polman sebesar 19,56 persen dan lima tahun kemudian menjadi 17,06 persen. Meski turun, angka ini masih jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata Provinsi Sulbar yang hanya 11,74 persen.
Kini tiba saatnya masyarakat Polman untuk menentukan pilihan. Klan keluarga mana yang dapat membawa Polman menjadi kabupaten yang lebih maju. Ibarat perahu sandeq, Polman harus berlayar lebih kencang. (LITBANG KOMPAS)